Vaksinasi Dijalankan, PBNU: Vaksin Saja Tak Bisa Kendalikan Wabah
Rabu, 13 Januari 2021 | 10:45 WIB
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI telah memberikan pernyataan bahwa program vaksinasi di Indonesia akan berlangsung selama 15 bulan, yakni sejak hari ini hingga Maret 2022.
Aru Lego Triono
Kontributor
Jakarta, NU Online
Program vaksinasi di Indonesia sudah resmi dijalankan. Hal itu ditandai dengan Presiden Joko Widodo yang telah divaksin beserta perwakilan unsur masyarakat di Istana Negara Jakarta, pada Rabu (13/1) pagi.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Kesehatan dr Syahrizal Syarif menyatakan bahwa vaksin bukan satu-satunya faktor untuk bisa mengendalikan wabah. Namun demikian, sangat jelas bahwa vaksin dapat menurunkan angka penularan dan kematian akibat Covid-19.
"Jadi pesan saya adalah bahwa vaksin saja tidak mungkin bisa mengendalikan wabah, tapi bahwa vaksin dapat menurunkan (angka penularan dan kematian) itu jelas. Bahwa pesan utama vaksin adalah akan menurunkan angka kematian dan memangkas angka penularan," kata dr Syahrizal Selasa (12/1) kemarin sore.
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI telah memberikan pernyataan bahwa program vaksinasi di Indonesia akan berlangsung selama 15 bulan, yakni sejak hari ini hingga Maret 2022.
Pernyataan itu diamini Syahrizal bahwa program vaksinasi membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Sebab vaksinasi akan dapat dikatakan berhasil jika 70 persen dari jumlah penduduk negeri ini divaksin sehingga menciptakan herd immunity atau kekebalan kelompok. Hal tersebut tentu tidak mudah.
"Kita membutuhkan waktu (program vaksinasi). Saya sih sangat berharap bahwa kita semua bisa memanfaatkan dan mensyukuri bahwa proses vaksinasi di Indonesia akan berjalan. Menurut saya, itulah (vaksinasi) salah satu jalan kita untuk mengendalikan wabah," jelasnya.
"Vaksinasi ini tidak mungkin kita terima dalam waktu cepat. Jadi kalau ada skema 15 bulan sih menurut saya, wajar saja. Kita harus bersabar dalam situasi seperti itu," sambung Syahrizal.
Ia kemudian mengajak masyarakat untuk menjadikan pengalaman masa lalu dalam menanggulangi pandemi ini. Sebagai contoh, katanya, upaya menghilangkan virus smallpox atau cacar membutuhkan waktu sekira 18 tahun.
"Kita memulai vaksinasi cacar itu pada tahun 1956, dan Indonesia baru berhasil pada tahun 1974. Jadi butuh 18 tahun," jelas Pakar Epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) ini.
Namun, lanjut Syahrizal, tentu saja situasi pada masa lalu dengan saat ini sangat berbeda. Artinya, kendala geografis ketika itu pada tahun 1956 menjadi tantangan utama untuk program vaksinasi.
"Situasi tahun 1956 tentu berbeda dengan situasi sekarang. Karena saat ini kita sudah punya banyak infrastruktur dan teknologi yang canggih. Berbedalah," ujarnya.
Tetap patuhi protokol kesehatan
Meskipun Indonesia sudah menerapkan vaksinasi, ia sekali lagi menegaskan, untuk bisa membuat pandemi Covid-19 ini terkendali tidak bisa hanya mengandalkan vaksin. Lebih dari itu, sekalipun proses vaksinasi sudah dijalankan tapi juga tetap harus mengikuti dan mematuhi aturan protokol kesehatan yang ketat.
"Pemerintah juga tetap harus menjalankan langkah-langkah 3M (mencuci tangan, menjaga jarak, dan memakai masker) itu. Sebab tantangan ke depan adalah soal vaccine effectiveness atau perlindungan vaksin di lapangan. Utamanya adalah kendala cool change atau proses pembawa vaksin di lapangan itu," terang Syahrizal.
"Karena vaksin harus terlindungi dari kerusakan dalam proses membawanya. Untungnya Sinovac ini, kita hanya membutuhkan wadah memiliki suhu dua sampai delapan derajat celcius. Itu adalah wadah yang biasa kita gunakan untuk vaksin-vaksin program nasional," lanjutnya.
Tetapi ketika pada April hingga Mei nanti, ketika pemerintah mendatangkan vaksin Pfizer akan menghadapi problem yang besar. Sebab vaksin Pfizer membutuhkan wadah yang memiliki suhu minus 70 derajat celcius. Sedangkan vaksin dari Astrazenecca sama dengan Sinovac yakni membutuhkan wadah bersuhu dua sampai delapan derajat celcius.
"Sekali lagi menurut saya, itulah (vaksinasi) salah satu jalan kita untuk mengendalikan wabah. Tapi vaksinasi bukan satu-satunya faktor penentu pengendalian wabah. Kita tetap harus menjaga 3M," terangnya.
Vaksinasi perdana pemerintah
Dikutip dari situs resmi Presiden RI, pada sesi perdana vaksinasi pagi tadi turut serta sejumlah perwakilan dari berbagai latar belakang. Di antaranya adalah Rais Syuriyah PBNU KH Ahmad Ishomuddin atau Gus Ishom, Sekretaris Umum MUI Pusat Amirsyah Tambunan, Ketua Umum PB IDI Daeng Mohammad Faqih, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis, dan perwakilan milenial Raffi Ahmad.
Untuk diketahui, selain enam orang di atas, sejumlah perwakilan juga tampak hadir pada vaksinasi pertama dalam sesi-sesi setelahnya. Beberapa di antaranya adalah Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi, perwakilan Kristen Protestan (PGI) Ronald Rischard Tapilatu, perwakilan Katolik (KWI) Romo Agustinus Heri Wibowo, perwakilan Hindu (PHDI) I Nyoman Suarthani, dari Buddha Partono Nyanasuryanadi, dan dari Konghucu (MATAKIN) adalah Peter Lesmana.
Kemudian ada Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito, Ketua Kadin Rosan Perkasa Roeslani, Sekjen Ikatan Bidan Indonesia Ade Zubaidah, Ketua Umum DPP PPNI Harif Fadhillah, perwakilan perawat Nur Fauzah, Wasekjen PP Ikatan Apoteker Indonesia Lusy Noviani, perwakilan buruh Agustini Setiyorini, perwakilan pedagang Narti, dan Jubir Satgas Covid-19 Prof Wiku Adisasmito beserta dr Reisa Asmo Subroto.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua