Korban Kekerasan Takut Laporkan Kasusnya, Psikolog: Trauma Berulang Tak Terhindarkan
NU Online Ā· Sabtu, 22 November 2025 | 23:30 WIB
Talkshow bertajuk Kita Punya Andil, Kembalikan Ruang Aman di Balai Kota DKI Jakarta pada Sabtu (22/11/2025). (NU Online/Rikhul Jannah)
Rikhul Jannah
Kontributor
Jakarta, NU Online
Tingginya angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak diimbangi dengan sistem pelaporan yang ramah korban. Psikolog Noridha Weningsari mengungkapkan berlapisnya birokrasi, alur layanan yang tidak terintegrasi, dan kewajiban korban untuk berulang kali menceritakan pengalaman traumatis menjadi faktor besar yang membuat banyak penyintas takut melaporkan kasusnya dan berakhir memilih diam.
Hal tersebut ia sampaikan dalam Talkshow bertajuk Kita Punya Andil, Kembalikan Ruang Aman yang dihadiri korban kekerasan, anak muda, dan pegiat perempuan di Balai Kota DKI Jakarta pada Sabtu (22/11/2025).
"Korban takut melaporkan kasusnya ini karena birokrasinya sangat rumit, ketika melaporkan kasus ini ke dinas setempat, si korban cerita dan mengingat kesakitan itu, setelah dari dinas naik ke polisi, nanti di kepolisian ditanyain lagi, cerita lagi si korban tentang kesakitan yang dialami, begitu ketika ketemu psikolog, dia cerita lagi mengingat hal sakit itu,ā jelas Noridha.
"Jadi korban takut lukanya malah berlapis dan menimbulkan trauma mendalam jika kejadian kekerasan baik seksual maupun fisik diceritakan berulang-ulang,ā sambungnya.
Hal serupa disampaikan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Jakarta, Uli Pangaribuan, yang menyoroti layanan yang tercerai-berai. āKita berbicara korban kita harus memahami kebutuhan mereka, tapi sayangnya kebutuhan-kebutuhan ini tuh terpencar jadi dia ada di kepolisian, ada di UPTD DPPPA,ā katanya.
Korban, menurutnya, harus menghadapi proses penggalian informasi di banyak tempat, diantaranya di kepolisian, nit Pelaksana Teknis Daerah Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (UPTD DPPPA), hingga fasilitas kesehatan.
āNah ini yang menimbulkan dia mengalami trauma berulang, ini yang seharusnya mau diminimalisir,ā ucapnya.
Uli mengatakan bahwa sebaiknya perlu layanan satu pintu yang terintegrasi agar korban tidak lagi harus mengulang cerita dan dapat memperoleh akses rumah aman, bantuan hukum, serta layanan kesehatan melalui satu jalur yang terkoordinasi.
āKalau bisa di satu pintu saja tapi tersambung kesemuanya,ā tegasnya.
Sementara itu, Wakil Menteri Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Veronica Tan mengakui bahwa layanan SAPA (Sahabat Perempuan dan Anak) 129 belum sepenuhnya terhubung dengan daerah sehingga menyebabkan alur yang berputar dan melelahkan bagi korban.
āSetiap korban yang melapor melalui SAPA 129, kemudian diberikan ke daerah, dan daerah pun mengkonfirmasi ke korban yang melaporkan. Ini menimbulkan trauma yang berlapis,ā ujarnya.
Veronica menyebut, dalam kondisi saat ini korban harus kembali ditanya oleh DPPPA dan pihak berwajib meski sudah memberikan kronologi ke SAPA 129. Ia mengatakan, perlu adanya integrasi teknologi yang lebih maju sangat dibutuhkan.
āAndai SAPA 129 ini sudah berbasis teknologi yang canggih jadi langsung ketika ada yang telepon langsung nyambung dan terintegrasi ke daerah,ā katanya.
Ā
Terpopuler
1
Gus Yahya Ajak Seluruh Pengurus NU Siapkan Muktamar Ke-35 sebagai Jalan Terhormat dan Konstitusional
2
Pertemuan Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah di Lirboyo Putuskan Muktamar Ke-35 NU Bakal Digelar Secepatnya
3
KH Miftachul Akhyar Undang Rapat Konsultasi Syuriyah dengan Mustasyar PBNU di Pesantren Lirboyo
4
Gus Yahya Tanggapi KH Miftachul Akhyar soal AKN-NU, Peter Berkowitz, hingga Dugaan TPPUĀ
5
KH Miftachul Akhyar Sampaikan Permohonan Maaf terkait Persoalan di PBNU
6
Khutbah Jumat: Rajab, Shalat, dan Kepedulian Sosial
Terkini
Lihat Semua