Nasional

Panas Dingin Diskusi Islam Nusantara di Malang

Senin, 15 Februari 2016 | 16:07 WIB

Panas Dingin Diskusi Islam Nusantara di Malang

Foto: Majalah Taswirul Afkar

Malang, NU Online
Pada Sabtu, 14 Februari 2016 di gedung utama rektorat Universitas Negeri Malang (UM) sejumlah kiai dan tokoh NU berkumpul untuk mengikuti seminar nasional dan bahtsul masail dengan tema “Mengalahkan Ekstrimisme dalam Kehidupan Berbangsa” hasil kerja sama antara Universitas Negeri Malang (UM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur. 

Dalam diskusi Islam Nusantara ini dibagi antara kelompok NU dan kelompok akademisi yang terdiri dari 37 orang peserta dibagi dalam tiga kelompok diskusi panel. Mereka mempresentasikan paper tentang Islam Nusantara yang telah dibuat sebelumnya. Kelompok yang menerima dan menolak tema Islam Nusantara duduk bersama dengan suasana serius dan menegangkan. Tentu perdebatan kadang bisa berlangsung agak panas. Acara ini berlangsung di 3 (tiga) ruangan khusus secara bersamaan untuk menghasilkan draft awal tentang rumusan definisi tentang apa yang dinamakan Islam Nusantara.

Sedangkan sentuhan santai dan dinginnya adalah Bahtsul Masail NU yang berlangsung di ruang utama rektorat, di mana acara ini dihadiri oleh para kiai dan santri yang merupakan utusan dari cabang-cabang NU di Jawa Timur. Mereka juga bertujuan untuk merumuskan definisi Islam Nusantara dan karakteristiknya.

Ada seorang peserta mengkritisi usulan terhadap strategi dan media dakwah NU ala Walisongo semisal wayang kulit, sinden dan sebagainya. Dengan sangat serius ia berkata,

“Kalau saya melihat dari draft yang dihasilkan tentang strategi dakwah Islam Nusantara, ini semua ala Walisongo. Tidak ada yang lain,” katanya.

“Mengapa kita masih memakai cara ini. Ini kan dipakai Walisongo terhadap masyarakat Nusantara masa itu yang belum mengenal Islam. Sekarang masyarakat kita sudah mengenal Islam, harus beda cara dakwahnya,” tambahnya lagi. Dan suasanapun menjadi panas.

“Ya, usulan bagus, tapi contohnya apa?” kata Ustadz Muntaha sebagai moderator, disambut senyum dan tawa beberapa hadirin. Suasana menjadi agak dingin kembali. 

Hadir dalam acara sebagai perumus dan musyayih. Beberapa kiai dari PWNU Jawa Timur seperti KH Marzuqi Mustamar (Malang), KH Muhib Aman Aly (Pasuruan), KH Azizi Hasbullah (Blitar), KH Farichin Muhshan (Malang) dan beberapa kiai lain. Merekalah yang merumuskan redaksi keputusan yang dihasilkan dari diskusi, pertanyaan-pertanyaan dan berbagai usulan-usulan penambahan atau pengurangan para anggota sidang. 

Keputusan yang dihasilkan forum ini dalam rencananya masih akan ditashih dan diperiksa kembali oleh para kiai khusus yang berkumpul di salah satu pondok pesantren di Singosari Malang.

Tidak hanya usulan dari para anggota yang panas-dingin sebagaimana telah digambarkan. Bahkan diantara perumus dan masyayih pun terjadi perbedaan. Ada yang menolak dan ada pula yang menerima. Seperti wacana yang disampaikan KH Muhibbul Amani yang alumni Sidogiri Pasuruan dan KH Marzuqi Mustamar (santri KH Masduqi Mahfud (alm) Malang).

Pertama-tama KH Muhibbul Amani menjelaskan perlunya mengoreksi metode dakwah Walisongo dalam konteks saat ini. Karena ia menilai bahwa mencari tokoh sehebat Walisongo sekarang ini adalah sangat sulit. Sehingga jika melakukan dakwah dengan ala Walisongo hanya akan berakibat buruk. Ia khawatir metode dakwah adaptif yang digunakan Walisongo jaman dahulu hanya akan membahayakan.

“Katakanlah kita dakwah dengan ikut dangdutan di tengah masyarakat. Misalkan ada orang yang mengatakan saya dangdutan karena niatan dakwah. Persoalannya sekarang berapa orang yang ikut dia bertobat dari dangdutan karena dia. Atau mungkin dia yang tambah rusak senang dangdutan,” katanya tegas.

“Bahkan saya khawatir malah orang-orang menjadi banyak dangdutan karena dipikirnya dangdutan dengan jogetan-jogetannya yang semacam itu diperbolehkan. Ini kan menjadi bahaya. Mencari figur yang kuat seperti Walisongo sekarang sangat sulit,” tambahnya.

“Seperti kalau kita melihat sinden-sinden yang bajunya ketat, lalu kita ke sana. Persoalannya adalah seberapa banyak yang kita kenalkan pada Islam melalu cara itu. Harus dibedakan konteks Walisongo dengan sekarang,” tambahnya lagi.

Ini rupanya hukum yang tidak menyetujui dakwah yang adaptif. Banyak dalil dari kitab-kitab fiqih yang dikemukakan Kiai asal Probolinggo itu. Begitu juga ayat Al-Qur’an ataupun Hadits.

Pada kesempatan berikutnya, KH Marzuqi diberi kesempatan untuk memberikan pendapat oleh moderator. Dalam kesempatan itu Kiai Marzuqi menyampaikan tentang pentingnya kalangan pesantren yang bertugas mendakwahkan Islam dengan benar untuk meninjau langsung ke lokasi. Hal ini diperlukan untuk membaca situasi dan menentukan cara yang tepat mengenai strategi dakwah yang harus dilakukan.

“Cobalah kita kita datang langsung ke daerah-daerah pelosok yang mana mereka belum mengenal Islam. Kita amati kehidupan mereka bagaimana karakternya, bagaimana cara hidupnya dan sebagainya,” katanya.

“Coba kita KKN di Wagir yang mayoritas abangan, kita KKN di Bali dan Papua di mana umat Islam di sana sangat sedikit. Kita akan merasakan bagaimana sulitnya dakwah di sana,” tambahnya.

“Saya pernah sebelas hari di Timika, Papua anda tahu bagaimana kondisi di sana. Alhamdulillah setelah berjumpa dan berinteraksi dengan masyarakat, banyak juga yang mau kita ajak kepada Islam. Kita bimbing untuk membaca syahadat,” katanya menceritakan pengalamannya.

Yang membuat dirinya bingung, ketika mereka mau baca syahadat, yang perempuan mau memakai pakaian yang agak pantas. Hanya saja yang laki-laki mereka tidak mau mengganti kotekanya. Akhirnya shalat jamaah dengan kondisi seperti itu. 

“Sulitlah kami mencari hukumnya secara fiqih. Saya masih belum menemukan di berbagai macam buku fiqih,” imbuhnya.

Dengan kepiawaiannya berceramah dan penyampaiannya yang mudah dipahami, ceramah Kiai Marzuki mendapatkan sambutan tepuk tangan dari para hadirin.

Namun dua pendapat tersebut ditutup dengan memberikan jalan tengah di antara keduanya. Yakni dengan langkah-langkat strategis dalam dakwah meliputi: 1) Sikap adaptif (menyesuaikan diri) bagi budaya yang sesuai dengan syariat; 2) Meminimalisir mudharat bagi budaya yang bisa ditekan kebahayaannya: 3) Memilih yang lebih maslahat; dan 4) Mengamputasi (menghilangkan) sebuah budaya yang tidak sesuai dengan syariat Islam secara bertahap. Dan inilah strategi dakwah Islam Nusantara. (Ahmad Nur Kholis/Mukafi Niam)