Nasional

Pengamat: Pembungkaman Mahasiswa di Kampus Dapat Mengarah pada Kembalinya Otoritarianisme

Kamis, 31 Oktober 2024 | 18:00 WIB

Pengamat: Pembungkaman Mahasiswa di Kampus Dapat Mengarah pada Kembalinya Otoritarianisme

Gambar hanya sebagai ilustrasi berita. (Foto: freepik)

Jakarta, NU Online

Pembekuan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) akhirnya dicabut oleh pihak Dekanat pada Jumat (25/10/2024), setelah menuai kritik dan protes dari berbagai kalangan.


Tindakan pembekuan yang sebelumnya diambil Dekanat pada 22 Oktober 2024 ini dikritik sebagai upaya membungkam kebebasan berpendapat di lingkungan akademis.


Pengamat Politik Airlangga Pribadi Kusman menyatakan bahwa pembungkaman terhadap ruang publik di kampus dapat mengarah pada regresi demokrasi, kembalinya otoritarianisme atau lebih tepatnya despotisme baru.


Menurutnya, universitas yang seharusnya menjadi ruang kebebasan akademik, justru berisiko menjadi alat kekuasaan jika elemen akademisi tidak melawan tindakan tersebut.


“Saya menggunakan istilah munculnya despotisme baru. Jika menilik kembali sejarah itu kan biasa muncul bahwa proses otoritarianisme politik itu salah satunya muncul dari pembungkaman terhadap ruang publik, universitas (kampus) menjadi salah satu target utama dari proses pembungkaman,” kata Airlangga kepada NU Online, Rabu (30/10/2024).


Pengajar Ilmu Politik FISIP Unair mengatakan jika hal tersebut terjadi maka akan menjadi malapetaka politik lantaran para elite universitas tidak melakukan resistensi tapi menjadi mesin rezim politik.


“Jika hal tersebut terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara atau menjadi kenyataan dan dilakukan oleh pemerintah saat ini ditambah para elite universitas tidak melakukan resistensi, tetapi malah mengikuti langkah-langkah yang seakan-akan mereka bukan lagi menjadi akademisi tapi menjadi mesin rezim politik,” ungkapnya.


Di sisi lain, Airlangga melihat sisi positif dari fenomena pembekuan BEM Unair yang kemudian dicabut oleh pihak Dekanat. Ia menganggap hal ini sebagai tanda adanya harapan baru bagi kebebasan akademik di Indonesia.


“Kita sadar tentang adanya ancaman-ancaman sosial politik yang ada di depan. Tetapi kita mulai melangkah dan melakukan mitigasi serta melakukan aktivitas politik dalam skala lokal seperti di Unair,” katanya.


Fenomena ini, menurutnya, merupakan cerminan pentingnya dukungan terhadap kebebasan berpendapat di lingkungan kampus. Tindakan BEM FISIP serta dukungan dari sivitas akademika, alumni, dan masyarakat menunjukkan bahwa kesadaran akan pentingnya kebebasan ruang publik di kampus semakin kuat. Jika tidak ada respons terhadap upaya pembungkaman dikhawatirkan akan ada lebih banyak kasus serupa di universitas lain.


“Kita harapkan ini akan menjadi preseden di tempat yang lain agar apabila mengalami hal serupa maka bertindaklah dalam kerangka perspektif perjuangan ditingkat lokal di komunitas kita. Agar bentuk otorianise baru, regresi demokrasi, despotisme baru tidak terjadi di tingkat lokal kita,” tandasnya.


Sebelumnya, Dekanat FISIP Unair sempat melakukan pembekuan terhadap BEM buntut karangan bunga satire. Alasan pembekuan dalam surat Dekanat FISIP dijelaskan bahwa penggunaan narasi dalam karangan bunga tidak sesuai dengan etika dan kultur akademik insan kampus.


Pembekuan ini terjadi setelah BEM FISIP memasang karangan bunga satir yang mengkritik pelantikan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka pada 22 Oktober 2024.


Karangan bunga tersebut berisi ucapan selamat yang mencolok, termasuk tulisan "Selamat atas dilantiknya jenderal bengis pelanggar HAM dan Profesor IPK 2,3, sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang lahir dari rahim haram konstitusi." Karangan bunga ini dipasang di Taman Barat FISIP dan ditandatangani oleh "Mulyono, bajingan penghancur demokrasi".


Pembekuan BEM FISIP diumumkan melalui surat resmi dari Dekanat yang ditandatangani oleh Dekan Prof Bagong Suyanto. Namun, pada Jumat (25/10/2024), pihak Dekanat mencabut pembekuan tersebut setelah banyak kritik datang dari civitas akademika, alumni, dan masyarakat luas yang menilai tindakan tersebut sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi di kampus.