Nasional

Prostitusi Online hanya Bisa Dihentikan dengan Kerja Sama Semua Elemen

Kamis, 10 Januari 2019 | 13:30 WIB

Bojonegoro, NU Online

Pasca terbongkarnya kasus prostitusi online yang melibatkan artis ibu kota di Surabaya, Polres Bojonegoro juga mengungkap kasus serupa dengan mengamankan seorang mucikari. Fonemena tersebut mendapat perhatian serius Pimpinan Cabang Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PC ISNU) Kabupaten Bojonegoro.

Ketua PC ISNU Kabupaten Bojonegoro, Yoggi Prana Izza melihat, prostitusi online merupakan implikasi buruk dari kemajuan teknologi. Munculnya prostitusi online juga bagian dari konsekwensi dari banyak lokalisasi offline yang dibubarkan. "Tapi sebenarnya, permasalahan prostitusi dan bisnis 'esek-esek' ini sudah ada sejak zaman dahulu dan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang," ungkapnya, Kamis (10/1).

Pak Yogi yang juga dosen IAI-UNU Sunan Giri itu menyebut, sebenarnya ada tiga komponen yang bisa kita lihat dari kasus prostitusi online. Pertama, soal calo atau mucikari, dan kedua itu WTS (Wanita Tuna Susila) atau pelacur, sedangkan ketiga adalah user atau pengguna.

Jika dilihat dari sudut pandang bisnis, maka mucikari adalah penyedia jasa, sedangkan WTS ibarat barang dagangan, sedangkan pengguna adalah pembeli. Ketiga mata rantai ini akan selalu bertautan. "Untuk menghentikan bisnis ini, ketiga mata rantai harus diputus," jelasnya.

Menurutnya, memang penyedia jasa layanan (mucikari) merupakan mata rantai paling atas, sehingga dapat dibidik dengan hukum pidana, tetapi bukankah 'korban' (WTS) juga bisa bertindak sebagai penyedia ‘jasa layanan mandiri ?’. Selain itu, tanpa kehadiran user atau pembeli (hidung belang) tidak mungkin terjadi transaksi. Seperti halnya hukum ekonomi, ada permintaan dan penawaran (demand and supply). "Maka, sudah semestinya jika pengguna juga bisa dipidanakan," terangnya sebagai efek jera.

Sedangkan jika dilihat dari sudut pandang antropologi sosial, persoalan prostitusi sangat kompleks. Seorang wanita yang melacurkan diri didasari berbagai macam motif. Seorang bapak misalnya, menceritakan kepada Pak Yogi, bahwa putrinya 'terpaksa' melakukan hal tersebut demi untuk menutupi biaya kuliah di salah satu perguruan tinggi di Surabaya.

"Motif lain dari seorang wanita yang sudah 'nyaman' menjadi WTS karena gampang mendulang rupiah dibandingkan kerja yang lain. Gaya hidup hedonisme muda mudi juga menjadi motif mereka terjerembab prostitusi," sebutnya.

Dosen lulusan Mesir menambahkan, selain itu juga ada yang berawal dari sakit hati karena pasangan berselingkuh, kemudian terperangkap dalam lingkaran prostitusi. Ada pula yang tertipu mucikari hingga akhirnya tidak bisa keluar dari lingkaran setan tersebut dan masih banyak motif lainnya.

Oleh karena itu, untuk menangani para WTS dibutuhkan proses penyadaran yang tidak mudah sesuai dengan latar belakang masalah. Butuh kesabaran ekstra, karena dimulai dari perubahan cara berfikir hingga ditemukan solusi praktis sebagai pengganti kerja mereka.

"Para peneliti, psikolog, psikiater, agamawan dan pemerintah dapat dilibatkan dalam proses perubahan mindset hingga pendampingan dalam alih profesi," imbuhnya.

Begitu halnya bagi lelaki hidung belang atau user, persoalan seksual atau gairah terhadap wanita sejatinya adalah persoalan 'klasik' yang menurut penelitian merupakan 'watak dasar' lelaki. Hanya saja, kualitas norma agama dan sosial yang dianut berpengaruh terhadap perilaku. Itulah sebabnya, ketika ada seorang laki-laki yang menghadap Rasulullah dan dengan jujur meminta izin berbuat zina, Rasulullah tidak marah.

"Tetapi beliau berkata, 'apakah engkau rela zina terjadi pada ibumu?, pada anak perempuanmu? pada adik perempuanmu? pada bibimu?'". Ketika laki-laki itu menjawab tidak. Rasul mengatakan bahwa semua orang juga tidak menginginkan itu terjadi pada ibu, anak, adik, dan bibi mereka. Laki laki itu pun muak dengan perbuatan zina," paparnya.

Pak Yogi yang juga motivator siswa dan mahasiswa memberikan solusi, dengan demikian untuk menangani prostitusi online, semua pihak harus terlibat didalamnya. Bagi pihak kepolisian, patroli siber perlu dimasifkan. Bagi pengambil kebijakan dalam undang-undang, sudah sepatutnya pengguna (hidung belang) juga bisa dijerat dengan pidana sebagaimana mucikari atau calo. Para WTS juga tidak selamanya harus berstatus 'korban', karena tidak sedikit pula yang bukan korban trafficking (perdagangan manusia), tetapi memang kehendak sendiri memperdagangkan diri.

"Adapun peran para agamawan dan pendidik sangat signifikan dan perlu berkolaborasi dengan para peneliti, sehingga antara realitas data dan norma agama dapat tersampaikan dengan tepat, khususnya materi-materi yang disajikan di lini media online," pungkas ustaz Yogi yang juga penceramah milenial itu.(M. Yazid/Ahmad Rozali)