Bandung, NU Online
Partai Delapan Besar Liga Santri Nusantara (LSN) 2017 antara tim Walisongo Sragen melawan Arraisiyah asal Tangerang Selatan pada Jumat (27/10) lalu di Stadion Siliwangi, Bandung, bisa disebut sebagai salah satu partai terbaik di LSN 2017 sejauh ini. Laga yang berkesudahan 0-1 untuk Arraisiyah ini cukup gamblang menggambarkan adu strategi kedua pelatih.
Arraisiyah di atas kertas menjadi underdog, meski lolos dari 16 Besar dengan kemenangan besar 3-0. Di laga ini dengan rendah hati mereka main bertahan melawan finalis LSN 2016 dan satu-satunya tim yang berhasil masuk babak Putaran Final Nasional LSN selama tiga tahun berturut-turut.
Arraisiyah sampai ke babak Delapan Besar dengan permainan menyerang, taktik penguasaan bola dan operan pendek. Aliran serangan dibangun dengan sabar dari lini belakang. Tapi ketika kondisi memaksa, mereka bisa main bertahan tanpa mengubah template taktik operan pendek dan penguasaan bola.
Cara bertahan mereka tidak sesederhana “memarkir bus” dengan menumpuk banyak pemain di daerah sendiri, melainkan secara konstan mendistribusikan bola menjauhi titik-titik bahaya. Pelatih Taul Artawijaya melakukan pekerjannya dengan baik.
Sementara Walisongo yang punya materi pemain lebih baik, juga tetap waspada dengan menyiapkan instruksi khusus untuk menggugurkan serangan lawan. Pelatih Mustawa mengantisipasi kegemaran Arraisiyah membangun serangan dari lini belakang dengan mengunci lini tengah tim lawan lewat sistem zonal marking ketika tengah kehilangan bola.
Pemain belakang Arraisiyah yang menguasai bola kesulitan mendistribusi bola karena jembatan ke lini depan dikuasai lawan. Mereka terpaksa main bola-bola panjang dari belakang. Ini yang jadi salah satu titik lemah Arraisiyah yang mesti mendapat sorotan pelatih. Tapi kemampuan para pemain Arraisiyah membaca pertandingan, memahami rekan-rekan di lini tengahnya sedang dikunci, itu sudah menjadi kredit khusus buat tim dengan pemain usia belasan.
Pujian pun patut diberikan pada bek-bek Arraisiyah yang tetap tenang dan konsisten menguasai bola meski banyak ditekan lawan. Mereka justru menjadikan strategi lawan mengunci lini tengah, untuk mengamankan gawangnya. Dengan banyaknya pemain lawan yang bekerja di tengah, lawan akan butuh waktu untuk mencapai kotak penalti Arraisiyah. Untuk itu mereka menurunkan garis pertahanan, demi memperkecil ruang-ruang yang bisa dimanfaatkan lawan untuk memainkan umpan terobosan.
Di sini Arraisiyah mengingatkan kita akan sejarah kelahiran taktik ball posession sebagai cara bertahan. Materi lawan boleh lebih unggul, tapi selama tidak memegang bola mereka bukan bahaya. Dalam strategi seperti ini bertahan bukan sekadar langkah “memarkir bus”, menumpuk sebanyak mungkin pemain di kotak penalti sendiri. Bola terus didistribusikan menjauhi daerah pertahan sendiri.
Aplikasi taktik sampai level tersebut dalam sebuah tim bukan pekerjaan gampang. Butuh waktu, kedisiplinan dan pengulangan latihan yang tidak sedikit bagi pemain untuk menjadikannya sebagai pergerakan alamiah dari tim.
Duel Delapan Besar yang berakhir dengan skor 0-1 untuk keunggulan Arraisiyah ini bisa disebut duel pikiran antara dua maestro taktik di Liga Santri Nusantara. Dengan kemampuan pelatih dan level kemampuan tim yang relatif sebanding, hal-hal detail seperti kedisiplinan dan konsentrasi pemain dari detik ke detik kerap menjadi faktor penentu pertandingan. Sebagaimana Arraisiyah menghukum keteledoran beberapa detik yang dilakukan Walisongo dengan gol tunggal kemenangan.
Dalam sepak bola level tinggi hal begini sudah biasa. Tapi untuk ukuran liga santri dengan peserta usia junior, ditambah dengan kondisi lapangan becek, pemandangan seperti ini tidak gampang ditemui di setiap laga.
Alih-alih menunjukkan Taul Artawijaya atau Mustawa yang lebih hebat, duel seperti ini justru mengangkat reputasi keduanya dalam jajaran maestro taktik Liga Santri Nusantara. (Ahmad Makki/Abdullah Alawi)