Nasional

Pesan Kepemimpinan dari Atas Angin

Sabtu, 3 Februari 2018 | 12:01 WIB

Kiai yang memilih untuk hidup sebagai petani itu begitu perhatian pada murid-muridnya yang sedang menyiangi tanaman-tanaman di kebunnya. Cahaya wajahnya yang lembut menyembunyikan samudera kearifannya. Beliau kini membabat alas, hidup di pelosok desa Darmacaang, Kecamatan Cikoneng, Kabupaten Ciamis, sebuah desa di kaki Gunung Sawal. Pesantrennya yang lama dikelola oleh sebagian putranya yang tinggal di Jogjakarta. 

Bersama beberapa santri yang menetap di pondok yang diberi nama Pondok Pesantren Qoshrul Arifin Kasepuhan Atas Angin, beliau menghidupkan lahan yang boleh dikatakan terlantar atau mati. Suasana tenang dan sepi yang merangkum lingkungan pondok pesantren ini akan mendadak berubah pada momen-momen tertentu. Khususnya jika pelaksanaan suluk telah tiba. Setiap bulan Rajab dan Muharam murid-muridnya dari seluruh penjuru Tanah Air akan berdatangan untuk melaksanakan suluk ilahiyah, riyadloh dan mujahadah selama beberapa waktu. 

Ya, beliau seorang Mursyid dari Tarekat Naqsyabandiyah Kholidiyah. Ditemui oleh kami untuk menadah berkahnya.

Beberapa hari lalu, beliau mengajak berbincang sambil beraktivitas di kebunnya. Salah satu keunikannya adalah beliau tidak segan untuk menerima dan membimbing anak-anak muda yang oleh anggapan sebagian besar orang tidak atau belum pantas untuk mengikuti jalan rohani ini. Beliau dengan ringan memberikan perumpamaan. 

“Kalau ada orang yang sudah tua, ya wajar kalau disuguhi sate nggak mau. Wong giginya sudah tidak ada. Nah, ini akan istimewa kalau ada anak muda enggak doyan sate padahal ia mampu menguyahnya. haha.”

Baca: Mursyid Tarekat Naqsyabandiyah: NU Itu seperti Waliyullah
Namun, beliau bergeming dan menyatakan bahwa pendidikan rohani mestinya memang dilakukan sejak dini. 

“Apa yang diwariskan oleh Rasulullah SAW itu untuk semua kehidupan, baik dunia dan akhirat. Kehidupan bumi raya ini adalah ladang kita untuk beramal sebaik-baiknya. Tarekat kok hanya dianggap ilmu mempersiapkan kematian. Tarekat atau pendidikan rohani itu untuk menciptakan pemimpin-pemimpin yang handal. Insan-insan rabbany yang unggul, sebagaimana para sahabat yang dididik oleh Rosulullah SAW. Oleh karenanya, ia harus ditempuh sejak masa muda,” ungkap beliau sambil menghirup dalam sigaret kreteknya.

“Bagaimana akan muncul kepemimpinan yang baik jika yang boleh menjalani penggemblengan rohani hanya orang-orang tua yang sudah purna tugas. Justru inilah tugas kita untuk sejak dini menanamkan karakter-karakter mulia para nabi, para wali dan para sholihin yang banyak di sejarah itu. Ini tugas para ulama semua,” lanjutnya.

Kemudian beliau menjelaskan tentang sosok pemimpin yang ideal. Dengan kalimat-kalimat yang indah beliau menggambarkan bagaimana pemimpin yang mencerminkan kemuliaan islam dan mewarisi sifat-sifat agung Nabi Muhammad SAW. Pesan-pesan yang kental akan kedalaman ilmu rohaninya.

“Pemimpin yang sebenarnya adalah pemimpin yang cakap dan cerdas, di kampung bahimi ia berdiri sebagai penggembala. Di kota saba'i ia berdiri sebagai pawang. Tidak ada musuh baginya karena musuhnya hanya setan dan hanya kepada Tuhannya dia sujud.”

“Manusia adalah umat yang satu mereka adalah putra beliau Nabiullah Adam AS. Kita dicipta untuk tidak saling membenci dan bermusuhan. (Seorang pemimpin) di kehidupan bumi raya laksana air hujan. Kebaikannya bisa dinikmati setiap orang; orang baik maupun buruk bisa hidup dan berwudlu dengannya.”
Namun menurut  beliau masih banyak orang sebenarnya memegang kunci kehidupan masyarakat, ia berposisi sebagai pemimpin tetapi menampilkan sifat yang tidak layak. 

“Orang bodoh memang tidak paham realita kehidupan, sayanglah segala ilmu yang dibawanya karena rasio akalnya telah dipasung oleh emosinya.” 

Beliau menutup kalimat-kalimatnya seraya beranjak untuk kembali ke ndhalemnya. Kami mengikuti. Kabut sudah turun menutupi pandangan, hari sudah sore. (Fuad Athor/Abdullah Alawi)