Opini

Gus Dur dan Ruh Penyiaran Demokratis

Senin, 7 Januari 2019 | 22:00 WIB

Oleh Ubaidillah

Salah satu produk semangat reformasi adalah Undang-Undang Penyiaran; alih sumber informasi dari yang sebelumnya sentralistik menjadi desentralisasi. Tidak heran, jika proses pengesahan undang-undang tersebut, urun-rembug hingga nada kritik tumpah dari beragam latar elemen. 

Nama-nama seperti Akbar Tanjung, Amien Rais, insan penyiaran seperti pelaku usaha penyiaran, pakar komunikasi, termasuk KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, berperan penting dalam proses penciptaan Undang-Undang Penyiaran pada 2002. Dari tokoh-tokoh di atas mempunyai semangat serupa, yakni pengesahan RUU Penyiaran mesti menjadi medium transformasi nilai-nilai demokrasi.

Dalam tulisannya yang berjudul Objektivitas Penyiaran dan Akses Kepadanya (2002), Gus Dur menitikberatkan arus informasi yang bebas bagi semua warga negara. Pandangan di atas dengan tegas membedakan antara pergulatan kepemilikan tunggal badan usaha penyiaran dan arus informasi.

Berpijak dari ucapan Nabi Muhammad yang berbunyi “segala macam persoalan harus sesuai dengan kehendak semula” (al-umuru bi maqashidiha), Gus Dur beranggapan bahwa, kehendak dari Undang-Undang Penyiaran itu menyangkut nilai-nilai demokrasi, yakni informasi yang bebas bagi publik.

Nampaknya Gus Dur tidak bermain-main ketika berbicara demokrasi. Termasuk dalam penyiaran, Gus Dur tidak tanggung—tanggung berbicara arus informasi yang baginya harus syarat nilai-nilai demokratis di dalamnya. Pernyataan ini tentu mengandung konsekuensi, yakni pembatasan terhadap adanya intervensi politik maupun ekonomi terhadap informasi. 

Apabila informasi yang sampai kepada publik sudah diintervensi, baik oleh kepentingan politik maupun ekonomi, maka ia akan—meminjam bahasa Agus Sudibyo—mendorong terjadinya anomali (Anomali Ruang Publik Media, 2009). Menurut Agus Sudibyo, anomali penyiaran terjadi karena rasionalitas modal dan birokrasi berdiri di atas rasionalitas publik. Sehingga informasi yang diterima publik tidak utuh, melainkan sudah tereduksi oleh kepentingan modal dan birokrasi.

Pertanyaannya kemudian, apabila arus informasi itu dibiarkan apa adanya bukankah akan memunculkan riuh pertentangan terhadap tatanan yang sudah mapan? Atau justeru bisa terjadi penyelewengan di dalamnya? 

Gus Dur menyadari bahwa tercapainya masyarakat yang demokratis harus dibarengi dengan penyampaian informasi yang bebas. Ia juga beranggapan bahwa pendapat umum masyarakat, pun dipengaruhi oleh informasi yang disiarkan oleh lembaga penyiaran. Di titik ini kemudian, bisa memunculkan kekhawatiran seperti penyampaian informasi yang bertentangan dengan nilai-nilai keberagaman.

Menjawab kekhawatiran itu, Gus Dur mengajukan beberapa syarat. Tentu saja selain desentralisasi kepemilikan usaha penyiaran, yakni berkaitan dengan keterampilan sumber daya jurnalistik. Informasi musti otonom dari kepentingan-kepentingan si pemilik usaha, dengan mengedepankan kerja-kerja jurnalistik yang profesional.

Menolak Ketergantungan
Pertanyaan selanjutnya yang mempunyai irisan penting dengan ilustrasi di atas adalah tentang ketergantungan publik terhadap informasi melalui penyiaran. Ketergantungan publik terhadap informasi penyiaran ini yang kemudian disimpulkan sebagai alarm bahaya. Artinya bahwa, harus ada pembatasan. Dengan sederhana Gus Dur melihat ini sebagai sesuatu yang berlebihan.

Ia mencontohkan, bahwa komunikasi langsung bisa menjadi sumber informasi di luar informasi yang disalurkan melalui lembaga penyiaran. Subjektivitas Gus Dur terhadap sumber informasi ini, setidaknya menggambarkan laku kesehariannya yang juga merupakan sosok kiai dan tokoh nasional. Kebiasaannya sebagai penceramah di tengah-tengah publik, baik dalam konteks umum atau agama, mendorong keyakinannya bahwa ada pembanding validasi informasi ketimbang melulu khawatir akan informasi bebas yang  disampaikan lembaga penyiaran.

Di ruang perkembangan teknologi yang kian pesat maju, sebenarnya tidaklah sulit mengutak-atik relevansinya. Sumber informasi melalui lembaga penyiaran, sebenarnya hanya salah satu di antara banyak sumber informasi. Keran informasi bisa diakses langsung oleh publik melalui gadget dan internet. Artinya bahwa, pembanding validitas informasi saat ini tidak sesulit yang dibayangkan, sehingga musti ada pembatasan informasi dalam dunia penyiaran.

Konsensus Penyiaran
Bagi penulis, Gus Dur telah memberikan “cetak biru” penyiaran dalam bentuk aksiologisnya, yakni ruh demokrasi inheren di dalam dunia penyiaran. Tinggal persoalannya sekarang, adalah bagaimana meneguhkan ruh demokrasi itu tetap eksis dan lestari dalam dunia penyiaran. Perwujudan ini tidak semudah membalikkan telapak tangan dengan mengagungkan salah satu unsur saja.

Ambil contoh Komisi Penyiaran Indonesia, yang peran dan fungsinya adalah mendorong terciptanya penyiaran yang demokratis. KPI tentu membutuhkan kerja-kerja kolaboratif bersama dengan elemen masyarakat dan instansi lainnya. Maka dari itu, dari proses perizinan hingga pengawasan konten siaran, KPI selalu melibatkan peran masyarakat di dalamnya.

Dalam proses perizinan semisal, KPI melibatkan unsur masyarakat seperti akademisi dan tokoh masyarakat dalam proses Evaluasi Dengar Pendapat. Pun setelahnya, yakni pengawasan konten siaran, KPI secara periodik melibatkan masyarakat dalam program kerja literasi media. Juga pojok-pojok pengaduan yang disediakan untuk sebesar-besarnya kepentingan publik.

Upaya-upaya ini sebenarnya adalah wujud komitmen meneguhkan penyiaran yang demokratis. Ruang-ruang publik menggambarkan kesepakatan-kesepakatan atau konsensus. Seperti Habermas (1929), konsensus mesti dicapai dengan adanya partisipasi secara otonom di bawah aturan tanpa diskriminasi.

Menuju penyiaran yang demokratis, adalah jalan panjang yang perlu ditempuh secara bersamaan. Gus Dur telah memberikan sumbangsih, tinggal tugas kita mereplikasikan dengan konteks era yang kian dinamis perubahannya. Tentu saja, dengan mengedepankan kepentingan publik di atas segala kepentingan di luarnya.


Penulis adalah Komisioner Bidang Kelembagaan KPI Pusat