Nur Kholik Ridwan
Kolomnis
Golkarisasi adalah sebutan untuk suatu upaya sistematis memenangkan Golkar sebagai kekuatan politik yang menopang rezim Orde Baru pimpinan Jenderal Soeharto, melalui para aparatnya, baik militer ataupun sipil. Rentang waktunya sejak Golkar dibentuk sebagai Sekber, dan adanya operasi-operasi politik yang luas sejak Pemilu 1971 ketika berubah menjadi Golkar (dengan mendapatkan 236 kursi, NU 58 kursi, Parmusi 24 kursi, PNI 20 kursi, dan PSII 10 kursi, dan lainnya partai-partai yang lebih kecil).
Meski pemilu pertama di zaman Orba ini Golkar dapat memenangkan suara, dengan berbagai cara yang dilakukan, tetapi masih belum puas karena kekuatan-kekuatan politik lainnya masih kuat, terutama NU, Parmusi, PNI, dan PSII.
Golkarisasi-Kuningisasi kemudian dilakukan ke dalam berbagai kelompok yang berpotensi menjadi saingan Golkar di beberapa daerah dan pusat, dan berpotensi tidak mendukung kebijakan Orba, termasuk ke dalam tubuh kaum tarekat dan NU.
Akan tetapi, situasi dan keadaan tarekat pada rentang 1971-1984 (dari pemilu pertama Orba sampai Deklarasi Khittah NU disepakati di Situbondo), berhubungan dengan kedaan yang terjadi sebelumnya, baik dalam soal sosial-politik ataupun perkembangan internal tarekat sendiri.
Tarekat Menjadi Kekuatan di Masyarakat Jawa
Sebagai kekuatan di masyarakat, tarekat di Jawa telah lama menjadi kekuatan di masyarakat sejak awal Islam masuk ke Nusantara. Saya telah membahas ini dalam buku Kecendekiaan Jawa: Pesantren, Kitab, dan Tarekat Abad XV-XVI (2024), tentang tarekat-tarekat dari para Walisanga. Pada tahun 1600-an dan awal 1700-an kaum tarekat juga mewarnai perjalanan masyarakat Jawa, seperti yang disebutkan dalam narasi-narasi Serat Centini (1984), dengan menyebut munculnya pusat-pusat kaderisiasi secara luas di Jawa: Syeh Ahadiyah, Syeh Wahdah, Syeh Wahidiyah, dan bahkan Syeh Amongrogo sendiri yang dibahas di akhir cerita.
Penopang kraton-kraton di Jawa yang sudah terpecah-pecah pada masa penjajahan, juga tetap berhubungan dengan tarekat, seperti dikaji oleh Oman Fathurahman (2016) dan Tomy Christomy (2008), yang banyak terhubung dengan tarekat Syathariyah Syeh Abdul Muhyi dan jalur sanad tarekat yang lain. Khususnya pada periode 1800-an kaum tarekat juga berperan penting dalam perjuangan politik memerdekakan bangsa jajahan, baik dalam kasus perlawanan kaum tarekat dalam perang Jawa (1825-1830), ataupun perlawanan Petani Banten (1888), dan banyak kaum tarekat bergabung dalam gerakan perlawanan melawan kolonial di sejumlah daerah.
Setelah perang perlawanan kaum tarekat di Jawa ini (1825-1830 dan 1888), kaum tarekat muncul kembali pada masa generasi yang lebih belakangan, misalnya melalui tokoh-tokoh dan jaringan dengan fokus mendidik kader, yaitu: Syekhona Kholil Bangkalan (1820-1925, Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, berbasis di Madura), Syeh Ibrahim Brumbung (1839-1926, Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, di Jawa Tengah), Syeh Romly Tamim (1888-1958, Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Jombang), Abah Sepuh (1836-1936, Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, di Suryalaya yang digantikan Abah Anom), Syeh Asnawi Caringin (1850-1937, Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Banten), Syeh Abdul Hadi Girikusumao (kembali dari Mekkah sekitar 1880, Naqsyandiyah, berbasis di Semarang-Demak), para penerus Syeh Muhammad Ilyas (Naqsyabandiyah berbasis di Sokaraja), KH Manshur (Naqsyabandiyah berbasis di Popongan Klaten), Syeh Abdurrahman Kebumen (Naqsyabandiyah, berbasis di Ambal), KH Mahfud Sumolangu (1901-1952, Syadziliyah berbasis di al-Kahfi Kebumen), KH Dalhar Watucongol (1870-1959, Syadziliyah berbasis di Watucongol Magelang), juga muncul generasi baru dari kalangan tarekat Syathariyah penerus sanad Syeh Abdul Muhyi Pamijahan yang tersebar luas di Jabar dan Jateng, dan banyak lagi yang lain.
Pada periode perjuangan kemerdekaan (1900-an sampai 1945) banyak kaum tarekat yang terlibat dalam perjuangan melawan penjajah di daerah-daerah bersama kiai-kiai lain yang tidak berafiliasi dengan tarekat, melalui organisasi kelaskaran penting, yaitu Sabilillah dan Hizbullah (dikomandani KH Mayskur dan KH Zainul Arifin), AUI (Angkatan Umat Islam, khusus jaringan Kiai Mahfud Sumolangu), dan kelompok-kelompok lainnya (organisasi-organisasi yang terbentuk pada masa itu, termasuk dari kalangan SI-PSII).
Ketika pemilu 1955 diadakan, sebagian kaum tarekat di Jawa ikut masuk PPTI (yang didirikan di Sumatra oleh Haji Jalaludin), yaitu jaringan Tarekat Suryalaya, dan kemudian dekat dengan Golkar dengan alasan agar Golkar menjadi Golkir, golongan dzikir (ldtqn.or.id., 14 November 2022) melalui tokohnya Abah Anom (1915-2011) yang menggantikan Abah Sepuh (w. 1956); dan sebagian besar lainnya memberikan aspirasi ke dalam wadah organisasi Nahdhatul Ulama, dan sebagian lagi mengelola tarekat secara mandiri.
Munculnya Wadah Tarekat Nadhliyin (1957): Konteks Sosial Politiknya
Perubahan perjuangan dilakukan sebagian kaum tarekat di tengah masyarakat, tepatnya pada tahun 1957 (Martin, 1992: 179) ketika didirikan wadah organisasi kaum tarekat bernama Jam`iyyah Ahlith Tariqah al-Mu’tabarah. Organisasi ini didirikan oleh guru-guru tarekat senior yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama. Pendirian organisasi tarekat dilakukan di tengah situasi-situasi, yang tidak sederhana:
Pertama, secara politik wakil-wakil Partai NU sudah berada di dalam Kontituante (hasil Pemilu 1955), tetapi selalu terjadi kebuntuan-kebuntuan sampai akhirnya muncul Dekrit Presiden 1959 yang memunculkan Demokrasi Terpimpin (1959-1966), karena Dewan Konstituante itu tidak berhasil merumuskan dasar negara yang disepakati bersama.
NU menerima gagasan kembali Dekrit Presiden untuk kembali kepada Pancasila dan UUD 1945, dengan catatan tetap diilhami oleh Piagam Jakarta. Akan tetapi situasi politik terus menerus memanas, karena pengerasan ideologis di masing-masing kelompok terjadi. Situasi menjelang tahun 1957 adalah situasi yang memanas di antara semua kelompok politik, termasuk PKI yang semakin kuat (bahkan kemudian masuk dalam koalisi rapuh Demokrasi Terpimpin).
Kedua, adanya situasi jelas yang teringat dalam memori para guru tarekat dan kiai, khususnya dalam melihat jaringan kaum tarekat di bagian selatan Jawa bagian tengah, yang terhubung dengan jaringan AUI (Angkatan Umat Islam, di bawah mahaguru Kiai Mahfud Sumolangu dan saudara-saudara beliau), telah mengalami pukulan-pukulan berat dan penghancuran. Mereka ini disubversifkan, dampak dari terjepit antara pasukan NII dan tentara nasional, serta ekses adanya gagasan rasionalisasi tentara nasional yang dirasa merugikan laskar-laskar para santri dan AUI. Rasionalisasi tentara dan pengintegrasian ke dalam tentara nasional dengan syarat-syarat tertentu sangat merugikan laskar-laskar santri dan menguntungkan eks tentara KNIL dalam tentara nasional.
Ketiga, pergolakan dan perlawanan kaum NII di Jawa Barat terhadap eksistensi Negara Indonesia masih terus berjalan (sejak 1949), yang sedikit banyak, ekses-eksesnya juga mengenai kaum tarekat yang banyak terjadi di Jawa Barat, dan sebagian Jawa Tengah. Gerakan NII-DI/TII ini baru menyerah setelah tahun 1962, dengan adanya ikrar setia oleh sebagian pimpinan militer DI/TII kepada Republik Indonesia.
Saya mendapatkan cerita dari sebagian kiai sepuh NU, bahwa sebagian kiai-kiai sepuh dari NU di Jawa Barat saat itu, berusaha dan berjuang keras mengajak sebagian tokoh yang ikut NII untuk turun gunung. Situasi sampai tahun 1962, selalu terjadi pergolakan senjata antara tentara NII dan tentara nasional Indonesia. Sementara Kaum Tarekat Suryalaya pimpinan Abah Anom juga terlibat dalam melawan DI/TII dengan membantu Dewan Angkatan Perang Indonesia (Imam Kanafi, 2015).
Keempat, adanya perkembangan internal di kalangan masyarakat Jawa dengan munculnya gerakan-gerakan penghayat kepercayaan yang semakin luas mendirikan cabang-cabang, dan menjadi alternatif dari orang-orang Jawa yang ingin menekuni dunia batin. Gerakan ini bahkan memiliki kekuatan sejak awal pendirian Republik melalui tokohnya bernama Wongsonegoro, dan pada tahun 1950-an, gerakan-gerakan penghayat ini semakin meluas ke daerah-daerah di Jawa sebagai upaya sebagian masyarakat Jawa untuk mengorganisir diri dalam corak gerakan kebatinan.
Kelima, ada keinginan kaum tarekat sendiri untuk terlibat secara lebih nyata dalam menjawab masalah-masalah di masyarakat, yang berkaitan dengan katarekatan, situasi sosial politik, dan masyarakat pada umumnya, sehingga perjuangan kaum tarekat menjadi semakin perlu untuk diwujudkan dalam wadah, tidak nafsi-nafsi. Di antara wujud dan hasilnya adalah dijawabnya persoalan-persoalan ketarekatan yang muncul di masyarakat oleh kaum tarekat dalam Jami`yyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah.
Tentang dugaan bahwa munculnya Jami`yyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah tahun 1957 itu, karena adanya gerakan-gerakan mirip tarekat, tetapi tidak bersanad di kalangan masyarakat santri sendiri, sebagian mungkin ada benarnya tetapi sebagian juga dapat diragukan, karena: misalnya, gerakan Sholawat Wahidiyah muncul tahun 1959, ketika KH Ma’ruf Kedunglo mendapatkan alamat ghaib (berdasarkan publikasi https://wahidiyah.org/); munculnya tarekat Tijaniyah yang sempat kontroversial di kalangan NU, telah selesai di dalam keputusan NU pada tahun 1922 (Muktamar NU ke-3, tahun 1928 di Surabaya), dan diakui sebagai tarekat yang syah; dan muncunya Shiddiqiyah di Jombang, terjadi tahun 1954 ketika KH Muhammad Mukhtar Mu’thi mendapatkan izin untuk mengajarkan dzikir-dzikir dari gurunya.
Meskipun ada perkembangan-perkembangan demikian, publik tidak tahu secara pasti alasan-alasan yang lebih spesifik, tetapi dilihat dari namanya yang ada kata al-mu’tabarah, mengacu pada penegasan untuk memperkuat perjuangan tarekat-tarekat berafiliasi kepada NU yang silsilahnya bersambung kepada Rasulullah dengan rantai silsilah sanad; dan dilihat dari pengorganisasian wadah tarekat ada upaya untuk memperkuat perjuangan kaum tarekat di tengah masyarakat, dalam situasi ideologis yang semakin menguat-mengeras, baik tumbukan-tumbukan yang sering dimunculkan Masyumi (yang kemudian dibubarkan oleh presiden Soekarno tahun 1960) ataupun PKI.
Munculnya wadah kaum tarekat ini belum berhubungan dengan NU secara organisasi, karena saat itu organisasi kaum tarekat belum menjadi bagian dari organisasi NU. Hanya penegasan bahwa al-mu’tabarah itu adalah bagian penting dari tarekat yang sah di kalangan Ahlussunnah wal Jamaah, yang secara kultural berafiliasi dengan NU.
Wadah organisasi tarekat ini kemudian berhasil menyimpulkan tentang 44 tarekat yang mu’tabarah. Perkembangan wadah kaum tarekat ini sampai munculnya nama KH Mustain Romli, pada Muktamar ke-5 di Madiun tahun 1975, yang dipilih sebagai ketua umum, masih menyatukan semua kalangan tarekat di lingkungan NU yang mendukung organisai ini. KH Mustain Ramli yang berpusat di Rejoso, pesantrennya saat itu sudah menjadi terkenal dan menjadi pusat tarekat Qadiriyah wa Naqsyabaadiyah dan cukup dihormati.
Perlawanan atas Golkarisasi 1971-1984 ke dalam Tarekat dan NU
Peralihan rezim ke dalam Demokrasi Terpimpin (1959-1966), membawa suatu perubahan dalam kekuasaan dan kekuatan-kekuatan yang ada, dari apa yang ada sebelumnya (melalui kekuatan-kekuatan hasil Pemilu 1955). Soekarno dan elemen-elemen pendukungnya yang tergabung dalam Nasakom (termasuk di dalamnya NU, PNI, dan PKI) awalnya mampu meredam perbedaan-perbedaan ideologis dan kepentingan kekuasaan, tetapi kemudian dapat jatuh dalam drama politik yang sampai sekarang masih terus dikuak dan dikaji, yaitu kasus 65 yang menaikkan Jenderal Soeharto sebagai presiden. Sejak tahun 1963, sebagian kaum tarekat yang diwakili kelompok Suryalaya, melalui Abah Anom telah mendukung Sekber Golkar (Imam Kanafi, 2015: 91)
Peralihan kekuasaan pasca-1965 ini mengkristal ke dalam kekuatan Orde Baru dan kekuatan-kekuatan lainnya, yang mengembangkan Sekber Golkar di satu sisi, dan kekuatan lain pada sisi lain. Pemilu tahun 1971 adalah ujian pertama, Golkar menjadi pemenang utama, diikuti NU, PNI, dan partai-partai lainnya, minus PKI yang telah dihancurkan. Perkembangan ini membawa dua perkembangan penting: upaya Golkarisasi dilakukan ke dalam kelompok-kelompok di masyarakat dan militer; dan semakin menciutnya kelompok Islam karena wadah politiknya ingin dilebur dalam wadah satu partai (kemudian menjadi PPP), dan menciutnya kelompok-kelompok lain menjadi PDI. Upaya itu dilakukan pada tahun 1973, yang biasa disebut dengan fusi partai politik; sementara Golkar menyatukan elemen-elemen pendukung penguasa Orde Baru yang semakin kuat dengan dukungan aparat-aparat sipil dan militer.
Di kalangan kelompok Islam, dari mulai NII sampai NU, tidak sepi dari upaya-upaya sistematis penggerpolan-represif dalam kerangka Golkarisasi. Ketika pada tahun 1973 fusi partai-partai dilakukan, maka kekuatan politik hanya ada Golkar, PPP, dan PDI, dan kiai-kiai tarekat di Jawa masih bergabung dalam organisasi: Jamiyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah, kelompok PPTI yang sudah memilih dekat dengan Golkar, diwakili oleh Kaum tarekat Suryalaya, dan sebagian mengembangkan independensi. Perkembangan menjelang Pemilu 1977 dan seterusnya diwarnai dengan serentetan upaya Golkarisasi yang masif dengan cara represif dan kalem sekalipun. Saat itu, Abad Anom sudah dekat dengan Golkar, dan sampai tahun 1979-1982 kemudian secara resmi menjadi anggota Dewan Pembina Golkar (Imam Kanafi, 2015: 94).
Berdasarkan penelitian PUSHAM UII dan ELSAM (TT: 28-50) tentang Komando Jihad, terlihat dengan jelas upaya-upaya Golkarisasi melalui kasus Komando Jihad (Komji, pada masa Bakin dipegang Ali Moertopo) untuk menggalang eks NII, PSII, dan kelompok Islam lainnya, untuk menumbuhkan frustrasi para santri dengan bendera Islam. Tokoh-tokoh yang dijadikan target, termasuk kelompok PSII, yang saat itu di sebagian daerah dapat memenangkan kursi DPRD (misalnya di Sukabumi Golkar dikalahkan PSII). Tidak sedikit tokoh PSII ditangkap atas tuduhan Komji. Di Jawa, penangkapan-penangkapan dengan sandi Komji ini terjadi antara tahun 1976-1980, yang didahului gerakan awal Komji ini di Sumatra tahun 1975-1976. Data-data penelitian di atas menunjukkan bahwa korbannya berjumlah ribuan.
Demikian pula terhadap kelompok NU, yang setelah Pemilu 1971, merupakan kekuatan utama yang menyaingi Golkar, tidak luput dari upaya-upaya ini, karena dari kelompok Islam hanya NU, Parmusi, dan PSII yang memiliki kekuatan. Mereka ini kemudian bergabung dengan fusi PPP. Di Jatim, tokoh pemancing Komji yang ditugaskan adalah seorang agen bernama Hispran, yang disebut penelitian di atas telah “mendatangi tokoh-tokoh masyarakat, baik dari kalangan Muhammadiyah maupun NU.” Beberapa wilayah basis operasi Hispran yang disusul dengan penangkapan-penangkapan adalah Paciran, Bojonegoro, Ponorogo, Blitar, Kediri, Nganjuk, Madiun, Magetan, Pacitan, Tuban, Tulungagung, Trenggalek, dan beberapa wilayah lain di Surabaya.
Baca Juga
Ajengan Ilyas Berkelit dari Golkar
Penangkapan-penangkapan oleh Laksusda Jatim terjadi pada 6-7 Januari 1977 terhadap orang-orang yang telah didatangi Hispran, tidak kurang mencapai 41 orang; sementara di Jawa Tengah berlangsung antara 1978-1979; dan begitu juga di daerah-daerah lain. Penangkapan-penangkapan ini berhasil menimbulkan psikologi ketakutan di tengah-tengah masyarakat, termasuk di kalangan tokoh-tokoh masyarakat: bila berhubungan dengan Islam dan kelompok Islam, diciptakan suatu kesan membahayakan dan dapat ditangkap, dan karenanya menjadi psy war untuk mengguncang basis dan tokoh-tokoh santri.
Selain dengan operasi Komji, di kalangan kiai-kiai NU, operasi Golkarisasi juga dilakukan dengan mendatangi tokoh-tokoh tertentu, termasuk kepada kiai-kiai berpengaruh dan kalangan guru-guru tarekat. Di kalangan kiai, tulisan Munim DZ (NU Online, 14 Februari 2011) tentang didatanginya KH Machrus Ali oleh aparat-aparat pemerintah, yang dilawan dengan cara kiai, membenarkan ini semua. Intinya, KH Machrus Ali menerima bantuan listrik, tetapi tetap tidak mau memberikan dukungan kepada kekuatan Golkar. Ketika diancam listrik yang dialirkan akan dimatikan, KH Machrus Ali, dalam tulisan itu disebut menjawab dengan cara kiai, silakan matikan, tetapi pohon-pohon yang telah ditebang (untuk jalan listrik itu) tolong dihidupkan kembali. Akhirnya listrik dibiarkan untuk mengalir.
Situasi di atas, di kalangan kaum tarekat, juga difahami ada penciptaan situasi di masyarakat yang penuh penekanan-represif, dengan mesin-mesin partai, birokrasi, aparat militer, dan tokoh-tokoh sipil-militer. Hal ini juga menimbulkan sebuah pemikiran tertentu. Di kalangan kiai-kiai NU yang berafiliasi dengan tarekat, rezim Orde Baru-Golkar melakukan pendekatan dengan cara mendatangi sebagian tokoh-tokoh tarekat berkali-kali, sehingga mengesankan di tengah masyarakat ada suatu yang membahayakan. Di antara tokoh tarekat yang didatangi, sebagaimana disebut Mahmud Sujuti dalam penelitiannya (2000) adalah KH Mustain Romli, mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, dan saat itu telah menjadi ketua Jamiyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah (yang dipilih tahun 1975).
Menurut penelitian Mahmud Sujuti (2000) orang-orang pemerintah mencoba mendekati orang-orang tarekat. Dalam hal perubahan KH Mustain Romli yang kemudian bersedia berkampanye untuk Golkar pada tahun 1977, dalam penelitian itu disebutkan karena melihat kekuatan pemerintah ini sudah sangat kuat, dan perjuangan melalui partai NU atau PPP saja, tidak cukup untuk dapat menjawab situasi yang ada. Menurut perkiraan saya, mungkin juga KH Mustain Romli mendapatkan perintah batin dari guru-gurunya, atau sejenis mimpi, akhirnya keputusan dekat dengan Golkar itu diterima, yang sebenarnya telah didahului oleh Tarekat Suryalaya.
Sementara kiai-kiai NU saat itu masih berpegang pada keputusan bergabung dengan PPP sejak fusi partai pada tahun 1973. Dalam penelitian Mahmud Sujuti (2000) itu disebutkan: “Bila tidak dekat dengan pemerintah dan dekat dengan penguasa akan menemui banyak kesulitan. Sebab pemerintah itu berkuasa dan dapat berbuat apa saja (Mahmud Sujuti, 2000: 99). KH Mustain memang kemudian ikut kampanye Golkar pada tahun 1977 (Martin, 1992: 181), tetapi beliau membebaskan pengikut tarekatnya untuk memilih partai yang disukainya.
Hanya saja, keputusan KH Mustain ini memperoleh reaksi yang kuat di kalangan kiai-kiai tarekat NU, dan juga di kalangan sebagian muridnya, bahkan sebagian para wali murid di pesantren beliau. Menurut Mahmud Sujuti, jumlah orang tarekat yang pindah lebih dari 50 persen, disertai pula sebagian wali santri memindahkan anaknya dari pesantren yang diasuh KH Mustain. Para murid tarekat yang tidak setuju dengan langkah KH Mustain ini kemudian membuat pusat tarekat di Cukir, melalaui otoritas KH Adlan Ali, yang memilih tetap berada di PPP, karena NU saat itu masih bagian dari PPP. Sebagian pendapat dalam beberapa penelitian itu menyebutkan masalahnya bukan politik, tetapi berkembangnya rumor masalah silsilah sanad.
Dengan sendirinya wadah tarekat bernama Jamiyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah itu menghadapi guncangan internal, yang dipicu masuknya KH Mustain Ramli ke dalam Golkar, atau entah karena alasan-alasan lainnya, atau gabungan dari itu semua. Padahal saat itu KH Mustain menjadi Ketua Umum wadah organisasi tarekat itu. Guru-guru tarekat di kalangan NU yang tidak setuju dengan langkah beliau untuk dekat dengan Golkar, meneruskan gerakannya dengan menjadikan wadah tarekat ini menjadi Jam`iyyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah, yang pada Muktamar NU di Semarang tahun 1979 dibincangkan-disepakati. Penekanan pada kata “an-adliyyah”, artinya wadah tarekat ini loyal kepada NU dan berafliasi dengan NU, termasuk dalam hal sikap politiknya.
Apa yang ditempuh KH Mustain dengan masuk Golkar itu, tetap dipertahankan meski mendapatkan penentangan dari tokoh-tokoh PPP dan kiai-kiai NU lainnya. Berbeda dengan kasus Golkarisasi melalui gerakan-gerakan represif dalam kasus Komji, Golkarisasi melalui tarekat oleh rezim Ordre Baru dilakukan lebih kalem dengan mengajak tokoh-tokoh sebagian tarekat masuk di dalamnya. Cara yang lebih kalem ini, mendapatkan sejumlah pengikut meski tidak cukup banyak; dan langkah-langkah represif seperti dalam kasus Komji menimbulkan traumatik dan merusak moral dan politik kemenangan pemerintah Golkar itu sendiri.
Berbeda dengan itu, cara represif dilakukan kepada kiai-kiai NU lain yang loyal kepada PPP, terutama menjelang Pemilu 1977. KH Hasan Basri, seorang komisari PPP Brebes dibunuh orang-orang yang tidak dikenal (Pelita, 6 Mei 1977), kemudian juga muncul pembakaran rumah-rumah kiai dan santri sejumlah 140-an rumah di Asembagus menjelang pemilu 1977 (NU Online, 7 Oktober 2012), untuk menimbulkan suasana yang menakutkan di tengah-tengah santri-santri Nahdliyin, bila tidak mendukung rezim penguasa. Sampai saat ini, saya menjumpai sebagian kiai sepuh yang tidak bisa menerima Golkar, mungkin juga karena alasan-alasan kejadian di masa lalu ini. Kata beliau, kepada saya: “Nggak isoh, nggak isoh.”
Proses dinamika politik terus berubah hingga muncul Deklarasi Khittah tahun 1984, yang memutuskan NU keluar dari PPP disertai upaya membebaskan warganya untuk berpolitik ke manapun, asal memperjuangkan cita-cita NU. Hanya saja, catatan atas Golkarisasi pada masa 1970-an sampai lahirnya deklarasi Khittah NU tahun 1984 itu, tetap menjadi ingatan kolektif yang tidak boleh dilupakan untuk membangun jatidiri dan kekuatan NU, bahwa mereka pernah menjadi bagian dari target operasi represif pemerintah Orde Baru dengan mesin Golkarnya, dan sebagian kiai Nahdliyin telah berdarah-darah di tengah sistem politik yang represif.
Karenanya, mendukung dan memperjuangkan demokrasi dan jaminan kebebasan sosial politik menjadi niscaya untuk diperjuangkan masyarakat NU. Tujuannya agar penguasa yang represif dan sewenang-wenang dapat terkontrol melalui kekuatan di masyarakat. Golkarisasi yang dibahas di sini di antara 1971-1984 adalah contoh penciptaan kehidupan politik yang dipenuhi tindakan represif dan tidak beradab, tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Nur Khalik Ridwan, salah satu pendiri Pesantren Bumi Cendekia, Pesantren Inovasi Bangsa, dan pengawas Pesantren Oncor Punthuk Sewu.
Terpopuler
1
Susunan Lengkap Pengurus Besar PMII 2024-2027
2
Khutbah Jumat: 4 Amal Ibadah Penghantar Menuju Surganya Allah
3
Duduk Perkara Persoalan JATMAN: Munculnya PATMAN hingga Ikhtiar PBNU Mencari Solusi
4
Khutbah Jumat: Keutamaan Memelihara Shalat dan Memakmurkan Masjid
5
Khutbah Jumat: Meniti Jalan Menuju Surga
6
Khutbah Jumat: Mari Mendidik Anak dengan Tidak Memanjakannya
Terkini
Lihat Semua