Nasional

Kaleidoskop 2024: 114 Kasus Kekerasan Terjadi di Pesantren, PBNU Bentuk Satgas untuk Menanganinya

Ahad, 29 Desember 2024 | 09:00 WIB

Kaleidoskop 2024: 114 Kasus Kekerasan Terjadi di Pesantren, PBNU Bentuk Satgas untuk Menanganinya

Gambar hanya sebagai ilustrasi berita. (Foto: freepik)

Jakarta, NU Online
 

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyampaikan Data Kasus Kekerasan di Lembaga Pendidikan 2024 yang menunjukkan sebanyak 36 persen atau 206 kasus terjadi di lembaga pendidikan berbasis agama, dengan rincian di madrasah sebanyak 16 persen atau 92 kasus dan pesantren sebanyak 20 persen atau 114 kasus.


Jika melihat dari lokasi kejadian, sekolah berasrama dan pesantren terdapat 15 persen atau 86 kasus kekerasan yang terjadi di dalam asrama atau pesantren.


Jenis kekerasan yang terjadi antara lain kekerasan seksual sebanyak 42 persen atau 241 kasus, perundungan sebanyak 31 persen atau 178 kasus, kekerasan psikis sebanyak 11 persen atau 63 kasus, kekerasan fisik sebanyak 10 persen atau 57 kasus, dan kebijakan diskriminatif sebanyak 6 persen atau 34 kasus.


Korban kekerasan didominasi oleh perempuan, pada kasus kekerasan seksual sebanyak 556 orang dan kasus perundungan sebanyak 470 orang. Sementara laki-laki, pada kasus kekerasan seksual sebanyak 17 orang dan kasus perundungan sebanyak 103 orang.


Di antaranya kasus kekerasan yang terjadi pada 2024. Pada Februari, kasus kekerasan fisik terjadi di Pesantren Al Haniffiyah, Kediri, Jawa Timur yang mengakibatkan seorang santri tewas. Kasus ini dilakukan oleh sesama santri, tepatnya kakak kelasnya.


Pada September, kasus kekerasan fisik terjadi di salah satu pesantren di Sukoharjo, Jawa Tengah yang mengakibatkan seorang santri meninggal. Kasus ini dilakukan oleh sesama santri senior.


Kasus kekerasan seksual terjadi di Pesantren Madrasatul Qur'an Hasyim Asy'ari Bantaeng, Sulawesi Selatan, pada November 2024. Kasus ini mengakibatkan seorang santri tewas.


Lalu pada Desember 2024, kasus kekerasan fisik terjadi kepada seorang santri di Pesantren Darusy Syahadah, Boyolali, Jawa Tengah.


Kekerasan ini dilakukan oleh kakak dari santri Kulliyatul Muallimin Tahfizhul Qur'an dan mengakibatkan seorang santri mengalami luka bakar serius pada bagian paha ke bawah.
 

PBNU bentuk satgas


Merespons kasus kekerasan di pesantren, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kini telah membentuk tim satuan tugas (satgas) yang diisi oleh unsur syuriyah dan tanfidziyah.


Ketua PBNU KH Ulil Abdhar Abdallah (Gus Ulil) yang merupakan salah satu anggota tim satgas menyampaikan bahwa PBNU akan ikut membantu menangani kasus kekerasan yang terjadi di pesantren.


“PBNU akan menangani dengan serius masalah kekerasan, baik itu seksual, bullying atau perundungan dengan berkolaborasi dan bekerja sama dengan Kemenkes, Polisi, KPAI, atau kementerian yang relevan untuk menangani masalah ini, sehingga korban akan tertangani dengan baik,” ujar Gus Ulil kepada NU Online, pada 6 Oktober 2024.


Upaya pemerintah

Kementerian Agama (Kemenag) telah meluncurkan regulasi pengasuhan ramah anak di pesantren melalui Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Nomor 1262 Tahun 2024.


Regulasi tersebut merupakan petunjuk teknis (Juknis) yang disusun bersama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), para pengasuh pesantren, akademisi dan praktisi anak yang berisi tujuh bab.


Juknis ini berisi tentang Pengasuhan Pesantren yang Ramah Anak; Tata Cara Pengasuhan di Pesantren; Tata Cara Perlindungan Anak dalam Pengasuhan; Sumber Daya Pendukung dan Pemantauan, Evaluasi, dan Laporan.


Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) Ditjen Pendis Kemenag Basnang Said menegaskan, pihaknya secara tegas akan memutus penyaluran bantuan sosial kepada pihak pesantren yang terbukti melakukan tindak kekerasan. Bantuan sosial yang dimaksud adalah dana abadi pendidikan, termasuk di dalamnya dana abadi pesantren.


“Sanksinya sudah kita terapkan di pesantren, jadi ketika pesantren melakukan pelanggaran maka tegas kami (Kemenag) lakukan adalah tidak mendapatkan bantuan dari Kementerian Agama, tetapi untuk sampai tahap pencabutan bantuan nanti kita lihat dahulu,” ujar Basnang.


“Bagi pondok-pondok pesantren yang memang kira-kira sudah sangat agak berat (permasalahannya) tentunya akan mendapatkan sanksi, yang pertama tidak akan pernah mendapatkan rekognisi, fasilitasi, dan afirmasi oleh Kementerian Agama,” tambahnya.