Syarif Abdurrahman
Kontributor
Jakarta, NU Online
Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an Lembaga Pembinaan, Pendidikan, dan Pengembangan Ilmu Al-Qur'an (LP3iA) KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) menyampaikan bahwa konflik bisa terjadi di berbagai organisasi, termasuk di perkumpulan tarekat.Â
"Memimpin orang lain itu kadang-kadang tidak cocok, satu tarekat dipimpin tarekat lainnya tidak terima. Syattariyah  ribut dengan Naqsabandiyah, Tijaniyah juga begitu," jelas Gus Baha dikutip dari akun Youtube Santri Gayeng, Senin (23/12/2024).Â
Gus Baha lalu menceritakan, pada tahun 1936 pernah terjadi konflik antara pendukung tarekat di Surabaya. Sebab konflik tersebut, Nahdlatul Ulama (NU) membuat keputusan meresmikan perkumpulan tarekat mu'tabarah. Tarekat Syattariyah termasuk mu'tabarah, Tarekat Tijaniyah juga termasuk mu'tabarah.
"Dulu kalau beda tarekat itu ribut. Ini kan repot. Penggemar Syattariyah didemo pengikut tarekat lain. Kata syattariyah yang paling top itu Imam Syathiri. Yang lain tidak terima, yang paling hebat itu imam ini," kata Rais Syuriyah PBNU ini.
Gus Baha menambahkan, ayahnya adalah seorang pengamal tarekat Syadziliyah. Meskipun begitu, ayahnya juga suka tarekat Naqsabandiyah, sehingga nama Baha merupakan tafa'ulan kepada ulama.Â
Namun, kata Gus Baha, orang-orang 'alim di zaman dahulu tidak terlalu tahu tarekat. Para ulama lebih sibuk dengan mengajar dan belajar ilmu. Terlalu lama tidak tahu, akhirnya tidak bisa sama sekali.Â
"Seperti saya ini sudah tidak bisa betul, terlalu lama tidak tahu. Bapak saya sangat Syadziliyah, tapi Syadziliyah perilakunya. Saya sejak kecil, paling kenal itu Imam Syadzili. Makanya kita juga percaya dan harus tahu pada tarekat Naqsabandiyah, Qadiriyah, Syadziliyah, tapi kalau sudah masalah pemimpin pasti ribut," ujarnya.Â
Mengatasi Konflik Tarekat
Menurut Gus Baha, ada beberapa cara mengatasi konflik di antara tokoh tarekat dan orang 'alim. Cara pertama yaitu melihat konflik sebagai suatu yang positif dari berbagai posisi. Ketika dibenci seseorang, orang yang tahu dan sadar maka tidak akan ambil pusing.Â
"Kamu jadi kiai selalu digunjing tetangga, jadi suami dikritisi istri. Sesungguhnya Allah menggerakkan tangan-tangan manusia untuk menyakitimu. Kata Al-Hikam, ambillah sisi positifnya agar kamu tidak condong ke mereka dan bisa ingat Allah, dzikir kepada Allah, kembali kepada Allah," tambahnya.Â
Cara kedua mengatasi konflik yaitu menyingkirkan hal-hal yang berpotensi menimbulkan konflik yaitu seperti mengambil jarak dengan sesama orang 'alim atau sesama tokoh.Â
Bagi Gus Baha, yang rawan konflik itu orang yang ditokohkan. Maka orang yang rawan ditokohkan harus bisa bersikap dengan mengambil jarak. Maka, menurut Gus Baha, sebaiknya antara gus-gus yang 'alim itu tidak sering berdampingan dalam pekerjaan karena rawan benturan.Â
Begitu juga yang potensi konflik misal di madrasah, organisasi, dan masjid tentu seseorang yang rawan ditokohkan. Ditokohkan karena memiliki ilmu, kekuasaan, dan lain sebagainya. Kalau bagi yang siap jadi pengikut, tidak potensi ditokohkan, maka tidak menimbulkan konflik.
"Jadi baiknya ulama jika ada mursyid tidak terlalu berkumpul. Karena kalau berkumpul pasti terjadi gesekan. Nanti penggemarnya membandingkan, hebat mana ya, semuanya sama-sama terhormat," kata Gus Baha.
Langkah ketiga, kata Gus Baha yaitu mundur dari perebutan kekuasaan atau pemimpin. Menurut Gus Baha orang yang punya ambisi memimpin suatu lembaga itu baik, cuma kalau sekiranya menimbulkan gesekan maka sebaiknya mundur, seperti Sayyidina Hasan yang mundur menghindari konflik dengan Muawiyah.
"Semisal kamu mengambil sikap tidak memimpin organisasi karena menghindari konflik dan itu terbukti baik, maka jalani. Ishlah paling mudah yaitu menghindari hal-hal yang potensi benturan," imbuhnya.Â
Langkah keempat, fokus memimpin keluarga dan memperbaiki internal keluarga sendiri. Karena berharap disenangi semua orang merupakan hal sulit. Bahkan ketika seorang tokoh disukai semua orang, maka waktunya habis itu memenuhi undangan, habis untuk ngobrol dengan pecintanya. Bahkan melupakan Allah dan keluarga.Â
Sehingga hidup akan selalu dalam pikiran positif, baik ketika disukai maupun dibenci. Ketika disukai, seseorang bisa dakwah dan ngajar. Namun, ketika tidak disukai maka orang tersebut tidak akan berhutang dan merepotkan.Â
"Maka saya minta yang senang dengan anak istri, paling enak memimpin anak istri. Mereka sepakat jika pantasnya kamu yang jadi pemimpin, anak mu juga sepakat kamu sebagai bapaknya," tandasnya.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Muhasabah Akhir 2024, Momentum Tobat dan Memperbaiki Kualitas Ibadah
2
Khutbah Jumat: Menyambut Tahun Baru dengan Menjadi Pribadi yang Lebih Baik
3
Khutbah Jumat: Mengendalikan Hawa Nafsu saat Rayakan Tahun Baru
4
Kabar Duka: KHR Mahfudz Hamid Pengurus LD PBNU dan Ketua PP MDS Rijalul Ansor Wafat
5
Khutbah Jumat: Mari Tutup Akhir Tahun dengan Bertobat dan Menyesali Dosa
6
Khutbah Jumat: Momentum Akhir Tahun, Jangan Lupa Tobat
Terkini
Lihat Semua