Surabaya, NU Online
Merespons persoalan rasisme yang melanda Indonesia akhir-akhir ini dan dalam rangka memperingati hari olahraga nasional yang jatuh 9 September, Pengurus Wilayah (PW) Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) Jawa Timur mengadakan diskusi.
Kegiatan bekerja sama dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Tarbiyah Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Cabang Surabaya, Jawa Timur.
Acara yang dikemas dalam dialog interaktif dengan tema Olahraga, Politik dan Rasisme: Kasus-kasus di Eropa dan Tanah Air tersebut menghadirkan sejarawan olahraga Universitas Negeri Surabaya, Rojil N Bayu Aji. Juga hadir kolumnis olahraga Tanah Air, Ferhadz A Muhammad. Seri diskusi kali ini digelar di ruang rapat rektorat lama UINSA, Sabtu (7/9).
Dalam acara yang dibuka dengan lagu Indonesia Raya dan Yalal Wathan tersebut, Rojil banyak menyoroti pada bagaimana rasisme masih menjadi momok dalam sepakbola.
“Kasus-kasus rasisme masih kerap terjadi tidak saja di Indonesia, tapi juga dunia,” katanya.
Dirinya kemudian menyampaikan kasus yang menimpa Mario Balotelli, Kevin Boateng, dan Samuel Eto’o pernah jadi korban tindak rasisme.
“Begitu juga di Indonesia di mana kasus rasisme juga masih adakalanya terjadi,” ungkapnya di hadapan peserta.
Dalam pandangannya, kedewasaan masyarakat termasuk masyarakat olahraga harus diupayakan secara terus menerus di sini agar tindakan rasisme tidak terulang. Nyanyian-nyanyian negatif menurut Rojil haruslah dihentikan sejak sekarang.
“Pemerintah dan organisasi olahraga dalam hal ini harus hadir. Terutama sekali bahwa dalam sepakbola tanah air rivalitas empat tim yaitu Arema, Persib, Persebaya, dan Persija haruslah diletakkan secara proporsional dan tidak sampai mengalahkan rasionalitas,” urainya.
Sedangkan Ferhadz banyak menyoroti bagaimana rasisme terjadi di sepakbola dan juga dalam masyarakat.
“Ciri rasisme klasik menurut Fahadz adalah ketidakberlakuannya isu human rights dan aktivitas ekonomi politik yang menjurus kepada jual-beli manusia untuk dijadikan budak, biasanya dialami oleh bangsa kulit hitam,” jelasnya.
Menurutnya, modern racism lebih eufemis atau terselubung. “Bahkan, para pelaku rasis tidak menyadari kalau apa yang dilakukannya merupakan rasisme. Sebab mereka menganggap hanya menggambarkan fakta yang ada,” katanya.
Aktivitas rasisme modern pun lebih lunak, yakni dengan menjadikan kecenderungan di era rasisme klasik menjadi hal yang dipraktikkan secara tidak langsung dan insidentil.
“Contoh yang paling sering ditemukan banyak sekali, seperti penggunaan ekspresi kebencian atau sinisme terhadap suatu kelompok,” tegasnya.
Dalam diskusi yang berlansung gayeng tersebut, seluruh peserta diskusi sepakat bahwa rasisme baik dalam olahraga dan di luar olahraga haruslah dihentikan. Semangat fair play dalam olahraga haruslah dijunjung tinggi dan segala bentuk diskriminasi haruslah dihentikan.
Pewarta: Iksan KS
Editor: Ibnu Nawawi