Nasional

Wakil Rais 'Aam PBNU Jelaskan 6 Hal yang Harus Dikuasai Pembimbing Haji

Kamis, 7 September 2023 | 21:30 WIB

Wakil Rais 'Aam PBNU Jelaskan 6 Hal yang Harus Dikuasai Pembimbing Haji

Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Anwar Iskandar dalam Upgrading dan Sertifikasi Uji Kompetensi Pembimbing Ibadah Haji dan Umrah yang digelar PP Fatayat NU di Gedung PBNU, Jakarta, Kamis, (7/9/2023). (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Anwar Iskandar menyatakan, ada beberapa aspek di dalam ibadah haji yang mesti dikuasai, terlebih bagi pembimbing. Keenam aspek itu adalah niat, ilmu (manasik), akhlak, kesehatan, penguasaan teritorial dan administrasi serta fasilitas.


“Minimal keenam aspek ini, hal-hal yang harus dipahami oleh setiap kita, terutama kita, misalnya, sebagai penyelenggara,” ungkap Kiai Anwar, dalam Pembukaan Upgrading dan Sertifikasi Uji Kompetensi Pembimbing Ibadah Haji dan Umrah yang digelar PP Fatayat NU di Gedung PBNU, Jakarta, Kamis, (7/9/2023).


Lebih lanjut, Pengasuh Pesantren Al-Amien, Ngasinan, Kediri, Jawa Timur, itu menjelaskan beberapa aspek tersebut di depan kurang lebih 100 kader Fatayat berserta IPPNU yang hadir.


Pertama, niat. Menurut Kiai Anwar, Al-Qur’anul Karim mengajarkan kepada kita bahwa haji itu harus berbasis libtighai wajhillah, hanya untuk mencari ridla Allah SWT. 


“Al-Qur’an mengatakan, wa atimmul hajja wal ‘umrata lillaah (QS. Al-Baqarah: 196). Ini fiil amar, ini perintah. Dan sempurnakanlah haji dan umrahmu lillah, hanya karena Allah saja. Ini hal penting yang harus ditanamkan kepada jamaah kita,” ungkapnya.


Alumnus Lirboyo itu menyebut, ketika orang sudah memiliki basis lillah, pertama, dia tidak akan tergoda oleh hal-hal lain yang tidak ada hubungannya dengan ridla Allah. Kedua, di sana nanti ketika menghadapi cobaan, risiko, hambatan, dan segala macam hal-hal yang tidak enak, dia akan sabar.


Kedua, ilmu (manasik). Kiai Anwar menjelaskan, bahwa di dalam ibadah haji ada ihram, thawaf, sai, wukuf, mabit, ramyul jamarat, thawaf qudum, thawaf ifadhah, thawaf wada’, dam, dan lain-lain, yang semua itu aspek-aspek ilmu yang musti dipahami oleh pembimbing.


“Alangkah naifnya kalau pembimbingnya sendiri tidak memahami tentang aspek ilmu ini. Oleh karena itu harus matang, harus ada pematangan betul,” harapnya.


Kiai kelahiran 24 April 1950 itu menyebut, jika sudah bicara tentang manasik, tentang ilmu, kita akan menjumpai perbedaan-perbedaan pendapat yang bermacam-macam. “Di sana tentu kita ya jangan cari pendapat yang berat-berat. Untungnya jadi orang NU itu begitu, artinya banyak pilihan-pilihan. Kalau sekiranya pakai pendapat ini menimbulkan madlarat, ya kita bisa pakai yang lebih ringan,” ujar Kiai Anwar.


Ia mencontohkan, kalau memang dianggap berat sekali karena usianya sudah tua atau sakit, bisa tidak melontar jumrah daripada berdesak-desakan dan malah kena timpuk. “Mestinya nimpuk syetan malah nimpuk jamaah haji. Daripada begitu lebih baik tidak usah melontar jumrah, ramyul jamarat, tidak apa-apa, di hotel saja, karena dia tua atau kesehatan tidak memungkinkan. Bagaimana caranya? Ya bayar dam. Misalnya begitu,” terangnya.


Ketiga, terkait akhlak atau kebersihan hati, Kiai Anwar tak menjelaskan lebih jauh tentang hal ini.


Keempat, kesehatan. Kiai Anwar mengaku, ketika di Makkah beberapa waktu lalu, ia dengan tim mustasyar rapat dengan Menteri Agama dan merekomendasikan, antara lain, memaknai ulang istitha’ah (kemampuan) dalam Man istatha’a Ilahi sabiila (QS. Ali Imran: 97) yang selama ini dimensinya dimensi uang.


“Barang siapa yang sudah punya cukup uang, berarti istitha’ah. Kami mengusulkan, merekomendasikan agar menjadi usulan Kementerian Agama ke DPR RI sehingga menjadi undang-undang, agar dimensi atau ta’rif definisi istitha’ah itu tidak sebatas pada uang saja, tapi juga kesehatan,” ujar Kiai yang juga menjadi Ketua Umum MUI Pusat ini.


Ia mengusulkan, bagi orang yang sakit, karena usia, sakit fisik maupun non fisik, dimasukkan dalam hal tidak tidak mampu, oleh karena itu tidak usah berangkat. Tetapi, ia meminta agar masalah kesehatan ini tidak dijustifikasi di hilir, tapi di hulu. Artinya sejak di kabupaten sana, sejak di kota madya sana, sudah ada kerja sama antara Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan untuk menyeleksi jamaah kota madya atau kabupaten itu, antara yang sehat dan yang tidak. 


“Kalau memang pada waktu di kabupaten itu tidak sehat, ya sudah, dieliminir, atau diganti anaknya atau siapa, begitu. Sebab selama ini menjustifikasi tentang tidak sehat itu tidak di hulu, tapi di hilir. Ketika sudah di Pondok Gede, misalnya, baru dikatakan: ini tidak sehat. Akhirnya tidak boleh berangkat. Nah, kalau ini yang terjadi kan kasihan, di rumah kadung selamatan,” ujar Kiai Anwar.


“Sebab selama ini kesehatan itu tidak masuk dalam kriteria istitha’ah, dan padahal ini penting sekali. Gara-gara kesehatan ini tidak selektif, masyaallah kemarin itu, ada yang di pesawat minta turun,” imbuhnya.


Kelima, teritorial. Menurut Kiai Anwar, penguasaan segala aspek-aspek yang berhubungan dengan teritorial atau mengenai bagian wilayah (daerah hukum) suatu negara menjadi penting. Misalnya memahami tentang jalan, letak-letak di mana miqat, di mana thawaf, lantai 1, lantai 2, lantai 3, juga bantuan kursi dorong dan transportasi.


“Karena di sana itu ada transportasi shalawat, namanya, yang gratis. Tetapi ada jam-jamnya. Sebab kalau waktunya sudah ditutup, ya tidak bisa pakai bis shalawat, tapi harus bis biasa, regular, dan itu bayar,” ia mencontohkan.


Keenam, administrasi dan fasilitas seperti makan, minum dan lain sebagainya.


Kiai Anwar berharap, beberapa aspek ini perlu dimatangkan seluruh calon pembimbing, yang barangkali nantinya akan menjadi ujian kompetensi. “Tentu itu baru sebagian,” ujarnya.