PBNU Sikapi Permendag 29/2019 yang Tiadakan Kewajiban Label Halal
Selasa, 17 September 2019 | 00:25 WIB
Kebijakan tersebut, jika memang berlaku umum, tidak hanya tidak sensitif terhadap tatanan legal urusan pangan, tetapi sekaligus menyakiti hati kaum Muslim yang menjadi warga mayoritas di Indonesia.
Maksum mengatakan, kebijakan Pemerintah yang tidak peka terhadap SARA tersebut akan berpotensi besar menyakiti sekelompok pemeluk agama. Ketidakpekaaan tersebut karena Permendag tidak sensitif terhadap terhadap kebutuhan Muslim. Umat Islam saja, kata dia, jika memasuki pasar (berjualan), diwajibkan membawa (menjual) barang halal. Namun dengan peraturan itu, dipaksa menerima barang tidak halal.
“Kalo kebijakan pemerintah tidak sensitif SARA maka pada gilirannya pasti menyakiti sekelompok pemeluk agama dan potensial menimbulkan persoalan SARA yang lebih akut berikut segala implikasi politiknya,” kata Maksum, Senin (16/9).
Menurut pria yang juga Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) ini, persoalan produk halal selain menyangkut hukum agama, juga merupakan gaya hidup di mana masyarakat Muslim memerlukan gaya hidup halal. Karenanya, peniadaan label halal dinilai Maksum sebagai kebijakan bunuh diri.
Pentingnya produk halal, sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia terlebih yang memang mayoritas Muslim. Di Indonesia, kata Maksum sebenarnya telah ada UU Nomor 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal. Amanatnya, adalah kewajiban bagi setiap penyelenggaraan pangan, minuman, kosmetik dan obat-obatann untuk mendapatkan dan menyertakan sertifikasi halal pada produk-produk yang diperdagangkan.
Soal jaminan produk halal, kata dia, juga bukan sebatas pada pelabelan, karena labelisasi adalah wajib menurut UU 33/2014. Kewajiban labelisasi pada produk yang dipasarkan di Indonesia, diperlukan untuk menjawab kebutuhan keamanan pangan bagi kaum Muslim.
“Kita ini mayoritas Muslim, yang kita perlukan adalah pencirian untuk yang haram karena di Indonesia itu akan lebih efisien. Berkenaan dengan jumlah barang yang relatif terbatas, UU JPH sudah diundangkan. Tentu wajib bagi kita menaatinya,” imbuh Pakar Teknologi Industri Pertanian ini.
Dengan demikian, munculnya Permendag 29/2019, jelas-jelas bertentangan dengan UU JPH. Masyarakat diwajibkan masuk pasar dengan labelisasi halal, namun bercampur produk asing yang tidak halal, dinilainya akan mengacaukan.
Ia menegaskan agar peraturan tersebut segera dicabut. “Sebelum rakyat banyak merasakan ada urusan SARA itu,” ujarnya.
Untuk diketahui, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan yang menghapuskan kewajiban pencantuman label halal didorong karena Indonesia mengalami kekalahan dalam sejumlah sengketa perdagangan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Kementerian Perdagangan menyatakan, aturan ini diterbitkan sebagai bentuk kepatuhan terhadap WTO akibat kekalahan Indonesia dalam sengketa perdagangan nomor DS484 dengan Brasil. Aturan baru ini menghapus kewajiban pencantuman label halal untuk produk impor yang dipasarkan di Indonesia.
Padahal, Brasil hanya mempersoalkan produk ayam dalam sengketa perdagangan bernomor kasus DS484. Akan tetapi, Permendag Nomor 29 Tahun 2019 berlaku untuk semua produk hewan dan turunannya.
Pewarta: Kendi Setiawan
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
250 Santri Ikuti OSN Zona Jateng-DIY di Temanggung Jelang 100 Tahun Pesantren Al-Falah Ploso
Terkini
Lihat Semua