Nasional

'NU Tidak Menganggap Kelompok Lain sebagai Saingan'

Rabu, 11 Maret 2020 | 10:20 WIB

'NU Tidak Menganggap Kelompok Lain sebagai Saingan'

Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf (kemeja putih) pada peluncuran dan diskusi buku PBNU Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama, Rabu (11/3) di Gedung PBNU Kramat Raya. (Foto: NU Online/Kendi Setiawan)

Jakarta, NU Online
Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) meluncurkan buku PBNU Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama, Rabu (11/3). Peluncuran berlangsung di Gedung PBNU Kramat Raya 164, Jakarta Pusat.
 
Pada kesempatan tersebut, Gus Yahya mengatakan NU tidak boleh dipahami hanya sebagai firqah atau kelompok, apalagi firqah untuk menandingi kelompok seperti Wahabi, Muhammadiyah, HTI, FPI dan kelompok lainnya. Ia menolak bahwa NU didirikan hanya untuk menanggapi Wahabi, karena hal itu terlalu kecil.
 
"Pasti lebih dari itu, kalau hanya menanggapi Wahabi, itu menanggapi firqah, itu larangan,” kata Gus Yahya.
 
NU juga tidak perlu menganggap misalnya Muhammadiyah sebagai saingan. "NU tak perlu merasa jadi saingan dari kelompok lain. Bukan pada tempatnya dan tidak sepantasnya menganggap kelompok lain sebagai musuh," kata Gus Yahya.
 
Ia meyakini para muasis mendirikan NU pasti mengusung sesuatu yang lebih besar, yakni perubahan peradaban. Semua kelompok masih bergulat dengan perubahan peradaban, sehingga para muasis sangat berhati-hati. 
 
Bagaimana tanggapan Islam terhadap perubahan? Menurut Gus Yahya yang harus menjawab adalah ulama, dan di situlah Nahdlatul Ulama hadir. Para muasis mendirikan jamiah atau kumpulan untuk menjawab perubahan.

Ia mengatakan kelompok teroris radikalis juga berusaha membawa perubahan peradaban. Namun, yang diusung adalah peradaban yang membawa zaman ini ke masa lalu, yaitu khilafah. Kelompok tersebut mengusung khilafah dengan banyak dalilnya.
 
"Persoalannya (dengan kembali pada khilafah) tidak ada ujung lain yang masuk akal selain keruntuhan seluruh dunia," tegas Gus Yahya.
 
Ia menyebutkan contoh kehancuran tersebut adalah perang Syiria yang telah membawa kehancuran yang besar.

Ia mengingatkan garis NU ada pada cita-cita mewujudkan peradaban baru bagi manusia yang lebih mulia, sungguh-sungguh adil harmonis berdasarkan akhlahul karimah dan penghargaan atas kesetaraan hak dan martabat umat manusia. 
 
Pada kesetaraan hak, para muasis telah ikut mendirikan NKRI dan menegaskan dalam mukadimah UUD disebutkan ‘Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan'.
 
Kemudian, menjadi prinsip penghormatan pada kesetaraan hak adalah NU dengan memperjuangkan konsolidasi jamaah dengan membangun jamiyah. Kehadiran jamiyah adalah untuk merawat nilai-nilai luhur. 
 
Melalui jamiyah, para muasis ikut serta memperjuangkan berdrinya NKRI sebagai basis sosial politik untuk ikut serta dalam pergulatan antarbangsa. "Tidak mungkin NU bikin peradaban sendiri. Harus bergulat dengan bangsa lain, karena tak ada dengan cara lain membangun negara, kecuali dengan pergulatan antarbangsa," imbuhnya.
 
NU melalui NKRI ikut serta melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan abadi dan keadilan sosial, hal ini dilakukan secara konsisten dalam satu garis.
 
Karena itu, di era kini, NU perlu terus mengkonsilodasikan semua golongan dalam peradaban baru. NU bersentuhan dengan golongan-golongan karena berada dalam satu perahu di bumi yang sama, dan bersama-sama mencari peradaban yang baik bagi seluruh manusia.
 
Peluncuran dan diskusi buku juga menghadirikan Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar, Sekjen PBNU H A Helmy Faishal Zaini, Ketua PBNU Robiki Emhas, Wasekjen PBNU H Andi Najmi, serta para ketua lembaga dan Banom NU. 
 
Pewarta: Kendi Setiawan
Editor: Alhafiz Kurniawan