Mursyid Tarekat Naqsyabandiyah: NU Itu seperti Waliyullah
Rabu, 1 Februari 2017 | 13:47 WIB
Saya melihat NU itu seperti melihat sosok kiai, yaitu orang yang disepuhkan atau dituakan, diikuti banyak orang dan menjadi panutan, menjadi pepunden (diagungkan) karena dalam dan tinggi ilmu agamanya yang tercermin dalam perilakunya.
NU itu seperti waliyullah. Orang-orang datang kepadanya dari berbagai kalangan dengan beraneka ragam kepentingan. Dari kalangan santri, rakyat biasa, pengusaha dan juga pejabat, bahkan orang baik ataupun orang buruk semua diterima dengan baik.
Hati NU laksana samudera. Tidak menjadi kotor karena mereka. Tidak terpengaruh dan tidak terprovokasi. Tetap saja NU menebarkan amar bil ma'ruf wa nahi 'anil mungkar: yang benar dikatakan benar dan yang salah dikatakan salah. Semua mendapatkan pendidikan dan kasih sayangnya. Ilmu dan kasih sayang NU laksana air hujan. Semua hamparan bumi tersirami. Orang pandai dan orang bodoh bisa minum, berwudlu, dan mandi dengannya.
Karena hal yang demikian itulah banyak umat yang bergegas datang kepada NU untuk berlindung di bawah naungannya dari panasnya cobaan kehidupan. Bersamanya, umat mendapatkan ketenangan dan kedamaian. Benarlah, kemudian, ketika ia dielu-elukan sebagai pembawa panji rahmatan lil ‘alamin. Siapa saja yang bersamanya akan menjadi pandai. Menjadi terpelajar! Dengan kepandaiannya itu, pada akhirnya mereka yang datang dan berasosiasi dengannya akan suka dan rela menjalani hidup di bumi raya ini dengan syariat agama Allah SWT dengan sunnah Nabi SAW sebagai landasannya. Adil, tabayyun, tasamuh, dan tawasut adalah naluri watak dasarnya.
Pengenalan dan pengkaderan NU
Kami sejak kecil tidak pernah mendapatkan pelajaran "apa dan siapa NU itu", tapi kami hidup bersama ayah kami Hazrat Syekh Mohammad Nahrowi, QS, dan juga bertabarruk kepada kiai-kiai sepuh, di antaranya kepada KH Ali Ma'shum, pengasuh Pondok Pesantren Al-munawwir, Krapyak, Yogyakarta, kepada KH Ahmadi dari Pondok Pesantren Kencong, Pare, Kediri, juga kepada KH Muhajir, Bendo, Kediri. Kemudian tabarrukan pula kepada KH Syekh M. Salman Ad-Dahlawi, Popongan, Klaten. Bersama beliau-beliaulah kami mengenal apa Nahdlatul Ulama.
Maka, menurut hemat kami untuk mengenalkan umat atau masyarakat itu, ajaklah mereka untuk senang bersilaturahim dan bertabarruk kepada ulama salafussalihin sebab para ulama sepuh inilah jantungnya NU. Bila masyarakat mengenal dan senang kepada mereka, otomatis mereka akan kenal dan simpati pada organisasinya, NU. Khususnya dalam aktivitas-aktivitas kaderisasi wajib dikhatami dengan acara bersilaturahim kepada ulama salafussholihin. Hal ini untuk menguatkan rasa cinta dan pendalaman atas pengenalannya pada ulama yang pada akhirnya akan memperkuat rasa kepemilikannya (sense of belonging) pada organisasi Nahdlatul Ulama.Pentingnya berjam’iyah
Dalam menghadapi kemelut kehidupan hari ini di mana badai dan gelombang fitnah akhiru zaman yang semakin dahsyat, baik fitnah kehidupan (fitnatu mahya) yaitu masalah ekonomi, sosial, politik dan sebagainya, atau fitnatun masihi dajjal; masalah-masalah agama, dan banyaknya ulama suuk, mari kita selamatkan keluarga dan diri kita dengan bergabung kepada sawadil a'dhom, (golongan ulama min waratsatil ambiya’) yaitu NU ini. Jangan kita hidup tersendiri dan terpisah dari mereka. Karena serigala tidak memangsa kecuali kambing yang terpisah dari rombongan. Di sinilah pentingnya berjam’iyah, pentingnya untuk berasosiasi, bergabung dalam satu barisan dengan para auliya, ulama dan jama’ah Ahli sunnah wal Jama’ah.
Kami melihat jam'iyah NU merupakan anugerah yang sangat mulia dari Allah SWT. Anugerah yang membentengi umat dari gerusan roda jaman yang cenderung merusak. Di mana perkembangan zaman yang menyuguhkan kemudahan-kemudahan buah dari kemajuan ilmu teknologi, percepatan arus komunikasi, dan pertentangan-pertentangan pemahaman membanjiri pemikiran umat, NU tetap memberikan kawalan yang konsisten dan pengasuhan yang penuh kelembutan dalam membimbing umat melewati kesemuanya itu untuk mencapai kehidupan yang bermartabat dan diridhoi oleh Allah SWT. Dan di dalamnya jamaah yang di bangun oleh para kiai ini tetap tenteram melaksanakan ubudiyahnya baik yang bersifat personal dan sosial kemanusiaan.
Di dalamnya pun banyak kiainya yang tak pernah bergeser dari posisinya sebagai pewaris pusaka kenabian meskipun digempur fitnah dan guncangan-guncangan akibat pergeseran sosial umatnya. Tetap berpegang pada ajaran yang sambung langsung pada Rasulullah SAW, menjalani tradisi-tradisi ulama salafussalih dan di sisi lain mengupayakan pembaharuan-pembaharuan metode pemahaman yang sesuai zamannya.
Akhirnya, dengan usia yang mencapai hampir satu abad ini, semoga NU tetap istiqomah menaungi umat, semakin terlatih untuk menghadapi tantangan-tantangan zaman, menjaga keragaman dan menguatkan keberlangsungan NKRI dengan berkah-berkah ulamanya demi kehidupan umat yang tenteram santosa.
Semoga sedikit pengalaman dan refleksi ini bermanfaat. Amiin.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: 4 Maksiat Hati yang Bisa Hapus Pahala Amal Ibadah
2
Khutbah Jumat: Jangan Golput, Ayo Gunakan Hak Pilih dalam Pilkada!
3
Poligami Nabi Muhammad yang Sering Disalahpahami
4
Peserta Konferensi Internasional Humanitarian Islam Disambut Barongsai di Klenteng Sam Poo Kong Semarang
5
Kunjungi Masjid Menara Kudus, Akademisi Internasional Saksikan Akulturasi Islam dan Budaya Lokal
6
Khutbah Jumat Bahasa Sunda: Bahaya Arak keur Kahirupan Manusa
Terkini
Lihat Semua