Nasional

Kiai NU Miliki Kesadaran Geopolitik Tingkat Tinggi

Selasa, 24 Maret 2015 | 09:01 WIB

Kudus, NU Online
Perjuangan kiai NU yang dinilai tradisional, tetapi memiliki kesadaran geopolitik yang tinggi. Di bawah kendali para kiai, NU selamat dari bentuk provokasi dan jebakan lawan, baik secara ideologi dan politik.<> 

Demikian disampaikan Wakil Sekretaris PBNU H Abdul Mun'im DZ saat menjadi narasumber dalam acara  Program Pengembangan Wawasan Keulamaan (PPWK) PC Lakpesdam NU bekerjasama PP Lakpesdam NU di Pondok Pesantren Raudlatul Muta’allimin Jagalan, Kudus,  Jum'at (20/3) lalu.

Mun'im mengatakan, kesadaran geopolitik kiai NU sudah ditunjukkan KH Hasyim Asy'ari dalam dunia Islam tahun 1926. Pada waktu itu, KH. Hasyim mengutus KH Wahab Hasbullah dan Syekh Ghanaim untuk menyampaikan petisi kepada Raja Saudi untuk menjamin kerukunan antarumat Islam.

"Karena sang kiai tahu bahwa kerajaan Saudi Arabia adalah ciptaan Inggris dalam upaya memecah belah dalam menguasai dunia Islam. Kiai Hasyim merespon dengan membangun kesatuan dunia Islam di Kota suci umat Islam melalui komite hijaz," terangnya.

Pada tahun 1935, tuturnya mencontohkan,  NU telah mengukuhkan Indonesia sebagai negara bangsa bagi umat Islam, walaupun saat itu sedang dijajah. Kewajiban umat Islam adalah menjaga dan membela negaranya.  Tetapi tidak bersedia membela penjajah Belanda dalam menghadapi musuhnya.

"Sikap NU itu diambil karena kiai tahu konstelasi geopolitik saat itu, dimana gabungan Jepang Italia dan Jerman telah mencengkeram dunia. Bahkan NU berharap Belanda takluk dalam perang," tandas Mun'im.

Contoh lain, ujarnya, Presiden KH Abdurrahman Wahid tahun 1999 menghadapi masalah disintegrasi dengan maraknya gerakan sparatisme. Gus Dur, terang Mun'im, melakukan perjalanan keliling dunia untuk meminta jaminan negara besar agar tidak memberi dukungan pada kelompok sparatis seperti GAM, OPM, Riau Merdeka, dan sebagainya.

"Dari kunjungannya itu, Gus Dur mendapat jaminan negara lain tidak akan membantu gerakan sparatis. Ini artinya Gus Dur tahu bahwa keberadaan satu negara sangat bergantung dukungan dan pengakuan negara lain di luar negeri," tuturnya.

Disamping geopolitik internasional, para ulama juga melakukan pemahaman terhadap geokultural dan geopolitik lokal. Sebagaimana yang dilakukan para wali dalam menyebarkan Islam lebih mengedepankan prinsip tadriji (bersifat gradual) taklilut taklif (tidak memberatkan) dan 'adamul kharaj (tidak mengancam) sehingga memunculkan fiqhul Ahkam, fiqhud dakwah dan fiqhu siyasi.

"Ada beberapa kasus misalnya pantangan memotong sapi bagi warga Kudus, membiarkan masyarakat mendatangi pepunden, membolehkan kurban seekor sapi atau kerbau untuk 9 orang  dan lainnya. Ini semua merupakan strategi  membangun toleransi dan menarget kaum muda," terang Mun'im. (Qomarul Adib/Fathoni)