Oleh: Munawir Aziz
Kongres ke-XV Gerakan Pemuda Ansor yang berlangsung di Pesantren Pandaran Yogyakarta, menjadi catatan penting bagi regenerasi pemuda nahdliyyin. Kongres yang berlangsung pada 25-28 November 2015 ini, menjadi momentum untuk menghadirkan semangat baru bagi Ansor dan organ paramiliternya, Barisan Serba Guna (Banser).
<>
Selama ini, Ansor dan Banser memberikan sumbangsih besar tidak hanya terhadap pesantren dan Nahdlatul Ulama, akan tetapi juga kepada Indonesia.
Ansor dikenal sebagai organisasi pemuda di bawah Nahdlatul Ulama, yang konsisten melahirkan kader-kader profesional. Kader-kader Ansor menjadi politisi, dosen, pengusaha dan tokoh-tokoh kunci pemuda di beberapa daerah. Semangat kader Ansor tidak lepas dari ide dasar pendirian Ansor, yakni untuk menjaga NU dan NKRI. Selain itu, Banser telah menjadi tulang punggung dalam skema paramiliter yang berkontribusi menjaga perdamaian, harmoni dan hubungan antar agama. Pasukan Banser beberapa kali menjamin keamanan warga agama lain, ketika terjadi perayaan Hari Raya di Gereja, Klenteng, Vihara dan rumah ibadah lainnya. Inilah peran penting Banser, yang menjadi penyeimbang demokrasi dari ancaman kelompok militan radikal ormas keagamaan saat ini.
Verena Beittinger-Lee dalam (Un)-Civil Society and Political Change in Indonesia (2013: 182-3) mencatat bahwa Ansor dan Banser, sebagai organ pemuda militan di bawah Nahdlatul Ulama, berkontribusi penting dalam menyeimbangkan demokrasi dengan cara yang khas. Meski seringkali dianggap membingungkan, Lee mengungkap bahwa kontribusi Banser dalam menjaga para kiai serta menjamin keharmonisan antara agama, dengan menjaga perayaan natal di beberapa gereja menunjukkan konsistensi dalam membela bangsa.
Peran Strategis Ansor
Dalam sejarahnya, Ansor dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama (NU) dari kepungan konflik internal serta tuntutan kebutuhan alamiah. Konflik ini berawal dari ketegangan antara kelompok tradisional dan modern di dalam tubuh jam'iyyah (organisasi) Nahdlatul Wathan, organisasi keislaman yang diinisiasi kiai pesantren. Nahdlatul Wathan, yang dikembangkan oleh Kiai Wahab Chasbullah, pada awalnya dibentuk untuk untuk menggerakkan para santri untuk cinta tanah air, lewat pendidikan, pergerakan dan perjuangan. Nahdlatul Wathan, pada dasarnya menjadi akar berdirinya Nahdlatul Ulama, yang sejalan dengan konsep Tashwirul Afkar dan Nahdlatut Tujjar. Pada saat itu, KH Wahab Chasbullah dan KH Mas Mansyur menempuh jalan yang berbeda, akibat perbedaan prinsip tradisionalisme dan modernisme.
Dua tahun setelahnya, yakni pada 1924, para pemuda yang berada di balik Kiai Wahab Chasbullah, membentuk Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air). Organisasi inilah, yang menjadi cikal bakal dari Gerakan Pemuda (GP) Ansor. Organisasi ini, pada perkembangannya mengalami pergantian nama: Persatuan Pemuda NU (PPNU), Pemuda NU (PNU), dan Anshoru Nahdlatul Oelama (ANO). Kiai Wahab Chasbullah menyarankan nama "Ansor", untuk ngalap berkah dari kisah Nabi Muhammad Saw, yang memberikan nama itu kepada penduduk Madinah yang membantu penduduk Makkah ketika peristiwa hijrah.
Kemudian, pada 24 April 1934, tepatnya pada Muktamar ke-9 Nahdlatul Ulama, ANO ditetapkan dan disahkan sebagai departemen pemuda NU. Pada masa awal, ANO dikomando oleh HM. Thohir Bakri (Ketua), Abdullah Oebayd (Wakil Ketua), H. Achmad Barawi dan Abdussalam (Sekretaris). Ketika penjajahan Jepang di negeri ini, 1942-45, organisasi-organisasi pemuda diberangus karena kepentingan politik. Jepang lalu membentuk barisan pertahanan militer, misalnya Hizbullah yang dikomando KH. Zainul Arifin. Sayap gerakan politik pemuda ditumpulkan, lalu dibentuk organ militer sebagai strategi pertahanan Jepang untuk menghadapi Perang Dunia II.
Pada 23 Oktober 1945, Ansor ikut rapat bersama Rais Akbar Nahdlatul Ulama, Hadratus Syaich Hasyim Asy'arie, di kawasan Bubutan, Surabaya. Rapat penting ini, membahas tentang seruan jihad melawan penjajah menduduki wilayah Jawa Timur. Peristiwa inilah yang kemudian dicatat sejarah sebagai Resolusi Jihad NU, yang memompa semangat para santri dan pemuda untuk berjuang melawan penjajah pada 10 November 1945.
Selepas revolusi kemerdekaan, pada 14 Desember 1949, atas usulan tokoh ANO Surabaya, Moh. Chusainy Tiway, organisasi ini dibangkitkan kembali dengan nama Gerakan Pemuda Ansor. Kiai Wahid Hasyim, yang saat itu menjadi Menteri Agama Republik Indonesia Serikat menyambut baik ide tersebut.
Ansor dan Bela Negara
Narasi sejarah Ansor dan Banser jelas menunjukkan konsistensi dalam membela negara. Prinsip mengawal NU dan mempertahankan NKRI menjadi referensi berpikir, bersikap dan bertindak kader Ansor, sesuai dengan karakter para kiai pejuang, khususnya Kiai Wahab Chasbullah.
Pada titik ini, jelas apa yang dilakukan oleh Ansor dan Banser menjadi bagian dari "Bela Negara", bahkan "Bela Bangsa". Program Bela Negara yang dikampanyekan Kementrian Pertahanan, telah dilakukan oleh para santri dan kader Ansor dalam pelbagai kurun sejarah. Mereka membela bangsa dan negara tidak hanya dari perbicangan, namun dalam hati, sikap sekaligus tindakan.
KH. Yahya Cholil Staquf (Katib 'Am Syuriah PBNU) dalam sebuah kesempatan berbincang dengan penulis, menyampaikan bahwa Nahdlatul Ulama, didirikan dengan tujuan untuk menghadirkan kebaikan dan kemerdekaan di negeri ini, "Listishlahi Indunisiyya". Dalam artian, para pendiri sekaligus pejuang NU tidak hanya menjadikan organisasi untuk kepentingan politik maupun golongan, namun untuk kepentingan bangsa Indonesia. Inilah, menurut Gus Yahya, apa yang dilakukan Banser ketika menjaga Gereja dan rumah ibadah di pelbagai tempat, dalam rangka menjaga bangsa Indonesia.
Saat ini, peran Ansor dan Banser sudah sangat strategis bagi perkembangan sosial-politik di negeri ini. Kader-kader Ansor sudah sangat militant dan memiliki wawasan global, serta mampu menjadi penggerak (muharrik) dalam lingkaran masing-masing. Untuk itulah, Ansor dan Banser harus kembali mengaji khazanah keilmuan pesantren, dengan akhlak dan mental santri. Secara intelektual, kader Ansor dan Banser harus mensinergikan dengan peta kompetisi geo-politik dan geo-strategis saat ini. Hal ini penting, untuk menghadirkan kemandirian politik, kemandirian ekonomi dan kemandirian organisasi.
Kongres XV GP Ansor kali ini, membangkitkan semangat 'al-'audah ila al-ma'had, ila al-pesantren'. Semangat kembali ke pesantren ini, menjadi langkah strategis di tengah tampilnya Islam Nusantara sebagai diskursus dan Hari Santri sebagai monumen sejarah perjuangan warga nahdliyyin[].
*Munawir Aziz, Kader Ansor dan Pengurus LTN PBNU, Koordinator Teraju Indonesia.
Terpopuler
1
Kolaborasi LD PBNU dan LTM PBNU Gelar Standardisasi Imam dan Khatib Jumat Angkatan Ke-4
2
LAZISNU Gelar Lomba dengan Total Hadiah Rp69 Juta, Ini Link Pendaftarannya
3
Cara Wudhu di Toilet agar Tidak Makruh
4
Gus Yahya Ceritakan Awal Mula Kiai Ali Maksum Merintis Pengajian Kitab di Pesantren Krapyak
5
Hukum Gugat Cerai Suami karena Nafkah Batin
6
Hukum Khatib Tidak Berwasiat Takwa dalam Khutbah Kedua
Terkini
Lihat Semua