Nasional

Ngaji Suluk Maleman: Kesalahan Sering Dipropagandakan Seolah Kebenaran

Senin, 21 Februari 2022 | 06:00 WIB

Ngaji Suluk Maleman: Kesalahan Sering Dipropagandakan Seolah Kebenaran

Habib Anis Sholeh Ba'asyin dalam ngaji Suluk Maleman. (Foto: dok. Suluk Maleman)

Jakarta, NU Online

Forum Ngaji Suluk Maleman kembali mengajak masyarakat untuk berhati-hati dalam mencari kebenaran sejati. Pasalnya, tak sedikit ketidakbenaran yang dipropagandakan menjadi kebenaran. Hal itu dibahas saat Suluk Maleman edisi ke-122 seri dari rumah pada Sabtu (19/2/2022) malam kemarin. 


Anis Sholeh Ba’asyin, seorang budayawan mengingatkan dalam istilah Jawa ada tiga tingkatan kebenaran. “Benere dewe (benar versi sendiri), benere wong akeh (benar menurut kelompok), dan bener sejati (kebenaran sejati),” kata Habib Anis Sholeh Ba’asyin dalam keterangan tertulisnya kepada NU Online, Ahad (20/2/2022).


Oleh karena itu, lanjut dia, tidak tepat jika saling mengklaim kebenaran berdasar pendapatnya sendiri maupun kelompoknya. “Karena banyak juga yang dianggap kebenaran ternyata tidak memiliki dasar kebenaran yang jelas,” terang Habib Anis.


Dalam sebuah ajaran disebutkan Habib Anis bahwa jika manusia tidak akan menyentuh kebenaran kecuali yang selalu menyucikan diri. Penyucian diri yang dimaksudkan juga tak sebatas dari kotoran secara fisik, namun pemikiran. Baik kepentingan pribadi dan kelompok, maupun penilaian dari masa lalu dan yang berkembang di masyarakat.


“Proses iqro’ sendiri tak hanya secara tekstual di Al-Qur’an, ada juga yang non-tekstual yakni yang diajarkan di alam semesta maupun di diri manusia,” tegas Habib Anis.


Hanya saja, menurut dia, harus diakui dalam mencari kebenaran ironisnya orang seringkali memilih berdasarkan apa yang diinginkannya saja atau sesuai kepentingannya. Kebenaran tak lagi menjadi penting, namun kepentingan tentang apa yang ingin dilihat yang dianggap kebenaran.


“Bahkan sampai ada pola pikir dimana kesalahan yang diulang-ulang secara terus-menerus akan dipercaya sebagai sebuah kebenaran,” ungkap penggagas Suluk Maleman tersebut.


Hal senada pun diamini oleh Prof Saratri Wilonoyudho, salah seorang narasumber dalam ngaji budaya itu. Dia mengingatkan jika setiap kebenaran belum tentu kebenaran sejati. Bahkan ilmu pengetahuan sendiri harus terus diperbaharui.


“Setiap hari kita diajarkan untuk berdoa meminta diberikan jalan yang lurus atau benar. Itu menunjukkan masih sangat mungkin kita berbuat kesalahan,” jelas Saratri Wilonoyudho.


Dia mengatakan, untuk mencapai kebenaran bisa dilakukan setidaknya lewat tiga tahapan. Yang pertama yakni mempercayai yang ghaib atau menyadari jika tak semua di dunia ini diketahui dengan nyata. Hal itu dicontohkan seperti seorang ilmuwan.


“Ilmuwan dalam benaknya harus merasa tidak tahu. Keilmuan adalah kerendah-hatian untuk merasa tidak tahu. Dari situlah kita akan mengejar ketidaktahuan dengan melakukan penelitian,” terang guru besar di Universitas Negeri Semarang (Unnes) ini.


Barulah setelah itu, lanjut dia, masuk mencari keilmuan. Seorang ilmuwan tentu sadar tidak ada kebenaran mutlak. Sehingga harus dicari secara berkelanjutan. Sementara tahapan ketiga adalah ditujukan kepada Allah.


“Ini juga realisasinya tak semua ditujukan ke Allah. Bahkan itu juga yang mendasari tak sedikitnya ilmu yang hancur dan menuju kerusakan. Karena dasarnya justru untuk komersialisasi, industrialisasi bukan pada sesuatu yang baik,” tegas dia.


Hal, imbuh Saratri, itu juga begitu terlihat di dunia politik. Banyak yang justru memanipulasi kebenaran untuk kepentingannya. Seperti orang yang tidak pernah shalat, namun saat mencalonkan diri untuk posisi politik tertentu justru menggunakan banyak simbol keagamaan. 


“Bisa jadi itu bukanlah kebenaran, tapi di klaim sebagai kebenaran dan disuguhkan ke masyarakat. Mereka mencoba memanipulasi kebenaran. Mereka berpikir kesalahan yang menumpuk lambat laun akan diakui sebagai sebuah kebenaran,” terang dia.


Sementara itu, Ilyas Arifin yang juga hadir sebagai narasumber, turut mengingatkan meski memiliki keyakinan dan kebenaran secara pribadi, alangkah baiknya digunakan untuk diri pribadi dan tidak dipaksakan keluar. Kalau pun harus keluar sebaiknya dapat disuguhkan secara baik dan indah.


“Kebenaran cukup disimpan di hati karena itu bersikap relatif. Jangan dipaksakan ke orang lain,” kata pria yang juga dosen Unnes ini.


Selayaknya ilmu pun diakui jika tidak ada sesuatu yang mutlak. Ilmu justru berkembang lantaran adanya kritik. Seperti saat Newton dikritik oleh Einstein. Ilmuwan sejati tentunya tidak akan marah saat dikritik.


Pewarta: Fathoni Ahmad

Editor: Kendi Setiawan