Nasional

Soal Gugatan RCTI dan INews, Komisioner KPI: Tidak Ada Pengekangan Kreator Konten

Kamis, 3 September 2020 | 22:00 WIB

Soal Gugatan RCTI dan INews, Komisioner KPI: Tidak Ada Pengekangan Kreator Konten

Komisioner KPI Pusat Mohamad Reza mengungkapkan pihaknya memiliki tugas sebagai regulator atau pelaksana kebijakan yang sudah ditetapkan. (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menyikapi permohonan RCTI dan INews yang sedang melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), soal Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2002 pasal 1 ayat 2 tentang Penyiaran. 

 

Ayat tersebut berbunyi, "Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran."

 

Pemohon, dalam hal ini RCTI dan INews, melalui Kuasa Hukum M Imam Nasef menyatakan bahwa pasal 1 ayat 2 tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai ‘dan/atau kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran’.

 

Sehingga, dikutip dari Risalah Sidang MK pada 9 Juli 2020, Imam Nasef mengusulkan agar pasal 1 ayat 2 UU Nomor 32 tahun 2002 itu berbunyi, "Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran dan/atau kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran."

 

Merespons hal tersebut, KPI Pusat mengeluarkan sikap resmi pada 29 Agustus 2020 lalu. Terdapat tiga poin yang disebutkan. Pertama, KPI mendorong pengaturan media baru dalam konteks kesetaraan perlakuan kepada seluruh industri konten. 

 

Kedua, KPI berkomitmen menjaga kepentingan publik untuk mendapat konten yang berkualitas sekaligus mendorong industri kreatif dalam memproduksi konten sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.

 

Ketiga, KPI mengajak seluruh pihak untuk menghargai proses hukum yang sedang berlangsung sekaligus menjadikan topik ini sebagai wacana publik yang didasarkan pada perspektif argumentasi yang proporsional dan mengedepankan kepentingan bangsa.

 

Komisioner KPI Pusat Mohamad Reza mengungkapkan pihaknya memiliki tugas sebagai regulator atau pelaksana kebijakan yang sudah ditetapkan. Regulasi mengenai penyiaran, dibuat oleh dua lembaga yang berwenang yakni eksekutif (pemerintah) dan legislatif (DPR). 

 

"Kami ada pedoman pengawasan konten siaran, namanya P3SPS. Yaitu, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran. Kami (bekerja) berdasarkan pedoman itu, sesuai amanah UU 32. Yang kami awasi adalah konten di lembaga penyiaran, apakah internet masuk? Kalau saat ini internet tidak masuk di dalam UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran, belum tahu nanti apa keputusan MK," kata Reza kepada NU Online di Jakarta, Rabu (2/9) malam.

 

Sebelum ramai soal gugatan RCTI dan INews, KPI sebenarnya pernah mewacanakan soal pengaturan media baru, pada awal periode KPI di bawah pimpinan Agung Suprio. 

 

"Tujuannya, kami mendorong untuk kita sama-sama berpikir bagaimana caranya agar internet ini diatur lebih baik. Karena ada kepentingan publik yang harus dijaga. Kita harus akui banyak konten positif di Internet, tapi tidak sedikit pula konten-konten negatif yang ada di dalamnya . Misalnya tentang radikalisme, hoaks, pornografi dan sebagainya," kata Sekretaris Pimpinan Wilayah (PW) Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) masa khidmat 2012-2018 ini.

 

Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Negeri Gorontalo (UNG) ini menjelaskan bahwa jika internet dimasukkan ke dalam UU Nomor 32 Tahun 2002 pasal 1 ayat 2 itu, maka seluruh ayat dan pasal di turunannya harus disesuaikan juga.

 

"Kemudian, platform seperti Youtube dan Netflix ini kan punya asing. Di UU Penyiaran, kepemilikan saham itu tidak bisa dimiliki oleh asing secara keseluruhan, lembaga penyiaran tidak bisa milik asing," jelas Kak Reza, demikian ia akrab disapa.

 

Sehingga, ia mengimbau kepada semua pihak untuk menunggu hasil keputusan MK nanti. Ditegaskan pula, KPI tidak punya hak untuk menilai bagaimana permohonan lembaga penyiaran itu karena sedang berproses hukum.

 

"Bahwa kemudian banyak anggapan miring soal itu, silakan saja. Yang penting, mari kita dudukkan persoalan ini secara proporsional. Kami tidak mendukung siapa-siapa, karena cara mendapatkan tafsir aturan harus dengan proses judicial review. Maka silakan saja lakukan, untuk mendapat kepastian hukum. Kita tunggu hasil keputusan MK nanti seperti apa," tegasnya.

 

Digitalisasi Penyiaran butuh Kreator Konten

KPI mendorong agar persoalan bagi internet ini dibuatkan aturan tersendiri, bisa melalui UU Penyiaran yang baru nanti atau UU Konvergensi, atau UU lainnya. KPI tidak pernah ada niatan membatasi kreator konten. Dalam hal ini, KPI justru mendorong lembaga penyiaran untuk bisa berkolaborasi dengan kreator konten. 

 

"Di daerah, ada banyak kreator konten yang bagus. Setiap daerah pasti memiliki Youtuber atau para sineas muda. Saat ini misalnya, yang sedang viral adalah Bu Tejo atau film Tilik dari Ravacana TV Yogyakarta. Penyiaran digital akan membuka banyak penyelenggara siaran TV digital baru di seluruh Indonesia. Ini akan berimplikasi pada kebutuhan konten. Persaingan akan semakin tinggi, dan itu butuh kreatifitas untuk bisa bertahan," ungkap Reza.

 

Harapannya, UU penyiaran yang baru bisa segera selesai, agar bisa mewadahi perkembangan teknologi digital dan media baru. Dalam hal digitalisasi penyiaran, Indonesia masuk sebagai negara yang belum migrasi dari analog ke digital bersama Timor Leste dan Myanmar. 

 

"Semua kita bersepakat, Indonesia harus maju. Karena itu digitalisasi penyiaran harus segera berjalan, media baru dan kreator konten harus berkembang, dan publik harus dilindungi dari efek negatif yang timbul dari perkembangan tersebut," pungkasnya.

 

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan