Oleh Ferhadz Ammar Muhammad
Dasar dari agama adalah logika. (KH A. Wahid Hasyim)
19 April 2017 adalah sejarah duka bagi bangsa Indonesia dan warga NU. Salah satu sosok peletak batu pertama NKRI, yaitu Kiai Haji Abdoel Wachid Hasjim atau KH. A. Wahid Hasyim yang tepat enam puluh empat tahun yang lalu, 19 April 1953, berpulang ke Sang Hyang Widhi, setelah luka di kepalanya tidak mampu diatasi.
Sejujurnya maksud penulis mengangkat kembali Wahid Hasyim adalah fakta bahwa beliau yang notabene-nya menjadi penentu dan penengah di tiap kali perdebatan vital, sekaligus juga pembawa pesan Islam yang mencerdaskan, layak untuk direfleksikan minimal di tengah ketidakdewasaan berpikir akibat kegagapan demokrasi. Penulis katakan demikian tentunya beberapa pihak mengelak dengan pembelaan ‘kedewasaan demokrasi’. Pertanyaannya, bagaimana mungkin ada apologi seperti itu jika yang terjadi adalah saling klaim kebenaran dan justifikasi kesalahan pihak lain? Bukankah dalam demokrasi Indonesia akal sehat dan etika-moral harus menjadi panglima di atas kebebasan–sebagaimana Wahid Hasyim menegaskan?.
Duka Sejarah
Apabila hari melalui daku, dan aku tidak berbuat jasa atau tidak menambah pengetahuan, maka apakah arti umurku bagi hari itu? (KH. A. Wahid Hasyim)
Sabtu siang tanggal 18 April 1953, mobil Chevrolet yang akan mengantarkan penumpangnya-terdiri dari empat orang, yakni sopir dan si kecil Abdurrahman di tempat duduk depan, dan Mantan Menteri Agama bersebelahan dengan Argo Sucipto (Sekretaris PBNU) di belakang-untuk menghadiri acara Nahdlatul Ulama di Sumedang melaju kencang dari arah Jakarta di jalan antara Cimahi dan Bandung. Di tengah perjalanan, hujan lebat mengguyur sepanjang jalan di daerah Cimindi itu dengan rintikan yang berbeda, seakan memberikan pertanda. Gesekan terus-menerus dengan jalan yang licin mengakibatkan ban Chevrolet selip dan susah untuk dikendalikan. Dari arah lain, terdapat truk milik sipil yang melintas. Sopir truk yang melihat mobil Chevrolet selip di depannya, menghentikan laju truk untuk menghindari kemungkinan adanya benturan. Namun naas, takdir Tuhan berkata lain. Sisi belakang mobil menghantam keras truk hingga mengakibatkan dua penumpangnya terpental keluar, terperosok di bawah badan truk.
Demikian cerita singkat saat Indonesia benar-benar harus merasa kehilangan putra terbaiknya. Tetesan darah yang keluar dari kepalanya adalah bukti membuminya gagasan penting mengenai usulan kalimat ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’–menurut pendapat Masdar F. Mas’udi, Wahid Hasyim-lah yang mengusulkan perubahan itu. Sosok yang terlibat merumuskan tatanan baik bagi keberlangsungan republik harus pamitan di tengah ragam persoalan. Putra ulama yang paling dihormati di seluruh tanah Jawa-Madura itu telah diminta oleh Yang Maha Esa untuk segera meninggalkan dunia fana.
Gagasan Demokratis
Tiap-tiap Muslim adalah demokratis (KH. A. Wahid Hasyim)
Wahid Hasyim dalam salah satu tulisannya di Maret 1953, menguraikan catatan-catatan penting yang tampaknya juga berlaku dewasa untuk demokrasi kini. Pertama, partisipasi masyarakat. Sejak zaman dulu, persoalan partisipasi aktif menjadi hal yang paling disoroti. Beberapa tokoh menyadari bahwa partisipasi masyarakat menjadi barometer kedewasaan bernegara yang musti didongkrak. Bahkan– menurut Wahid Hasyim–penggunaan dalil agama pun perlu digunakan agar masyarakat terpanggil memberikan suaranya–sesuai konteks masyarakat saat itu yang illiterate. Meski demikian, budaya partisipatif tidak akan bisa melonjak naik jika persoalan pemilihan umum dipandang hanya sebatas insidentil, seremonial, dan prosedural belaka. Perlu adanya pembasisan paham demokrasi total yang lebih mengedepankan substantif (nilai-nilai) atau asas-asas utama, seperti pemahaman sistem politik, penyampaian pendapat secara terbuka, kontrol terhadap kekuasaan, dll.
Kedua, keniscayaan intimidasi dan teror. Akibat dari belum totalnya pemahaman masyarakat terhadap demokrasi Indonesia sebab politisi dan pemerintah malas mendidik, maka tatkala ada persoalan yang seakan mengancam eksistensinya, masyarakat terkadang menggunakan jalan bar-bar. Termasuk intimidasi juga adalah ancaman kepada lawan dengan menggunakan label kesesatan. Wahid Hasyim menulis: “Dalam keadaan meluapnya semangat mengafirkan lawan dan mengecapnya bukan warga negara atau pengkhianat bangsa sebagai tersebut di atas, mudah sekali teror timbul, terutama teror yang ditimbulkan oleh kaki tangan asing (entah Arab entah Barat) yang ingin mengacaukan negara kita.” (penambahan kata di dalam kurung dan cetak tebal dari penulis sesuai singgungan di tulisan Wahid Hasyim yang lain).
Ketiga, ideologi dan kepentingan. Tulisan Wahid Hasyim berjudul Akan Menangkah Umat Islam Indonesia dalam Pemilihan Umum yang akan Datang? menegaskan pentingnya basis ideologi yang diemban setiap golongan atau partai. Bahkan beliau menandaskan tidak ada salahnya menggunakan indikator–kewajiban–agama untuk memetakan massa ideologisnya. Itu semua dimungkinkan sebab konteks Indonesia awal yang benar-benar membutuhkan akumulasi dan identifikasi massa berdasar ikatan ideologi dan keagamaan. Bagaimana dengan sekarang?
Dalam konteks saat ini, yang terpenting untuk disanjung adalah cita-cita sosial bersama seluruh rakyat, bukan ideologi golongan yang kini syarat dengan monopoli kepentingan–setidaknya seperti kegelisahan F. Budi Hardiman. Namun bukan berarti ideologi tidak penting. Penulis meyakini bahwa ideologi sangat dibutuhkan sebagai prinsip gerakan agar individu maupun kelompok itu tak hanya sliweran. Akan tetapi penulis insyaf jikalau ideologi, terutama aliran keagamaan, membutuhkan pendidikan dan pembasisan, bukan dikoar-koarkan saat kepentingannya di ujung tanduk. Bahkan terkait itu, Wahid Hasyim dengan tegas menolak ‘obral agama’ yang digalakkan sebagai strategi kemenangan partai. Bagi beliau, silahkan partai melakukan manuver keagamaan sekalipun, asal tetap mendasarkan logikanya pada mabadi’ atau prinsip-prinsip ra’iyah (kerakyatan). Yang penting bagi umat Islam dalam pemilihan umum ialah kemenangannya prinsip-prinsip Islam, bukan kemenangan partai-partai Islam. (KH. A. Wahid Hasyim)
Akhirnya hal yang patut dipahami dari sosok Wahid Hasyim dalam sistem demokrasi ini–terutama untuk nanti pascapemilu–adalah beliau tidak segan mendorong rakyat untuk berani menyatakan kebenaran di hadapan pemerintah. Ia dengan fasih mendasarkan prinsip argumentatifnya pada sabda Nabi Muhammad SAW, yakni An-naasu ‘alaa dieni mulukihim (bahwasanya rakyat umum, adalah mengikuti jejak pembesar-pembesarnya). Itu berarti jika pemimpin negara buruk, maka rakyat yang pada prinsipnya menginginkan kebaikan dan keadilan sosial harus memaksa pemimpin agar memperbaiki perilaku birokratisnya. Dari pada itu, Wahid Hasyim telah mengimplementasikan suatu kaidah fiqih yang sangat terkenal mengenai kepemimpinan, yakni tasharruful imam ‘alarra’iyyah manuthun bil maslahah (kebijakan pemerintah mustilah berdasar pada kebaikan rakyat).
Penulis adalah anggota Senat Studies Center UIN Sunan Kalijaga