Nasional

Pemerintah Sepakati 21 Proyek Hilirisasi dengan Nilai Investasi USD 40 Miliar

Rabu, 5 Maret 2025 | 13:30 WIB

Pemerintah Sepakati 21 Proyek Hilirisasi dengan Nilai Investasi USD 40 Miliar

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia saat jumpa pers di Istana Negara, Jakarta, pada Senin (3/3/2025). (Foto: tangkapan layar Youtube Sekretariat Presiden)

Jakarta, NU Online

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan bahwa pemerintah telah menyepakati 21 proyek hilirisasi untuk tahap pertama dengan nilai investasi sebesar USD 40 Miliar (dolar Amerika Serikat). Angka itu merupakan sebagian kecil dari jumlah keseluruhan tahap pertama yang memakan USD 618 miliar.


"Kami telah memutuskan tahap pertama hilirisasi yang ditargetkan kurang lebih sekitar USD 618 miliar di 2025. Yang tadi kami paparkan kurang lebih 21 proyek pada tahap pertama yang total investasinya kurang lebih sekitar USD 45 miliar," kata Bahlil saat jumpa pers usai rapat yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta, pada Senin (3/3/2025).


Jenis proyek tersebut, katanya, mencakup berbagai sektor strategis, termasuk minyak dan gas, pertambangan, pertanian, hingga kelautan.


Salah satu proyek utama adalah pembangunan storage proyek minyak di Pulau Nipah guna meningkatkan ketahanan energi nasional, sehingga dapat memenuhi kebutuhan nasional selama 30 hari sesuai dengan amanat Peraturan Presiden.


Selain itu, kata Bahlil, pemerintah akan membangun refinery (proses pemurnian minyak mentah menjadi produk petroleum atau BBM) berkapasitas 500 ribu barel per hari yang akan menjadi salah satu fasilitas pengolahan minyak terbesar di Indonesia.


Lebih lanjut, Bahlil mengatakan bahwa di sektor gasifikasi batu bara, pemerintah menargetkan pengembangan produksi Dimethyl Ether (DME) sebagai substitusi LPG.


Menurut Bahlil, proyek DME kali ini akan dijalankan dengan pendekatan berbeda, yakni mengandalkan sumber daya dalam negeri tanpa ketergantungan pada investor asing.


"Sekarang kita tidak butuh investor negara semua lewat kebijakan Bapak Presiden dengan memanfaatkan resource dalam negeri. Yang kita butuh mereka adalah teknologinya, yang kita butuh uangnya semua dari pemerintah dan dari swasta nasional, kemudian bahan bakunya dari kita, dan off taker-nya pun dari kita,” ujarnya.


Bahlil menyebutkan bahwa proyek DME akan dikembangkan secara paralel di Sumatra Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan.


Selain DME, pemerintah akan meningkatkan nilai tambah di sektor pertambangan, yakni tembaga, nikel, dan bauksit hingga menjadi alumina. Sektor perikanan, pertanian, dan kehutanan pun turut menjadi bagian dari prioritas hilirisasi.


Melalui Bahlil, Presiden Prabowo telah menetapkan 26 sektor komoditas sebagai prioritas hilirisasi nasional, mencakup mineral, minyak dan gas, perikanan, pertanian, perkebunan, serta kehutanan.


Selain memperkuat ketahanan energi dan industri nasional, hilirisasi ini diproyeksikan menciptakan banyak lapangan kerja bagi masyarakat Indonesia.


"Pasti ini akan menciptakan banyak lapangan pekerjaan. Cukup banyak angka-angkanya nanti kita akan umumkan pada kesempatan yang lain, tetapi yang jelas kita blending antara padat karya dan padat teknologi. Yang jelas, tujuan investasi itu kan dalam rangka menciptakan lapangan pekerjaan yang berkualitas, menciptakan nilai tambah dan meningkatkan pendapatan negara serta pertumbuhan ekonomi nasional kita," katanya.


Perlu diketahui, pemerintah telah membentuk pengelolaan investasinya sendiri melalui Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara).


Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan keberhasilan pemerintahannya dalam mengamankan lebih dari Rp300 triliun atau sekitar USD 20 miliar dalam 100 hari pertama.


Dana tersebut, lanjut Prabowo, yang sebelumnya terhambat oleh inefisiensi dan korupsi, kini akan dikelola melalui Danantara Indonesia serta akan dialokasikan untuk proyek-proyek nasional yang mendukung industrialisasi dan hilirisasi.


Meski begitu, Ahli Hukum Hesti Armiwulan mengingatkan bahwa sesuai UU Nomor 1 Tahun 2025, aset negara di Danantara telah berpindah menjadi aset milik lembaga, sehingga ia meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memberlakukan pengawasan yang ketat.