Opini

Arti Sebuah Wiridan Mbah Ali 2 (Habis)

Selasa, 25 September 2012 | 17:06 WIB

Sosok Mbah Ali Maksum dalam prosesnya ditempa dengan keketatan kesantrian pesisiran. Saat mengaji di Lasem-Rembang, Semarang, Pekalongan, Tremas Pacitan, jelas dari sosok para guru beliau telah dibiasakan dengan tradisi santri yang memandang, shalat tidak lengkap tanpa membaca dzikir dan doa sesudahnya. 

<>

Bahkan bukan hanya wiridan ‘generik’ seperti catatan wiridan tersebut, para kiai ‘menghiasi' dan 'mempersenjatai’ diri sendiri, dengan berbagai bacaan-bacaan wirid atau dzikir yang lain.

Memang jelas semua tahu bahwa bacaan dzikir dan doa setelah shalat tidak wajib dibaca. Istilahnya sunnah, dibaca berpahala, tidak tak mengapa. 

Merujuk pada sejarah periwayatan dan Adab Syar’iyyah, ada banyak periwayatan mengenai dzikir yang dibaca atau diajarkan oleh Kanjeng Nabi shallallahu’alaihi wasallama yang didengar oleh sahabat-sahabatnya. Kadang ia membaca bacaan ini, terkadang oleh sahabat yang lain diriwayatkan Nabi membaca bacaan itu. Nabi terkadang membaca dengan cara lirih, kadang --dan inilah karenanya sampai kepada kita-- Nabi membaca keras dan dapat terdengar oleh sahabat. 

Para ulama sesudahnya menyimpulkan, bahwa riwayat berbagai bacaan wirid yang ada ini sebaiknya dibaca dan diajarkan, sebagaimana Nabi membaca dan mengajarkannya.

Urutan, panjang, dan cara pembacaannya yang kadang saat ini membikin kegaduhan beragama menurut para ulama termasuk dalam hal yang al-maskut ‘anhu. Masing-masing bacaan tersebut dibaca sesudah shalat, ada riwayatnya, tapi prosedur tetap dan “paket kemasannya" memang tidak ada. Tidak adanya riwayat yang menyatakan Nabi selalu membaca ini setelah membaca itu bukan berarti Nabi tidak melakukan secara tertib dan melanggengkannya. 

Artinya ketiadaaan tata cara baku seperti ini bukan berarti tidak boleh dilakukan, namun justru hal ini dipahami sebagai bentuk keleluasaan bagi umat Islam dan juga di pihak lain memberi ruang bagi kompetisi dalam kebajikan.

Dalam bacaan dzikir mirip sebagaimana doa, yang ma’tsur adalah pokok (al-ashlu), tetapi para ulama tidak membakukan dan membatasinya hanya melulu bacaan yang ada dalam riwayat hadits. Yang dilakukan para ulama selain mengajarkan yang al-ashlu tadi adalah membuat rambu-rambu dan merumuskan adab-adab, tata krama dalam berdzikir dan berdoa, yang disarikan dari pemahaman sejumlah riwayat dan ajaran dari Rasulullah. 

Pernah suatu ketika seorang sahabat --ada yang menyebut orang pedalaman gurun/ Badui, ada yang menyebut Sahabat Bilal-- ditanya oleh Nabi, “Sampeyan berdoa apa sewaktu shalat?” 

“Wahai Rasulallah”, jawab orang itu, “Saya memang tidak bisa seperti komat-kamit Panjenengan dan juga komat kamit Sahabat Muadz (yang suatu ketika bacaannya dalam shalat panjang). Tapi aku memohon kepada Allah dengan dua doa.” 

“Lalu apa yang kamu ucapkan?” tanya Nabi. 
"Aku berdoa 'Ya Allah aku memohon kepadaMu surga, dan aku berlindung kepada-Mu dari neraka', اللهم إني أسألك الجنة وأعوذبك من النار," jawab Muadz.
“Ya,” sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “sekitar hal itu kita komat-kamit berdoa”.

Para ulama menyimpulkan, kalau yang demikian ini dapat terjadi di dalam shalat, bacaan doa dan bacaan kalimah tayyibah sebelumnya tentu di luar shalat lebih ada keleluasaan. 

Imam Syafi’i rahimahullah sendiri terkenal dengan doa ‘karangan’ beliau sendiri:

 Ø§Ù„لهم إني أسألك اللطف فيما جرت به المقادير, 

"Ya Allah sungguh aku memohon perlakuan penuh kelembutan dalam taqdir-taqdir yang terjadi."

Begitu pula, kalau hal yang seperti ini terjadi pada masa Nabi (masa salaf), apalagi di zaman sekarang. Umat memerlukan panduan guna memenuhi dahaga spiritual, bimbingan yang menerangi demi kebaikan di dua kehidupan, namun itu dibawakan oleh para ulama dengan keramahan. Yang dilakukan Mbah Ali dan kiai-kiai pada umumnya adalah bentuk tanggungjawab sekaligus bersikap sayang dan ‘ngemong’ kepada umat. 
Sekalipun diri pribadi mereka ditempa dengan disiplin dan standar tinggi, namun ketika dihadapkan dengan kenyataan di masyarakat yang sering tidak ideal, para kiyai mengajarkan kepada ummatnya dengan hal yang secara umum dapat dilaksanakan dan dipikul, sebisanya.
***

Ada cerita begini. H Djoeraidjoen almarhum, adalah seorang pegawai senior Bulog asal Madura di Yogyakarta tahun 80-an. Pejabat biasa, yang hidup berkecukupan dengan keluarganya yang mriyayi di Jogja. Ketika kemudian ia meninggal, jenazahnya diantar dan ramai dikerubut banyak orang. Juga, tak lama setelah wafat, berbagai baju bekasnya, Mbah Ali Maksum rahimahullah berkenan memakainya, sehari-hari! 

Bukan ulama kiai, namun setelah meninggal kadang dalam kesempatan pengajian beliau dengan tema tertentu, orang ini dulu disebut-sebut sebagai contoh. Bagaimana bisa begitu hebatnya? Apa hubungannya dengan bacaan wiridan?

Mungkin karena Mbah Ali sering diundang untuk mengaji di luar pesantren oleh berbagai kalangan, mungkin juga karena yang lain, tidak banyak yang tahu. Yang jelas ia kenalan dengan Mbah Ali dan lalu sering ke Pondok Krapyak, meminta waktu mengaji langsung dan konsultasi agama. Terkadang pula Mbah Ali dan para santri diundang untuk tahlil atau buka bersama di rumahnya. Santri yang disuruh ikut waktu itu selalu bersemangat, karena dijemput kendaraan yang bagus, dan terutama, makanannya lengkap, dan enak.

Sebab adanya, raison d’être, catatan teks wiridan tulisan Mbah Ali, langsung tidak langsung karena Haji Juraijun ini. Dalam suatu kesempatan, ia bertanya kepada Mbah Ali mengenai bagaimana shalat yang baik dan bacaan-bacaan apa-apa yang lebih menyempurnakan shalat, termasuk apa saja yang dibaca setelah shalat. 

Untuk pertanyaan yang terakhir ini oleh Mbah Ali Allah yarhamuh bacaan wiridan seperti di atas lalu dituliskan ulang dengan diterangkan inilah bacaan yang biasa diamalkan oleh para kiyai dan kaum muslimin selama ini dan memiliki sandaran riwayat ma’tsur yang kuat. Para santri setelah catatan jadi dan fotokopiannya dibagi-bagi lalu diminta menyalin sendiri kemudian menyorogankan (membaca di hadapan guru) bacaan wiridan ini kepada beliau.

Kemapanan material bagi setiap manusia sebenarnya memendam di balik itu kerinduan pada kenyamanan batiniyah, karena hidup, tak bisa dibohongi, memerlukan keseimbangan lahir batin. Kalaupun kemudian seseorang memiliki kecenderungan untuk mendalami agama dan mendekati Tuhan, belum tentu itu dilakukan dengan cara dan hasil yang istimewa. Apalagi di lingkungan majemuk seperti di Jogja. Bisa orang kemudian tetap menjadi -istilah sekarang; sekuler, dengan mengakrabi berbagai bentuk spiritualitas semu dan sinis dengan keberagamaan. Ada pula yang terjebak dalam beberapa orientasi keislaman puritanistik yang malah kemudian justru menjadi skeptis-sarkastis terhadap tradisionalitas. Berbagai kekayaan dan keindahan batiniyah tetap tidak tereguk.

Mudah bagi Haji Juraijun tentu untuk mendapatkan dan ‘menghabisi’ ratusan buku agama, tapi ia tahu, ilmu agama diambil dari orang, bukan buku. Kalaupun dalam dunia penyembuhan fisik banyak dijual obat-obatan dan buku penyembuhan, orang tetap saja perlu ke dokter, bukan ke apotek atau kios buku. Kebeningan dan kecerdasan ‘memanah’ hidayah Allah ini ditindaklanjuti dengan mencari dan bergaul dengan kiai. Pelan-pelan ia belajar dan menjaga hubungan dengan guru agar terus “terpapar radiasi” religiusitas. Sikap bertatakrama dan peka lingkungan inilah yang menjadi ‘ragi’ dan ‘enzim’ yang tepat membantu percepatan tumbuh kembang spiritualitas jiwanya.

Begitulah, yang demikian terus dijalani Haji Juraijun. Tidak sampai bertahun-tahun hal seperti ini berlangsung, hingga orang-orang kemudian mendengar persis saat itu di Hari Jum’at Bulan Ramadlan, ia meninggal dalam keadaan bersujud saat shalat. Rahimahullahu rahmatan wasi’ah. (H. Afif Muh. Hasbullah, MA, Pengasuh Pesantren Krapyak, Jogjakarta)