Nasional

Quraish Shihab tentang Mbah Moen: Kita Tak Hanya Kehilangan Sosok, Tapi Juga Ilmu

Selasa, 6 Agustus 2019 | 09:35 WIB

Quraish Shihab tentang Mbah Moen: Kita Tak Hanya Kehilangan Sosok, Tapi Juga Ilmu

Pertemuan Prof Quraish Shihab dengan KH Maimoen Zubair di Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang, 26 Desember 2016 lalu.

Jakarta, NU Online
Kabar Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Maimoen Zubair wafat menimbulkan rasa duka yang mendalam bagi semua kalangan, tak terkecuali Ulama Tafsir Indonesia Prof Quraish Shihab.

“Kita semua merasa kehilangan. Kita bukan hanya kehilangan sosok, tapi kita kehilangan ilmu karena Mbah Maimoen seorang alim seorang berakhlak sangat luhur,” kata Prof Quraish melalui akun Facebook putrinya, Najelaa Shihab, Selasa (6/8).

Hal itu, menurut Prof Quraish, sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad dalam haditsnya, ‘Tuhan tidak mencabut ilmu dari dada seseorang, tapi mencabutnya dengan kematian’.

Ulama yang juga menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) ini mengajak agar berhusnuzon kepada Allah bahwa Mbah Maimoen akan diterima sebaik-baiknya di sisi Allah dan ditempatkan di tempat yang sebaik-baiknya sebagai seorang ulama yang membela kebenaran serta keadilan.

“Semoga Allah mengampuni beliau dan menerima amal-amal baiknya. Amiin ,” ucapnya mendoakan.

Sebagai informasi, Mbah Maimoen merupakan seorang alim, faqih sekaligus muharrik (penggerak). Selama ini, Mbah Maimoen merupakan rujukan ulama Indonesia, dalam bidang fiqih.

Hal ini, karena Mbah Maimoen menguasai secara mendalam ilmu fiqih dan ushul fiqih. Ia merupakan kawan dekat dari Kiai Sahal Mahfudh, yang sama-sama santri kelana di pesantren-pesantren Jawa, sekaligus mendalami ilmu di tanah Hijaz.

Mbah Maimoun merupakan putra dari Kiai Zubair, Sarang, seorang alim dan faqih. Kiai Zubair merupakan murid dari Syekh Saíd al-Yamani serta Syekh Hasan al-Yamani al-Makky.

Kedalaman ilmu dari orang tuanya, menjadi basis pendidikan agama Mbah Maimoen sangat kuat. Kemudian, ia meneruskan mengajinya di Pesantren Lirboyo, Kediri, di bawah bimbingan Kiai Abdul Karim. Selain itu, selama di Lirboyo, ia juga mengaji kepada Kiai Mahrus Ali dan Kiai Marzuki.

Pada umur 21 tahun, Mbah Maimoen melanjutkan belajar ke Makkah Mukarromah. Perjalanan ini, didampingi oleh kakeknya sendiri, yakni Kiai Ahmad bin Syuáib. Di Makkah, Mbah Maimun Zubair mengaji kepada Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki, Syekh al-Imam Hasan al-Masysyath, Sayyid Amin al-Quthbi, Syekh Yasin Isa al-Fadani, Syekh Abdul Qodir al-Mandaly dan beberapa ulama lainnya. 

Mbah Maimoen juga meluangkan waktunya untuk mengaji ke beberapa ulama di Jawa, di antaranya Kiai Baidhowi, Kiai Ma'shum Lasem, Kiai Bisri Musthofa (Rembang), Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Muslih Mranggen (Demak), Kiai Abdullah Abbas Buntet (Cirebon), Syekh Abul Fadhol Senori (Tuban), dan beberapa kiai lain. Kiai Maimun juga menulis kitab-kitab yang menjadi rujukan santri. Di antaranya, kitab berjudul al-ulama al-mujaddidun.

Selepas kembali dari tanah Hijaz dan mengaji dengan beberapa kiai, Mbah Maimoen kemudian mengabdikan diri untuk mengajar di Sarang, di tanah kelahirannya. Pada 1965, Mbah Maimoen kemudian istiqomah mengembangkan Pesantren al-Anwar Sarang. Pesantren ini, kemudian menjadi rujukan santri untuk belajar kitab kuning dan mempelajari turats secara komprehensif. (Husni Sahal/Fathoni)