Nasional

Agustus 1750, Ketika Kiai Ali Badawi Lasem Memimpin Perlawanan terhadap Penjajah Belanda

Jumat, 18 Agustus 2023 | 07:00 WIB

Agustus 1750, Ketika Kiai Ali Badawi Lasem Memimpin Perlawanan terhadap Penjajah Belanda

Cover majalah Paradigma STAIN (kini IAIN) Kudus yang terbit tahun 2015 menggambarkan peperangan yang dipimpin Kiai Ali Badawi melawan penjajah Belanda (Foto: istimewa)

Jakarta, NU Online 
Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia yang diperingati setiap tanggal 17 Agustus berawal dari diproklamasikannya kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Artinya sebelum tanggal tersebut, Indonesia harus memperjuangkan kemerdekaannya. Bangsa Indonesia sejak puluhan bahkan ratusan tahun sebelumnya terus menerus berjuang melawan para penjajah.


Salah satu tokoh yang berjuang melawan penjajahan Belanda adalah Kiai Ali Badawi Lasem, Rembang Jawa Tengah. Tentang sosok itu, pemerhati Sejarah Lasem, Abdullah Hamid menceritakan pada bulan Agustus 1750 M sehabis shalat Jumat di Masjid Jami Lasem, Kiai Ali Badawi menyerukan umat Islam untuk melakukan Perang Sabil menyerang markas Belanda di Rembang. 


“Jamaah masjid menerima seruan tersebut dengan antusias dan penuh ikhlas, bersatu padu berperang bersama pejuang-pejuang lainnya dari berbagai etnis dan dan golongan,” kata Abdullah Hamid di momentum peringatan HUT Kemerdekaan Ke-78 Indonesia, Kamis (17/8/2023).


Abdullah Hamid menceritakan hal itu berdasarkan buku Babad Carita Lasem yang ditulis oleh Raden Kamzah tahun 1858 Masehi. Kutipan Sejarah dalam buku tersebut adalah sebagai berikut:


…Wong-wong ora seneng diprentah lan dikuwasani daning “Kebo Bule”. Wong-wong padha gumrudug ngumpul jejel pipit ing alun-alun sangarepe Mesjid Lasem, padha sumpah prasetya maring RP Margana.”Lega lila sabaya pati sukung raga lan nyawa ngrabasa nyirnakake Kumpeni Walanda ing bumi Jawa”


…Orang-orang tidak suka diperintah dan dikuasai oleh “Kebo Bule” (sebutan untuk bangsa Belanda karena kulit mereka yang putih). Orang tidak suka diperintah dan dikendalikan oleh "Kebo Bule". Orang-orang berkumpul di depan Masjid Lasem dan bersumpah setia kepada RP Margana.


"Saya rela mati, mempertaruhkan jiwa dan raga saya untuk menghancurkan Belanda di tanah Jawa"


Pada bagian lainnya masih berdasarkan bukut tersebut, lanjut Abdullah Hamid, disebutkan, “Ing wektu kuwi kebeneran tiba dina Jumuwah wayahe santri-santri sembahyang Jumuwahan, kang diimami Kyai Ali Badawi ing Purikawak, Kyai ngulama Islam kang bagus rupane gedhe dhuwur gagah prekosa kuwi kapernah warenge Pangeran Tejakusuma I…Sawise wingi-wingine entuk dhawuhe RP Margana, sarampungi sembahyang Jumuwah Kyai Ali Badawi nuli wewara maring kabeh umat Islam, dijak perang sabil ngrabasa nyirnakake Kumpeni Walanda sapunggawane kabeh ing Rembang. Wong-wong samesjid padha saguh kanthi eklas, saur manuk sarujuk Perang Sabil bebarengan kambi brandal-brandal kang padha andher.”


….Palagan ing sisih kuloni kutha Lasem katon  nggrudug mbledug mangawuk-awuk…lempuk gaprukan. Perang rerempon adu arep dedreg ureg, adu kekendelan lan kasudiran sarta ketrengginasan lan kecukatan. Perang wis ruket adu dada lan dengkul, pedang nglawan bedana, tumbak nglawan keris.


"Arti penting peristiwa bersejarah tersebut merupakan simbol kepahlawanan dan persatuan (pluralitas) di Lasem antara kalangan Tionghoa, santri, bangsawan dan abangan yang monumental yang layak diabadikan. Dengan keterlibatan tokohnya 3 (tiga) serangkai, yaitu RP Margono, Kyai Ali Badawi dan Oei Ing Kiat,” jelasnya.


"Kiai Ali Badawi adalah keturunan generasi keempat Mbah Sambu. Ia juga merupakan wareng (keturunan) kelima ari Adipati Tejakusuma I atau Mbah Srimpet, mertua Mbah Sambu. Beliau ulama Islam dari pusat pendidikan kuna Purikawak, Sumur Kepel, Lasem yang perawakannya bagus rupanya, gede tinggi, gagah perkasa. Terkenal sakti, ahli kanuragan petak segara macan,” ujarnya.