Nasional

Kesaksian Tokoh Agama Papua tentang Perjuangan Kemanusiaan Gus Dur

Sabtu, 12 Desember 2020 | 13:30 WIB

Kesaksian Tokoh Agama Papua tentang Perjuangan Kemanusiaan Gus Dur

Gus Dur saat mengunjung Papua. (Foto: Dok. Pojok Gus Dur)

Jakarta, NU Online
Tokoh Agama Papua Pendeta Yemima Krey memberikan kesaksian terhadap sosok KH Abdurrahman Wahid dalam memperjuangkan kemanusiaan dan keadilan di Papua. Menurutnya, Gus Dur memiliki kekuatan di dalam diri sehingga mampu memberikan berbagai terobosan.
 
Hal tersebut dipaparkannya secara virtual saat menjadi narasumber dalam agenda Temu Nasional (Tunas) Jaringan Gusdurian, pada sesi Ziarah Pemikiran bertajuk ‘Gus Dur dan Papua’, pada Sabtu (12/12). Agenda ini juga disiarkan langsung melalui Youtube 164 Channel, halaman facebook KH Abdurrahman Wahid, dan TV9 Official.
 
“Saya pikir, kekuatan dalam dirinya itu bukan hanya untuk Papua tetapi juga memang kekuatan itu bersifat universal atau untuk siapa pun juga. Gus Dur bisa ada di sana (untuk semua),” sambung Pendeta Yemima. 
 
Ia mengaku senang karena Gus Dur datang ke Papua pada 2007. Kedatangan itu karena terjadi kesulitan antara Papua dengan pemerintahan. Gus Dur kemudian meminta untuk singgah di rumah Pendeta Yemima untuk makan sup ikan. 
 
“Kami duduk dan dia bercerita sedikit. Dia (Gus Dur) bisa merasakan dan mengetahui segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Dia cukup datang di situ, orang akan tahu bahwa dia punya keberpihakan kepada mereka yang berfikir dan berjuang tentang keadilan,” jelasnya.
 
Lalu pada petang hari, Yemima mengantar Gus Dur ke sebuah pertemuan dengan masyarakat Papua di Gedung Olahraga. Ia menuturkan bahwa tidak ada satu pun pejabat pemerintahan yang menemani perjalanan Gus Dur.
 
“Sehingg saya harus mendampinginya. Itu sedikit apa yang ada untuk saya dekat dengan dia saat itu,” katanya. 
 
Lebih jauh ia mengatakan bahwa sesudah reformasi Gus Dur memang terpilih sebagai kepala pemerintahan republik. Kata Yemima, reformasi itu sendiri hadir karena kritik terhadap kebijakan pemerintah yang menciptakan kekuasaan otoritarianisme. 
 
“Demokrasi seolah terusir mundur. Bahkan telah melahirkan budaya kekerasan dan pembunuhan. Bahayanya adalah orang tidak merasa bersalah untuk hal itu (kekerasan dan pembunuhan),” ujar Yemima, haru. 
 
Masa jabatan Gus Dur sebagai kepala negara memang sangat singkat. Tak lama kemudian, hanya sekira 22 bulan, Presiden keempat RI itu dilengserkan. Namun Yemima mengaku sangat mengikuti rekam jejak Gus Dur. 
 
Ia menyaksikan bahwa Gus Dur telah melewati suatu pembentukan jiwa yang nampak pada keberanian, pikiran, dan kerjanya. Ia yakin, pembentukan jiwa itu diperoleh Gus Dur dalam waktu yang lama sehingga memiliki kecerdasan hati nurani yang berkualitas tinggi.
 
“Gus Dur punya keputusan untuk memilih hidup dalam kesederhanaan, dari menundukkan diri di hadapan Allah tanpa berhenti. Inilah yang semakin menguatkan dia dalam kebenaran-kebenaran ilahi yang dia yakini,” ungkap Yemima.
 
“Dan kebenaran-kebenaran itu memberikan dia keberanian yang kalau dia yakin itu benar maka harus diperjuangkan. Tanpa kompromi Gus Dur tetap akan tegas,” lanjutnya. 
 
Menurut Yemima, segala hal yang bersifat hakikat harus ada dalam diri manusia. Hakikat kemanusiaan, bagi Gus Dur, tidak boleh dikorbankan. Hal itu karena Gus Dur memiliki kecerdasan hati nurani.
 
Seorang seperti Gus Dur bukan saja ada di dalam masjid atau berperilaku alim dalam hal keagamaan, tetapi juga memiliki intelegensia atau kecerdasan yang sangat tinggi. Gus Dur, kata Yemima, selalu mau belajar. 
 

Konflik 1 Desember 1999

Yemima kemudian mengingat saat terjadi konflik antara aparat dengan Rakyat Papua soal pengibaran Bendera Bintang Kejora pada 1 Desember 1999. Ketika itu ada Tim Empat dari Papua untuk ke Jakarta menemui Presiden Gus Dur pada 7 Desember 1999. Keempat orang itu adalah Michael Manuvandu, Simon Patrice Morin, Phil Karel Erari, Lukas Degei.
 
Dalam buku berjudul Jubileum dan Pembebasan Menuju Papua Baru, Phil Karel Erari menulis bahwa pertemuan itu adalah sebuah gagasan tentang dialog nasional dalam kerangka Otonomi Khusus (Otsus) di Papua. 
 
“Itulah embrio dan lahirnya otonomi khusus bagi Papua. Waktu itu ditetapkan dalam TAP MPR Nomor 4 Tahun 1999. Ini dipercakapkan secara mendalam oleh Tim Empat dan Presiden Gus Dur,” lanjut Yemima.
 
Gus Dur menyebut pertemuan itu adalah sebagai sebuah proses dialog nasional yang demokratis dalam konteks Otonomi Khusus. Hal tersebut merupakan jalan terbaik bagi solusi konflik rakyat Papua dan pemerintah Indonesia. 
 
“Orang lain tidak mungkin akan berani sebagaimana yang dilakukan Gus Dur,” kata Yemima. 
 
Penyelesaian berbagai konflik di Papua, menurut Gus Dur, dibutuhkan penggunaan simbol yakni hak-hak kultural orang Papua dihargai melalui representasi kultural yang bermartabat. Gus Dur mengatakan, pemerintah harus menghargai hak-hak kultural bagi orang Papua. 
 
“Kemudian ini mendorong Gus Dur untuk memberi nama Papua kembali dari yang semula adalah Irian Jaya pada 1 Januari 2000, sesudah dia merayakan Natal di sini dan menyambut fajar pagi di Timur,” ungkap Yemima.
 
Apresiasi terhadap kultur Papua telah mendorong Gus Dur untuk mengisyaratkan bahwa pengibaran Bendera Bintang Kejora diperbolehkan. Asalkan bersanding dengan Bendera Merah Putih. 
 
“Merah putih hanya satu bendera, di Indonesia itu merah putih. Jadi kalau kasih bendera kultural (Bintang Kejora) tidak boleh besar,” terang Yemima. 
 

Majelis Rakyat Papua

Dari situ tercetuslah untuk membuat Majelis Rakyat Papua (MRP). Terdapat draf yang dibuat pada 13 Agustus 2003 yang disepakati oleh Tim Empat dari Papua dengan Tim Jakarta. Draf tersebut memuat prinsip pendekatan kultural yang direpresentasikan oleh wakil adat, tokoh perempuan, dan tokoh agama.
 
“Bagi dia (Gus Dur) itu (MRP) merupakan posisi tawar mengenai hak-hak dasar orang Papua di segala bidang, dipertaruhkan (di MRP),” kata Yemima. 
 
MRP dirumuskan sebagai simbol kultural dan diberi kewenangan sebagai badan representasi kultural yang memiliki kewenangan hak-hak dasar Orang Asli Papua (OAP) yang merupakan eksistensi hidup, ekonomi, politik, hukum, pemerintahan, kesehatan, pendidikan, dan aspek hidup orang Papua itu sendiri. 
 
“Pemikiran Gus Dur diterjemahkan sampai tercipta kebijakan membentuk MRP. Ini diyakini bahwa kebudayaan atau kultur sebagai kekuatan rakyat, kekuatan yang membebaskan dan mempersatukan,” ujar Yemima.
 
“Bagi Gus Dur, budaya Papua menjadi tolok ukur bagi semua resolusi konflik antara rakyat Papua dengan pemerintah Indonesia,” lanjutnya.
 
Menurut Yemima, Gus Dur telah meninggikan harkat dan martabat manusia melalui pendekatan kultural. Terbentuknya MRP adalah solusi cerdas yang dilakukan Gus Dur. Sementara untuk sampai dibentuk MRP, dibutuhkan dialog. Kemudian muncul pembahasan soal Otsus di dalamnya. Barulah MRP dapat dibentuk.
 
Gus Dur melihat konflik di Papua adalah masalah kemanusiaan, sehingga mengetahui bahwa solusinya adalah memberikan sesuatu yang dibutuhkan oleh Rakyat Papua. Sedangkan kebutuhan itu adalah terselesainya masalah kemanusiaan di Bumi Cendrawasih itu.
 
Yemima mengatakan bahwa Gus Dur adalah sosok yang cerdas, pintar, dan pandai. Sebab, Gus Dur mampu bekerja dengan filsafatnya sendiri. “Dia belajar filsafat. Maka jangan memimpin tanpa belajar ilmu ini,” katanya.
 
Karena menurut Yemima, jika seorang pemimpin tidak belajar filsafat maka tidak akan punya daya pandang baik terhadap bangsa dan negara. Begitu pula soal daya pandang kepada agama dan sesama manusia.
 
“Boleh bicara besar sebagai pemimpin tapi jika kau tidak melewati satu proses dengan falsafah yang tepat yang kau miliki, maka tidak mungkin (bisa) memimpin satu bangsa ini,” tegasnya.
 
“Jadi memang Gus Dur hanya dua tahun (menjabat presiden). Tapi dia pemikir dan filsuf. Jadi itu (hasilnya adalah) yang diperjuangkan dengan MRP ini,” pungkas Yemima.
 
Selain Pendeta Yemima Krey, dalam Ziarah Pemikiran bertema ‘Papua dan Gus Dur’ ini hadir pula dua pembicara lainnya secara virtual. Kedua pembicara itu adalah Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Papua sekaligus Anggota MRP Tony Wanggai serta Penulis Buku Gus Dur: Islam Nusantaran dan Kewarganegaraan Bineka Ahmad Suaedy.
 
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Syamsul Arifin