Jakarta, NU Online
Setiap tanggal 10 November tiba, bangsa Indonesia akan memperingati Hari Pahlawan. Tujuannya, selain mengenang jasa pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan, juga tak lain agar semangat perjuangan terus diwarisi oleh generasi saat ini dan generasi mendatang.
Zaman dulu, kata pahlawan disematkan pada orang yang terlibat dalam peperangan memperjuangkan kemerdekaan dan yang ikut mempertahankannya. Peristiwa kepahlawanan dalam peperangan yang kita rayakan saat ini adalah perayaan terhadap kemenangan atas peperangan 73 tahun silam, di mana pada 10 November 1945 warga Surabaya dan sekitarnya melakukan perlawanan terhadap Belanda yang hendak merebut kemerdekaan Indonesia.
Namun gelar pahlawan sejatinya tak hilang bersama dengan hilangnya peperangan merebut kemerdekaan. Gelar pahlawan juga dapat digunakan saat ini. NU Online mewawancara beberapa narasumber dari kalangan profesi yang berbeda untuk menangkap makna pahlawan dalam konteks saat ini.
Hafiz Arfyanto (29), seorang mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh sekolah master di The Australian National University, Canberra Australia mengatakan bahwa siapa saja bisa menjadi pahlawan saat ini. “Pahlawan adalah mereka yang memberi kontribusi nyata. Jadi pada prinsipnya seorang pahlawan bisa siapa saja dan datang dari latar belakang pekerjaan apa saja,” kata Hafiz pada NU Online.
Mahasiswa Master of Economics ini memberi contoh kasus defisitnya anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang terjadi karena pemasukan, yang mayoritas berasal dari pembayaran premi, lebih sedikit dari pada penggunaan anggaran.
Dalam analisanya, hal itu terjadi karena dua hal: pertama banyaknya masyarakat yang tidak membayar premi asuransi. Hal itu berasal dari lemahnya pemahaman tentang skema asuransi. Akibatnya sebagian warga hanya membayar iuran sebelum atau saat mengakses layanan kesehatan. Bahkan, sebagian dari masyarakat berhenti membayar iuran setelah mendapatkan layanan.
Dalam hal itu, lanjut dia, seorang pahlawan adalah mereka yang rajin membayar iuran premi BPJS. “Dalam hal defisit anggaran BPJS, pahlawan adalah mereka yang rutin membayar premi BPJS Kesehatan, sedangkan yang tidak membayar (kecuali penerima bantuan iuran) bukan pahlawan,” katanya.
Kedua, penyebab lain dari defisit anggaran BPJS Kesehatan adalah sistem pembayaran premi yang kurang adil dan merata. Ia menilai, premi yang dibayarkan dari pekerja yang ditanggung bersama antara pemberi kerja dan pekerja cenderung masih sangat rendah.
Hal itu disebabkan aturan dalam Perpres 19 tahun 2016 Pasal 16D yang mengatur batas atas pendapatan yang diprosentase 5 persen untuk membayar iuran sebesar 8 juta. Karena batas atas itu, sehingga orang yang gajinya di atas 8 juta, hanya membayar BPJS sebesar 5 persen dari 8 juta saja.
Menurutnya, adanya batas atas ini membuat skema pembayaran tidak adil sebab cenderung menguntungkan kelompok yang bergaji tinggi. Pada konteks itu, pejabat pembuat aturan BPJS juga bisa menjadi pahlawan dengan membuat aturan yang lebih baik dan adil.
“Misalnya menghapus batas atas gaji yang diprosentasekan untuk membayar BPJS. Dan yang diprosentase jangan gaji pokok saja, tapi keseluruhan dari pendapatan termasuk tunjangan dan manfaat lain,” ujarnya. (Ahmad Rozali)