Pati, NU Online
Kalau merujuk pada Al-Qur’an, ada dua hal mendasar yang menyertai penciptaan manusia di dunia. Yang pertama adalah bahwa bisa saja Allah menciptakan manusia seragam, tapi manusia diciptakan beragam. Yang kedua, hanya orang-orang yang dikasihi Allah-lah yang mampu mengelola perbedaan tersebut sebagai rahmat.
Demikian diungkap oleh KH Abdul Ghofur Maimoen dalam Suluk Maleman bertajuk “Bulan Peneguhan Cinta” yang digelar di Rumah Adab Indonesia Mulia, Ahad (19/6) dini hari kemarin.
Menurut putra KH Maimoen Zubair yang akrab dipanggil Gus Ghofur ini, keberagaman adalah sunatullah, dan kemampuan orang untuk menerima dan mengelola keberagaman adalah cermin bahwa ia termasuk orang yang dikasihi Allah.
Menggarisbawahi apa yang diungkap oleh Gus Ghofur, Anis Sholeh Ba’asyin sebagai tuan rumah acara tersebut menegaskan, puasa Ramadhan adalah salah satu cara agar kita mampu meraih posisi sebagai golongan yang dikasihi Allah.
Menurut Anis, berpuasa itu merupakan langkah menahan diri untuk kepentingan yang lebih tinggi. Inti dari berpuasa pada dasarnya juga dilakukan dalam berbagai bentuk sikap dalam kehidupan bermasyarakat.
“Bayangkan, bila orang tidak menahan diri untuk berhenti saat lampu merah di traffic light, sudah pasti kekacauan yang terjadi, dan korbannya bukan hanya pihak yang menerobos, tapi juga orang-orang lain,” ujar Anis.
Dari contoh kecil ini saja, lanjut Anis, bisa dibayangkan bahwa sebuah peradaban tak mungkin dibangun bila para pemangkunya tak mau memuasakan dirinya. Nah, setidaknya ada dua motif manusia ketika melakukan puasa macam ini.
Yang pertama, karena takut. Motif ini terkait dengan hukum, orang berhenti di saat lampu merah bukan karena kesadaran dirinya tentang tatanan, tapi karena takut tertangkap polisi misalnya. Yang kedua, karena harapan. Motif ini terkait dengan cinta, orang berhenti di lampu merah baik ada polisi atau tidak, karena ia sadar harus menjaga orang lain, juga dirinya, dari kekacauan.
Ilyas, dosen yang juga hadir sebagai pemateri justru menyayangkan sejumlah orang yang kerap mengumbar ibadahnya di media sosial. Dalam beribadah, sebaiknya orang juga dilandasi dengan semangat puasa, yakni menahan diri untuk tidak mengumbarnya.
Pria yang kerap berbicara ceplas-ceplos itu justru menilai bahwa orang Jawa-lah yang sebenarnya sudah lama mencapai makrifat. Banyak orang Jawa yang mendasarkan diri dengan puasa meski dibahasakan dengan istilah laku tirakat.
Menurut Ilyas, setidaknya ada tiga tingkatan dalam berpuasa. Puasa tingkatan pertama adalah puasa yang ditujukan untuk tujuan keduniawian. Puasa semacam itu biasanya dilakukan jika ingin mendapatkan kemuliaan di dunia baik jabatan, pekerjaan maupun lain sebagainya.
Ada pula tingkatan puasa dengan maksud berharap masuk surga. Meski lebih baik, namun dirinya menilai akan lebih baik lagi jika ibadah tidak didasari dengan timbal baik apapun.
“Tingkatan yang ketiga, biasanya berpuasa lantaran cintanya sama Allah. Biasanya mereka sudah tidak memiliki maksud apapun. Bahkan jika seandainya apa yang mereka cita-citakan tidak tercapai mereka juga tetap iklash menjalaninya. Puasa dijadikan bentuk berserah diri dan semuanya menjadi urusan Allah,” ujarnya.
Menurutnya orang akan menjadi merdeka jika mereka tidak terikat pada cita-cita atau keinginan keduniawian tertentu. Kemerdekaan akan diraih jika mereka berani untuk tidak menjadi apa-apa.
Ironisnya yang terjadi saat ini seringkali justru terjadi kebalikannya. Banyak orang yang justru sakit hati jika apa yang dicita-citakannya tidak terwujud. Mereka seolah ingin menggantikan posisi Tuhan yakni apa yang diinginkannya harus terwujud.
“Seringkali konflik atau ketidak rukunan terjadi karena ada orang yang memaksakan sesuatu atau orang lain tidak bersikap seperti apa yang dia mau. Memaksakan keinginan sudah pasti bukan cerminan puasa,” imbuhnya.
Selain pembicara diatas, hadir juga KH. Budi Harjono, Manu Albertine, perempuan asal Perancis yang sedang magang dalam program manajeman NGO di Indonesia; KH. Anis Maftuhin dari Salatiga; Hasan Aoni Azis, pengelola Rumah Dongeng Marwah-Kudus; Gus Afif, aktivis lingkungan dan juga Kepala Desa Susukan.
Diskusi yang digelar hingga pukul 02.30 Wib tersebut, bertambah atraktif setelah diselingi dengan peluncuran album Cinta Berdebu dari Komunitas Marwah, juga pagelaran musik Galbu Musik Orkestra yang menyuguhkan musik beraroma khas Timur Tengah, ditambah kehadiran puluhan penari sufi. Setidaknya 500 penonton yang hadir terlihat begitu menikmati, meski hujan turun sejak sore hari. (Red-Zunus)