Suluk Maleman: Hanya Tamu di Bumi, Manusia Jangan Jadikan Dunia sebagai Tujuan
Ahad, 19 Maret 2023 | 18:00 WIB
Pati, NU Online
Keterikatan pada dunia seringkali membawa manusia pada jurang kehancuran. Padahal jika disadari, dunia bukanlah tujuan akhir dari perjalanan manusia.
Hal itu menjadi topik utama dalam gelaran Suluk Maleman edisi ke-135 pada Sabtu (18/3/2023) malam kemarin. Hal itu membuat ratusan orang yang hadir maupun menyaksikan secara daring kembali merenungkan perjalanannya.
Anis Sholeh Ba’asyin, penggagas Suluk Maleman, mengingatkan jika manusia hanyalah tamu yang didatangkan untuk menjadi khalifah di muka bumi. Tamu yang baik tentu bukan yang datang kemudian membuat kerusakan.
“Kita hanyalah tamu yang akan pulang ke sangkan paran. Kita hanyalah penyinggah bukan penetap. Jadi tak perlu adigang, adigung, adiguna,” terangnya.
Oleh karena itu, jika menyadari hanya singgah di dunia, maka manusia tak akan menghabiskan waktunya untuk dunia, tetapi mengejar akhirat.
“Sebaliknya, jika menganggap menetap di bumi, maka akan menganggapnya sebagai rumah. Alhasil segala sesuatu akan dihabiskan untuk bumi saja. Padahal satu hari di akhirat seperti 1.000 tahun di bumi. Jadi kenapa kita mengejar untuk yang hanya sebentar?,” satirnya.
Menurutnya, bumi hanyalah perantara menuju ke akhirat. Dengan kesadaran itu maka semua yang dilakukan di bumi harus halalan thayyiban. Dalam bertindak tidak ngawur. Tidak mengeluh saat diberi cobaan. Serta ketika diberi kemuliaan tidak akan menjadi sombong. “Dunia itu penting tapi remeh untuk jadi tujuan,” tambahnya.
Di antara ciri merasa dunia sebagai utama, dikatakannya yakni ketika telah merasa sakit ketika kehilangan sesuatu. Semakin merasa sakit maka kemelekatan dengan dunia juga makin kuat.
“Baik kehilangan barang berharga, atau jabatan jika sakit sekali maka keteritakannya dengan dunia juga kuat,” tambahnya.
Agar tak terjebak pada dunia, maka bisa dilatih dengan pengelolaan antara ruh, akal, nafsu, dan hati. Hal itu sesuai ajaran Sunan Kalijaga, yakni sedulur papat dan menghasilkan lima pancer yakni kepribadian yang baik.
Sementara itu, Abdul Jalil, narasumber lainnya, menyebut dalam pergerakan dunia yang seperti sekarang ini, butuh perjuangan yang istiqomah agar nilai-nilai yang baik dapat menjadi pegangan.
“Sekarang ini pertarungannya bagaimana memenangkan nilai yang baik. Kita harus berjuang agar setidaknya nilai itu bisa menjadi standar di hati. Bahkan sebisa-bisa menjadi standar nasional atau kalau perlu hingga mendunia,” terangnya.
Jika nilai-nilai sudah terinternalisasi, maka tinggal menata struktur modal, politik, budaya maupun tekhnologi. Jika hal tersebut bisa tercapai, maka ujungnya dapat tercapai insan kamil seperti yang disebutkan Ibn Arabi.
“Yang di tengah haruslah akhlak. Perpaduan antara akal, hati, ruh dan nafsu itulah yang akan menjadi nafs dan menjadi jati diri kita,” imbuhnya.
Di antara keberhasilan dari Walisongo sendiri dikatakannya karena bisa menciptakan daya tarik baru diluar, daya tarik yang sudah eksis di masyarakat. Hal itulah yang mampu membuat keberhasilan dari dakwahnya.
“Marilah kembali. Kita sudah diberi rahmat Allah. Maka apa yang ada pada kita, nikmatilah dan bersyukurlah,” ajaknya.
Selain topiknya yang menarik, jalannya ngaji budaya itupun semakin hangat dengan selingan musik Sampak Gusuran.
Editor: Syakir NF
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua