Nasional

Alissa Wahid Heran Polisi Diam saat Lihat Masjid Dirusak

Sabtu, 4 September 2021 | 04:10 WIB

Alissa Wahid Heran Polisi Diam saat Lihat Masjid Dirusak

Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid

Jakarta, NU Online
Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid buka suara atas peristiwa perusakan masjid milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Sintang, Kalimantan Barat,  Jumat (3/9/2021) siang. 

 

Putri sulung Gus Dur ini merasa heran karena aparat keamanan yang berbaris di lokasi kejadian justru membiarkan perusakan itu terjadi. Padahal, tegas Alissa, peristiwa perusakan itu jelas merupakan perbuatan yang melanggar hukum. 

 

“Apa pun alasannya, ini tindakan melanggar hukum: perusakan bangunan milik orang, pelanggaran hak konstitusional warga, tindakan teror, dst. Ada barisan polisi di sana pada saat perusakan ini terjadi. Saya tidak tahu mengapa perusakannya bisa dibiarkan, pak @jokowi,” kata Alissa melalui twitter dan menyebut Presiden Joko Widodo dalam cuitannya, Jumat sore.

 

Pernyataan resmi Jaringan Gusdurian

Peristiwa ini terjadi bermula dari adanya penutupan paksa tempat ibadah Ahmadiyah yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sintang. Soal penutupan tempat ibadah ini, Jaringan Gusdurian telah mengeluarkan pernyataan resmi, pada Kamis (2/9/2021), sehari sebelum perusakan masjid itu terjadi. 

 

Karenanya, Gusdurian mengecam tindakan Pemkab Sintang yang dinilai berlaku sewenang-wenang karena menutup paksa tempat ibadah Ahmadiyah. Pemkab Sintang juga diminta agar mampu memfasilitasi perlindungan bagi warga Ahmadiyah agar bisa menjalankan ibadah dengan aman dan nyaman.

 

Jaringan Gusdurian menekankan kepada Bupati Sintang untuk wajib menjalankan amanat konstitusi dengan melindungi dan menghormati hak asasi manusia, termasuk kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi setiap warga negara. 

 

Salah satu yang menjadi alasan Pemkab Sintang menutup paksa masjid Ahmadiyah itu karena tidak memiliki izin secara resmi. Hal itu sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 2 Menteri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah. 

 

Terkait izin pendirian rumah ibadah bagi warga negara, Gusdurian justru meminta agar Pemkab Sintang dapat memfasilitasi Jemaat Ahmadiyah untuk tetap bisa beribadah, termasuk melindunginya dari tindakan melanggar hukum dari pihak luar. Gusdurian lantas meminta Presiden Joko Widodo untuk mencabut SKB 2 Menteri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 itu karena kerap menyebabkan rumah ibadah dipaksa tutup.

 

Selain itu, Presiden Jokowi pun harus mencabut SKB 3 Menteri Nomor 3 Tahun 2008 tentang peringatan dan perintah kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah. Sebab aturan ini rawan disalahgunakan untuk melakukan tindakan inkonstitusional terhadap penganut Ahmadiyah. 

 

Kepada tokoh agama, Gusdurian meminta agar mampu memberikan edukasi kepada umat untuk menjaga keberagaman sebagai sunnatullah (ketetapan Allah). Tokoh agama perlu mendukung berbagai kebijakan pemerintah Indonesia yang telah mendorong berbagai langkah moderasi beragama untuk menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih harmonis.

 

Untuk itu, Gusdurian pun mengajak segenap masyarakat untuk menjaga kehidupan yang bermartabat, adil, harmonis, dan tidak menjadikan perbedaan sebagai alasan untuk membenci atau bahkan menyakiti satu sama lain.

 

Dalam poin terakhir, seluruh keluarga besar Jaringan Gusdurian se-Indonesia diajak untuk terus merawat semangat kebinekaan dengan melakukan advokasi dan perlawanan terhadap semua bentuk diskriminasi. Salah satu caranya yakni dengan mengusung semangat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi.

 

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Zunus Muhammad