Jakarta, NU Online
Mudik menjadi salah satu fenomena yang ramai diperbincangkan menjelang Hari Raya Idul Fitri. Mudik, merupakan aktivitas yang dilakukan perantau jelang lebaran untuk kembali ke kampung halaman.
Ketua Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Depok, Jawa Barat, Romo Donny S Ranoewidjojo mengatakan bahwa mudik erat dengan fenomena urbanisasi yaitu migrasi penduduk dari perdesaan ke perkotaan karena daya tarik magnet industri.
Ia juga melihat bahwa fenomena merantau secara ekonomi dianggap lebih menjanjikan untuk mencari peruntungan, baik dari kota kecil ke ibu kota propinsi maupun dari daerah ke ibu kota negara.
"Selain faktor peruntungan ekonomi, perpindahan domisili mukim juga dapat disebabkan oleh pindah wilayah tugas terkait mutasi jabatan," ungkapnya Romo Donni kepada NU Online, Rabu (19/4/2023).
Secara kebahasaan, tutur dia, mudik berasal dari makna kembali ke sumber, hulu atau mata air (udik). Arti tersebut mengambil metafora hulu dan hilir sungai, hingga dikenal juga istilah untuk orang yang berjalan atau bepergian bolak-balik berulang-ulang dengan sebutan hilir-mudik.
"Kata udik yang bermakna sumber atau asal juga untuk menyebut kampung halaman, sebagai tempat asli keluarga berasal. Lalu orang yang telah bermukim di perkotaan namun belum dapat menyesuaikan diri dengan modernitas kota akan dijuluki sebagai orang udik alias orang kuno yang dianggap belum dapat meninggalkan kebiasaan lama dari kampungnya," jabar dia.
Ia menambahkan, tradisi mudik dimulai sejak batas-batas antara kerajaan dan wilayah adat menjadi lebur oleh konsep pewilayahan baru yang lebih luas.
"Yang sudah dimulai sejak zaman kolonial dan menjadi resmi bersamaan dengan berdirinya nation kebangsaan negara Indonesia yang wilayahnya mencakup daerah kerajaan dan adat di masa lampau," ucapnya.
Dahulu di zaman kerajaan kuno, lanjut dia, belum marak fenomena mudik sebab belum terjadi urbanisasi. Penduduk desa secara tradisi turun-temurun tetap menjalankan aktivitas produksi pangan dan kerajinan di daerah mereka masing-masing, dan persebaran komoditas dilakukan oleh fungsi perdagangan kuno dengan pedati yang ditarik oleh sapi sebagai alat transportasi perdagangan yang posisinya sekarang digantikan oleh kendaraan truk.
Pada zaman itu, terang dia, orang-orang dari daerah yang ditarik ke kutaraja oleh pihak kerajaan sebagai penunjang kekuatan inti istana dibuatkan kampung di sekitar tembok istana, seperti para ulama di Kauman.
Lalu dengan adanya kampung-kampung satuan prajurit serta pemukiman abdi-abdi istana yang berprofesi khusus lainnya, sehingga relatif tidak perlu untuk sering kembali ke desanya sebab sudah dibuatkan kampung pemukiman di kutaraja untuk mereka oleh pihak kerajaan.
Sementara itu, Romo menyebut bahwa peristiwa mudik di Indonesia terkait dengan hari raya agama, dan paling marak saat hari raya lebaran dikarenakan mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam.
"Merayakan Lebaran bersama keluarga di kampung halaman serasa wajib sebab terkait dengan makna kembali ke fitrah asal, yaitu sumber mata air kehidupannya yang sejati, yang prosesnya ditandai dengan bersilaturahim bermaaf-maafan bersama handal taulan dan sanak famili," paparnya.
"Serta puncaknya adalah sungkem pada orang tua dan sesepuh keluarga sebagai simbol asal muasal kehidupan bermula serta mewakili restu dari Sang Pencipta," tutup dia.
Pewarta: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Kendi Setiawan
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: 4 Maksiat Hati yang Bisa Hapus Pahala Amal Ibadah
2
Khutbah Jumat: Jangan Golput, Ayo Gunakan Hak Pilih dalam Pilkada!
3
Poligami Nabi Muhammad yang Sering Disalahpahami
4
Peserta Konferensi Internasional Humanitarian Islam Disambut Barongsai di Klenteng Sam Poo Kong Semarang
5
Kunjungi Masjid Menara Kudus, Akademisi Internasional Saksikan Akulturasi Islam dan Budaya Lokal
6
Khutbah Jumat Bahasa Sunda: Bahaya Arak keur Kahirupan Manusa
Terkini
Lihat Semua