Opini

Belajar Menulis dari Imam Al-Ghazali

Sabtu, 22 April 2017 | 11:31 WIB

Oleh  Ahmad Yahya
Menulis tidak selamanya memberikan informasi atau tidak sekadar menyampaikan pendapat kepada khalayak, tetapi menulis juga bisa menjadi sebuah seni untuk meyakinkan pembaca dan sekaligus meneguhkan sebuah kreasi dari seni berkata-kata. Menulis juga bisa menjadi media dakwah dan perjuaangan untuk menanamkan nilai-nilai yang luhur kepada sesama ummat manusia. 

Salah satu unsur keindahan dari sebuah tulisan adalah mengedepankan kata-kata yang serupa dengan syair-syair yang menyentuh hati, tapi relevansi kalimat, argumentasi logis, kesinambungan paragraf, juga merupakan bagian dari unsur seni. Tulisan juga bisa menjadi kepuasan tersendiri bagi si penulis ketika keindahan tulisan sudah dinikmati, maka di sana pulalah anugerah dan kenikmatan dari tuhan hadir. 

Banyak sekali tokoh dunia yang menginspirasi dan memberikan inspirasi tentang tulisan-tulisan dan karya-karya yang dihasilkan. Salah satunya tokoh dunia dan sekaligus ularma besar itu adalah Imam Al-Ghazali. Beliau diakui dunia sebagai penulis sekaligus ulama yang hebat, dengan hasil karya kelilmuannya tersebut ternyata sampai saat ini diakui tetap relevan untuk menjadi rujukan keilmuan dan inspirasi oleh siapa saja yang menginginkannya.

Saat ini begitu mudah siapapun mempublikasikan hasil karya tulisan yang dihasilkannya, tetapi jauh dari zaman Imam Al-Ghazali, keterbatasan akan mempublikasikan hasil karya yang dihasilkan sulit sekali untuk mempublikasikannya. Kepercayaan akan nilai-nilai luhur yang dihasilkannyalah yang membuat setiap hasil karya Imam Al-Ghazali sampai saat ini tetap langgeng dan relevan. Tetapi justru kemudahan saat inilah yang harus menjadikan kita untuk semangat belajar menulis seperti apa yang sudah di teladankan oleh ulama besar Imam Al-Ghazali.

Sebuah tulisan dari Imam Al-Ghazali yang selalu terngiang dibenak penulis sekaligus menjadi sebuah motivasi besar bagi kita semua adalah ”Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis”. Menurut penulis kalimat tersebut bukan hanya sebuah kalimat biasa yang hanya disampaikan oleh beliau Imam Ghazali berkaitan dengan status dan kedudukan, tetapi jauh lebih dari itu Imam Al-Ghazali memberikan motivasi yang lebih jauh dan mendalam untuk mendidik generasi penerus umat untuk melestarikan dan mengarsipkan setiap apa yang dipikirkan kemudian ditulis, supaya generasi-generasi selanjutnya bisa melanjutkan dakwah agama ini lewat tulisan dan disampaikan secara apik dan benar. 

Imam Al-Ghazali tidak hanya dikenal sebagai intelektual multidimensi dengan penguasaan ilmu multidisiplin, tetapi beliau juga dikenal dengan hujjatul islam (pembela Islam), juga alim al-ulama (doktor keislaman) dan warits al-anbiya (pewaris para Nabi). 

Sebagai tokoh sekaligus ulama besar, Imam Al-Ghazali mempunyai tulisan-tulisan yang cukup banyak antara lain; Ali al-Jumbulati, Al-Washiti , Musthofa Ghollab, Al-Subki, Thasy Kubro Zadah. Periodesasi kronologis penulisan karya karya Imam Al Ghazali secara garis besar dibagi menjadi dua (2 ; Periode Baghdad dan sebelumnya, serta periode pasca-Bagdad sampai meninggal. 

Karya tulis yang dihasilkan pada periode Baghdad dan sebelumnya adalah: Mizan al-‘Amal, al-‘Iqtisad fi al-I’tiqad, Mahkan Naza fi al-Manthiq, al-Musfazhiri fi al-Rad ‘ala al-Batiniyyah, Hujjat al-Haq, Qawasim al-Batiniyyah, Jawab Mafsal al-Khilaf, al-Durj al-Marqum bi al-Jadawil, Mi’yar al-‘Ilmi, Mi’yar al-‘Uqul, Maqasid al-Falasifah,Tahafut al-Falasifah, al-Mankhul fi al-Ushul, al-Basit, al-Wasit, al-Wajiz, Khulasaf al-Mukhtasar, Qawa’id al-Qawa’id, ‘Aqaid al-Sughra, Ma’khaz al-Khilaf, Lubnab al-Nazar, Tahsin al-Ma’khadh, al-Mabadi wa al-Ghayat, Muqaddamat al-Qiyas, Shifa al-Ghali/’Alil fi al-Qiyas wa al-Ta’wil, al-Lubab al-Muntakhal fi al-Jidal dan Ithbat al-Nazar.

Adapun karya tulis yang dihasilkan periode pasca-Baghdad sampai meninggal adalah; al-Risalah al-Qudsiyyah, Ihya ‘Ulum al-Din, al-Rad al-Jami’ li Ilahiyat Isa bi Sharih al-Injil, Kimiya al-Sa’adah, al-Maqasad al-Asna fi Asma’ Allah al-Husna, al-Madnun bihi ‘ala Ghair Ahlih, al-Tibr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk, Bidayat al-Hidayah, Mafsal al-Khilaf fi Usul al-Din, Jawahir Al-Qur’an, al-Arba’in fi Usul al-Din, Asrar al-Ittiba’ al-Sunnah, al-Qistas al-Mustaqim, Asrar Mu’amalat al-Din, Faysal al-Tafriqah bayn al-Islam wa al-Zanadiqah, al-Munqiz min al-Dhalal, Qanun al-Ta’wil, al-Risalah al-Laduniyyah, al-Hikmah fi Makhluqat Allah, al-Mustasfa fi ‘ilmi al-Ushul, al-‘Imla ‘an Mushkil al-Ihya, Ma’arij al-Quds, Misykat al-Anwar, al-Darurah al-Fakhirah fi Kasyf ‘Ulum al-Akhirah, Mi’raj al-Saliqin, Tabliis Iblis, Ayyuha al-Walad, Kitab al-Akhlaq al-Abrar wa al-Najah min al-Shar, al-Gayah al-Quswa, Iljam al-‘Awam ‘an ‘Ilm al-Kalam dan Minhaj al-‘Abidin.

Jika diklasifikasikan sesuai dengan dengan bidang ilmu pengetahuannya, antara lain: teologi Islam (ilmu kalam), hukum Islam (fikih), tasawuf, filsafat, akhlak dan autobiografi. Sebagaian besar karangannya itu ditulis dalam bahasa Arab dan Persia. Kitab-kitab itu antara lain :

Pertama Karya Imam Al-Ghazali Bidang Teologi; Al-Munqidh min adh-Dhalal (penyelamat dari kesesatan) kitab ini merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Imam Al-Ghazali sendiri dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai Tuhan. Al-Iqtishad fi al-I`tiqad (modernisasi dalam aqidah). Al ikhtishos fi al ‘itishod (kesederhanaan dalam beri’tiqad). Al-Risalah al-Qudsiyyah. Kitab al-Arba'in fi Ushul ad-Din. Mizan al-Amal. Ad-Durrah al-Fakhirah fi Kasyf Ulum al-Akhirah.

Kedua Karya Imam Al-Ghazali Bidang Tasawuf; Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama), merupakan karyanya yang terkenal. menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama). Kitab ini merupakan karyanya yang terbesar selama beberapa tahun, dalam keadaan berpindah-pindah antara Damakus, Yerusalem, Hijaz, Dan Thus yang berisi panduan fiqih, tasawuf dan filsafat. Kimiya as-Sa'adah (Kimia Kebahagiaan). Misykah al-Anwar (The Niche of Lights /(lampu yang bersinar), kitab ini berisi pembahasan tentang akhlak dan tasawuf. Minhaj al Abidin (jalan mengabdikan diri terhadap Tuhan). Akhlak al Abros wa Annajah min al Asyhar (akhlak orang-orang baik dan kesalamatan dari kejahatan). Al Washit (yang pertengahan). Al Wajiz (yang ringkas). Az-Zariyah ilaa’ Makarim asy Syahi’ah (jalan menuju syariat yang mulia). 

Ketiga Karya Imam Al-Ghazali Bidang Filsafat; Maqasid al-Falasifah (tujuan para filusuf), sebagai karangan yang pertama dan berisi masalah-masalah filsafat. Tahafut al-Falasifah, buku ini membahas kelemahan-kelemahan para filosof masa itu, yang kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rusd dalam buku Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence).

Keempat Karya Imam Al-Ghazali Bidang Fiqih; Al-Mushtasfa min `Ilm al-Ushul. Al Mankhul Minta’liqoh al Ushul (pilihan yang tersaing dari noda-noda ushul fiqih). Tahzib al Ushul (elaborasi terhadap ilmu ushul fiqih). 

Kelima Karya Imam Al-Ghazali Bidang Logika; Mi`yar al-Ilm (The Standard Measure of Knowledge/ kriteria ilmu-ilmu). al-Qistas al-Mustaqim (The Just Balance). Mihakk al-Nazar fi al-Manthiq (The Touchstone of Proof in Logic). Al-Ma’arif al-Aqliyah (pengetahuan yang nasional). Assrar Ilmu Addin (rahasia ilmu agama). Tarbiyatul Aulad fi Islam (pendidikan anak di dalam Islam). 

Imam Al-Ghazali menggunakan bahasa dan metode yang berbeda dalam menulis sebuah kitab berdasarkan objek yang dihadapinya. Jika kitab itu ditulis untuk kalangan awam, maka bahasa dan metodenya berbeda dengan kitab yang ditulis untuk kalangan khawas, kalangan filosof, dan yang semisalnya. Karenanya, tidaklah mengherankan bila antara satu kitab dengan kitab lainnya yang ditulis Imam Al-Ghazali terdapat perbedaan-perbedaan.

Allah Swt. telah menurunkan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup seluruh manusia dengan berita, aturan-aturan juga pesan-pesan yang sempurna dan mecakup seluruh aspek kehidupan di dunia untuk mencapai keselamatan dunia dan akhirat. Allah Swt. tidak mungkin menurunkan sesuatu tanpa ada suatu pesan berarti di dalamnya, begitupun dengan Al-Qur’an.

Ayat dari Al-Qur’an yang pertama kali diwahyukan kepada Rasulullah SAW. adalah sebagai berikut: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan,” (1) “Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.” (2) “Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,” (3) “Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qalam (pena),” (4) “Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (5) (QS. Al-Alaq: 1—5).

Jika kita kaji lebih lanjut tentang ayat tersebut, betapa Allah Swt. menurunkan ayat tentang perintah membaca sebagai wahyu pertama itu menandakan pentingnya membaca sebagai landasan keilmuan bagi manusia. Saking pentingnya perintah membaca ini, malaikat Jibril mengulang ayat tersebut, Iqra, “Bacalah” sampai tiga kali kepada Rasulullah saw. sebagai penegasan. Padahal kondisi masyarakat saat itu sangat jauh dari budaya membaca dan menulis.

Padahal apapun yang berhubungan dengan keilmuan, kita ketahui bahwa semuanya tidak akan ada tanpa proses penalaran dan penelitian. Penalaran dan penelitian pun tidak akan berjalan tanpa proses membaca dan menulis. Penalaran dan perintah berpikir juga termaktub dalam Al-Qur’an dengan ayat-ayat yang mengisyaratkan hal tersebut, seperti pemakaian kata ulul albab “orang-orang yang berakal (berpikir)” dalam surat Ali-Imran ayat 7 : “......... Dan tidak dapat mengambil pelajaran (dari padanya) melainkan orang-orang yang berakal (berpikir)”. 

Adapun ayat lain yang mengisyaratkan kita untuk berpikir antara lain : “......., Hanyalah orang-orang yang berakal (berpikir) saja yang dapat mengambil pelajaran”(Q.S. Ar-Ra’d: 19). “(Al-Qur’an ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka mengetahui bahwasannya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa agar orang-orang yang berakal (berpikir) mengambil pelajaran”. (Q.S. Ibrahim : 52)

Hal-hal yang patut kita baca dan pikirkan tidak sebatas tulisan-tulisan saja, tetapi juga hikmah-hikmah dari berbagai kejadian, fenomena alam dan lain sebagainya yang banyak termaktub dalam ayat-ayat Al-Qur’an mengenai penciptaan alam semesta dan manusia beserta sistem yang berjalan atas seluruh ciptaan-Nya tersebut karena kita tahu perintah membaca dalam Al-Qur’an surat Al-Alaq ayat kesatu tersebut konteksnya tidak hanya berati membaca tulisan, tetapi membaca juga fenomena alam dan kejadian-kejadian yang terjadi.

Setelah proses membaca dan penalaran atau berpikir tersebut, Allah SWT. memerintahkan manusia untuk menulis. Isyarat mengenai menulis ini diungkapkan dalam surat Al-Alaq ayat ketiga yang berbunyi “Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam (pena),”. Bahkan Allah SWT., bersumpah “Nun, demi Qalam (pena) dan apa yang mereka tulis” dalam surat Al-Qalam ayat kesatu. Hal ini juga mengisyaratkan pentingnya kegiatan menulis.

Kata qalam dalam dalam surat Al-Alaq ayat ketiga tersebut banyak ditafsirkan sebagai lauhul mahfudz, yaitu kitab yang di dalamnya telah tertulis semua hal yang ada di alam semesta ini. Bahkan Allah Swt. telah mencontohkan dengan memerintahkan malaikat-malaikatnya untuk mencatat dan membukukan seluruh amal perbuatan manusia. Maka dari itu, kita sebagai manusia dan ciptaan-Nya tentu juga harus memiliki catatan untuk menyimpan apa-apa yang telah kita “baca” dan “pikirkan”, baik itu dalam bentuk tulisan di buku, data dalam komputer, atau lainnya.

Maka, pantaslah “membaca”, “berpikir” dan “menulis” diperintahkan Allah Swt. untuk menjadi hal yang harus dilakukan manusia ketika hendak mendalami hal-hal yang berhubungan dengan keilmuan. Karena pada hakikatnya, Allah-lah yang mengajarkan semua pengetahuan kepada manusia. Ini seperti yang sampaikan-Nya dipenghujung ayat terakhir wahyu pertama yang diturunkan. “Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S. Al-Alaq : 5). Wallahu A’lam.

Penulis adalah Ketua IMAN Institute, Alumni Pondok Pesantren Al Fattaah Setinggil-Demak, Alumnus di Yayasan Pendidikan Islam Al Mabrur Menco-Wedung-Demak, Tinggal di Kota Semarang-Jawa Tengah.