Nasional MUNAS KONBES NU 2023

Pesantren Al-Hamid Cilangkap, Buah Cinta Pengusaha kepada Ulama

Selasa, 19 September 2023 | 01:00 WIB

Pesantren Al-Hamid Cilangkap, Buah Cinta Pengusaha kepada Ulama

Suasana Pesantren Al-Hamid Cilangkap Jakarta Timur jelang Munas Konbes NU, Sabtu (16/9/2023). (Foto: NU Online/Suwitno

Jakarta, NU Online
Pesantren Al-Hamid, Cilangkap, Jakarta Timur, tempat digelarnya Pembukaan Munas dan Konbes NU 2023, merupakan pesantren yang unik. Didirikan almarhum KH Hamid Djiman, sosok pencinta ulama yang pernah nyantri di Banten, meski tak sampai tuntas.


Kiai Hamid lebih senang mengembangkan bakat wirausaha dan bisnisnya di banyak bidang. Dari cetak batako, bahan material, hingga properti. Upaya ini mengantarkannya menjadi pengusaha sukses dan berhasil mendirikan pesantren. Inilah sepenggal cerita yang kami dapat ketika sowan kepada putra Kiai Hamid Djiman, KH Lukman Hakim Hamid, seorang pengasuh di antara sekian pesantren NU yang bertahan di tengah modernitas Jakarta.


Menjelang Munas dan Konbes NU, 16 September 2023 sore, kami tim NU Online sowan kepada Kiai Lukman, alumnus Pesantren Tebuireng Jombang dan Ploso Kediri yang memberi waktu wawancara pada Sabtu (16/9/2023) pukul 16:30 WIB. “Kalau sudah sampai kabarin,” tulisnya melalui aplikasi pesan singkat. Kami menyanggupi.


Usai Dhuhur, kami meluncur memakai jasa taksi daring menembus padatnya arus lalu lintas ibu kota. Sekitar satu jam kemudian, gerbang pesantren menyambut kedatangan kami.


Di lokasi nampak beberapa orang memasang baliho besar bertuliskan Munas dan Konbes NU. Di baliho besar itu ada foto Presiden Jokowi, Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar, Katib Aam PBNU KH Akhmad Said Asrori, Ketum PBNU KH Yahya Cholil Staquf, dan Sekjen PBNU H Saifullah Yusuf.


Di bagian lain, terlihat 9 petugas PLN berbaju serba merah sedang bahu-membahu memasang kabel di pohon, satu di antara mereka memanjat. Dari arah lainnya, para santri cilik berpeci pulang kegiatan pramuka sambil menyanyikan yel-yel memasuki komplek pesantren. Mereka melewati pinggir gedung serba guna yang tengah dalam proses pembangunan.


Ketika berjalan maju, bertengger bus bertuliskan ‘Paspamres’ warna gelap. Lebih maju lagi, suasana para santri sedang olah raga di lapangan tampak ramai. Setelah melewati bangunan MTs dan MA, kami disuguhi kolam air mancur.


Tak jauh darinya berdiri masjid pesantren yang cukup mewah, sebuah rumah joglo unik dan gedung pesantren putra. Ketika menikmati lalu lalang santri dan suasana itulah, pesan Kiai Lukman masuk. “Wawancaranya di kamar saya saja,” tulisnya. Mencari tahu di mana kamar yang dimaksud tentulah mudah, seperti mencari ratu tawon di antara kumpulan tawon dalam sarang.


Kami duduk di kursi di depan kamar beliau. Tampak kandang besar berisi aneka burung peliharaan dan ayam yang mungkin milik pengasuh. “Silakan, Mas, diminum,” kata santri yang datang membawa minuman. Kami ucapkan terima kasih untuk pengertian itu.


Beberapa bentar kemudian Kiai Lukman dengan ramah menyapa kami dan mengajak masuk. Ruangan itu berisi gambar-gambar ulama dan beberapa kaligrafi. Sang kiai yang memakai peci, baju putih dan sarung cokelat, menyilakan duduk di sofa. Ia tampak bersemangat dan antusias atas kehadiran kami, wajahnya berbinar-binar. Dan kemudian terjadilah wawancara sekitar 30 menit.


Kiai Lukman menceritakan, ayahandanya –Haji Hamid Djiman– ketika muda pernah menempuh pendidikan pesantren di Kadumernah, Pandeglang, Banten, di bawah asuhan Kiai Ahmad Busro bin Kiai Ibrahim.


“Tidak sampai tuntas, namun beliau itu salah seorang yang sangat muhibbin kepada para ulama, para para habaib. Jadi hidupnya hanya untuk sowan-sowan kepada para masyayikh. Beliau pernah di Banten pada saat itu, cuma lebih mengembangkan bisnisnya,” ia mengisahkan.


Haji Hamid asli kelahiran Cilangkap, Jakarta Timur. Rumahnya berjarak sekitar 1 km dari Pesantren Al-Hamid Putra, tepatnya di depan Asrama Pesantren Al Hamid Putri sekarang. “Jadi kalau tinggal memang asli sini ya. Abah saya Kiai Hamid itu memang asli Cilangkap, pribumi sini, dan asli Betawi,” tegasnya.


Sebagai sosok yang berjiwa wirausaha, Haji Hamid menekuni bisnis di banyak bidang, di antaranya properti. “Beliau juga ada dulu, pernah cetak batako, material dan sebagainya, ya usum-nya orang Betawi enggak jauh sama kontrakan,” ucapnya seraya tersenyum.


Ia mengungkapkan, tanah pesantren ini memang dibeli ayahandanya sekitar tahun 1992 atau 1993. “Dulu (Pesantren) Al-Hamid itu luasnya 15 hektar,” tuturnya.


Dilarang berpolitik praktis
Sedangkan pesan atau wasiat yang paling ditekankan Haji Hamid, kata sang putra, adalah orang yang sangat wanti-wanti: Jangan pernah pondok itu dibawa-bawa atau ditarik-tarik ke politik praktis. 


“Beliau tidak ingin Al-Hamid berpolitik. Kolot beliau itu, memang tidak mau, jangan sampai. Kalau untuk pribadi silakan, tapi jangan membawa nama Al-Hamid,” ungkapnya, mengenang.


Selain itu, sambung dia, sosok Haji Hamid yang utama adalah disiplin yang luar biasa. “Disiplin waktu luar biasa. Kalau kita pergi sama beliau itu, 1 menit telat saja ditinggal,” kenangnya.


Selain disiplin, Haji Hamid juga tegas dalam hal kebersihan. “Beliau ini yang namanya kebersihan, wah kalau beliau masih ada itu wah, pokoknya lihat kotor sedikit waduh, sudah luar biasa ngomelnya. Kalau bahasa beliau, saya bagian pengawasan kebersihan, yang ngaji anak-anak,” tutur Kiai Lukman.


Kiai Lukman mengatakan, sejarah berdirinya Pesantren Al-Hamid merupakan berkat dawuh seorang guru kepada murid. Ia mengisahkan, Haji Hamid adalah seorang muhibbin (pencinta) almaghfurlah Kiai Hamim Djazuli (Gus Miek) dari Pesantren Al-Falah, Ploso, Mojo, Kediri. Kecintaan itu membuat Haji Hamid sering sekali berkumpul dengan Gus Miek.


Sekitar 3 atau 4 bulan Gus Miek akan wafat, terjadilah pertemuan terakhir dengan Haji Hamid di Surabaya. “Kalau tidak salah itu di Hotel Kembang,” kata Kiai Lukman.


Pada saat itu, Haji Hamid bertanya kepada Gus Miek, “Kiai, keinginan Kiai yang belum tercapai apa?”


Karena Gus Miek dikenal memiliki kepribadian yang halus, Beliau tak segera menjawab. “Pak Hamid… yang belum tercapai….”  Ngobrol lagi, balik lagi, ngobrol lagi, sampai tiga kali, lalu beliau berkata, “Saya ingin punya pondok pesantren.”


Lalu Haji Hamid langsung menjawab, “Bagaimana kalau saya yang mewujudkan?”


Gus Miek pun mengangkat tangan, beliau langsung berdoa. “Di situlah asal-usul Pesantren Al-Hamid,” ungkap Kiai Lukman.


Seiring berjalannya waktu, tahun 1995 terjadilah doa peletakan batu pertama. Yang meletakkan adalah Wakil Presiden Bapak Tri Sutrisno. Kemudian, tahun 2001, ketika pesantren akan dimulai, belum ada namanya. Haji Hamid pun sowan ke Ploso, mengadu kepada Kiai Munif, atau yang lebih akrab dipanggil Gus Munif.


“Kiai, ini pondok akan dimulai, tapi belum ada namanya.” Lalu Haji Hamid disuruh keluar dari kamar Gus Munif. Tak lama kemudian, sekitar 15 menit atau setengah jam, dipanggil lagi. Akhirnya pesantren ini diberi nama Al-Hamid. Dan sebagaimana orang yang memiliki pesantren, Haji Hamid pun bertambah ‘gelar nonformalnya’ dari masyarakat menjadi KH Hamid Djiman.


“Jadi, penggagas atau perintah dari Gus Miek, yang memberi nama adalah Gus Munif. Gus Munif atau Kiai Munif itu adalah adiknya Gus Miek. Beliau ini fotonya,” jelas Kiai Lukman, seraya menunjukkan satu foto di antara para masyayikh Ploso.


Kiai Lukman mengisahkan, ketika pertama membuka pesantren pada tahun 2022, santri yang mendaftar tingkat MI 15 orang, MTs 15 orang dan Aliyah 7 orang. Santri pada saat itu diberi pilihan: ada yang mondok, ada yang pulang pergi. Tetapi di tahun 2007, santri diharuskan tinggal di pesantren semua, tanpa terkecuali.


Sampai saat ini, Pesantren Al-Hamid memiliki 1500 santri putra dan putri. Tingkat pendidikannya pun dari mulai TK, MI, MTS, sampai Aliyah. Pagi hari para santri sekolah formal, malamnya sekolah diniyah pesantren, yang diadopsi antara salafiyah dengan modern.


Mereka mayoritas berasal dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek). Ada juga beberapa santri berasal dari Lampung, Bengkulu, Riau, Jambi, sampai Aceh, meski tidak banyak.


Pengasuh mengaku, pesantren Al-Hamid mengadopsi dari Pesantren Ploso. Pihaknya mengepankan sekali pendidikan akhlaqul karimah, sampai ada bahasa guyonnya: “Al-Hamid ini Betawi rasa Jawa,” terangnya, seraya tertawa.


“Ada guyonan seperti itu, karena kita masih pakai bahasa ya, ndoprok istilahnya, santri ketika gurunya di kursi itu santri di bawah. Itu kita gunakan adat Jawa seperti itu.”


Selain itu, Kiai Lukman mengaku pesantrennya mengedepankan Ilmu Nahwu dan Sharaf. “Jadi kita berharap diniyah ini lebih cenderung kepada pelajaran kitab kuning. Di samping itu kita juga ada program tahfid ada, program bahasanya juga ada. Cuma yang lebih umum adalah lebih ke kitab kuning,” terangnya.


Ada banyak hal lagi yang diceritakan kepada kami, sampai-sampai tak terasa waktu asar akan segera habis. Tentu tak semua bisa ditulis di sini. Lalu kami mengakhiri, seraya mengucapkan terima kasih kepada Kiai Lukman. Tak lupa, kami pun minta foto bersama.


Beliau melayani kami bergantian mengambil gambar satu persatu. Juga menanyakan asal kami dan beberapa pertanyaan yang mengakrabkan. Lalu kami pun berpamitan dengan bersalaman, mencium tangannya.


Ketika keluar kamar, Gus Aizuddin Abdurrahman, Ketua OC Munas dan Konbes NU, sedang duduk membawa ponsel. “Kok cepat sekali? Kurang lama. Itu Kiai Lukman punya banyak ijazah yang perlu dibagikan,” katanya, sambil tertawa. “Mungkin lain kali, Gus,” jawab kami, sambil bersalaman laiknya santri.


Lalu kami berjalan menuju masjid pesantren. Setengah jam sebelum magrib tiba, para santri sudah berdatangan, berkerumun di masjid untuk shalat berjamaah. Di antara mereka banyak yang memakai kopiah putih dan baju gamis.


Sebagian lagi memakai kemeja putih dan sarung. Mereka menunggu waktu magrib tiba dengan mendendangkan puji-pujian secara berjamaah. Sungguh, suasana syahdu yang bikin rindu.


Ziarah pendiri pesantren
Usai shalat berjamaah dan sedikit merapalkan wirid, kami berziarah ke pusara makam KH Hamid Djiman, yang berada di depan masjid pesantren. Musthofa Asrori (Redaktur) memimpin tahlil. Sementara Suwitno (Fotografer) dan saya mengamini.


Tahlil dan kalimah thayyibah kami rapalkan untuk pengusaha, pecinta ulama dan kiai, yang telah mengader ribuan santri lewat pesantren yang dibangunnya di Jakarta Timur itu.


Rapalan Al-Qur’an dan kitab-kitab yang dikaji dari pesantren itu seakan menjadi penerang kota metropolitan yang penuh mobilitas dan gegap gempita. Semoga, perjuangan dan pengabdian selama hidupnya menginspirasi, menyemangati dan memberkahi kita semua. Aamiin yaa rabbal ‘alamin.