Oleh Ahmad Najib AR
Tulisan ini bukan hasil penelitian sejarah. Karena penelitian sejarah harus menggunakan kaidah ilmiah yang ketat, didukung dengan bukti dan fakta empirik, dan harus didasarkan pada teori-teori ilmu sejarah yang rumit.<> Ini hanya sebuah sebuah hasil perenungan yang sama sekali tidak berpretensi menggugat apalagi mendekonstruksi sejarah. Tulisan ini hanya mencoba mencermati sebuah kronik sosiologis yang melatari sejarah kelahiran NU yang selama ini mungkin luput dari perhatian kita.
Telah menjadi ijma’ bahwa NU didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H, bertepatan 31 Januari 1926 M melalui pertemuan Ulama yang dipimpin oleh Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari di kediaman KH Abd. Wahab Chasbulloh Kawatan Bubutan Surabaya. Saya mencoba memeriksa kalender tahun 1926, ternyata memang tanggal 31 Januari tahun itu bertepatan dengan tanggal 16 Rajab 1344 H, tepatnya Hari Ahad Pon. Namun yang menjadi pertanyaan saya adalah pertemuan itu dilangsungkan pada siang atau malam hari. Mungkin pertanyaan ini mengada-ada. Namun jika Anda teruskan membaca, maka Anda akan paham ke mana arah pertanyaan itu.
Begini. Jika pertemuan itu berlangsung siang hari, maka berarti benar jika dikatakan hari lahir NU adalah 16 Rajab. Namun apabila ia digelar malam hari, atau pada hari Ahad malam Senin, maka semestinya Milad NU tanggal 17 Rajab. Hal ini mengingat hitungan hari dalam kalender Hijriyah dimulai dari saat terbenamnya matahari. Yang berarti pertemuan itu secara Hijriyah sudah masuk hari Senin tanggal 17. Sayangnya saya belum menemukan satu informasi pun dari literatur-literatur yang saya baca yang menyebutkan siang atau malamnya pertemuan ulama yang fenomenal tersebut.
Namun jika dianalisis dari sudut sosio-historis, maka logika yang paling kuat menurut saya adalah malam hari. Kenapa? Karena pada tahun-tahun itu Belanda sangat ketat dan represif mengawasi segala macam bentuk kegiatan dan pergerakan dari kelompok-kelompok pribumi. Hal ini dipicu oleh bangkitnya kesadaran dan keberanian bangsa Indonesia untuk merdeka sejak berdirinya gerakan Boedi Oetomo pada tahun 1908. Sehingga, dengan kondisi yang demikian genting, bisa dibayangkan terlalu berisiko jika pertemuan ulama tersebut dilakukan siang hari. Apalagi kediaman Mbah Wahab tersebut terletak di pusat Kota Surabaya yang berjarak sekian ratus meter dari markas tentara Belanda.
Hal lain yang juga menguatkan adalah tradisi ulama pesantren saat itu. Rata-rata para ulama yang hadir dalam pertemuan itu adalah pemangku pesantren dari berbagai daerah, mulai Jombang, Pasuruan, Kudus, Pati, Surabaya, dan lain-lain. Salah satu karakter para kiai pesantren kala itu adalah kuatnya istiqomah mereka. Mereka sangat jarang meninggalkan kewajiban dan rutinitas pesantren mereka, terutama dalam memimpin sholat berjamaah dan mengajar para santri. Sehingga untuk kegiatan dakwah dan sosial kemasyarakatan umumnya dilakukan di sela-sela kesibukan tersebut dan waktu yang paling longgar adalah malam hari. Tradisi ini juga masih kuat dipertahankan oleh para pengasuh pesantren hingga satu-dua dasawarsa yang lalu, bahkan hingga sekarang pun juga masih berlaku untuk beberapa pesantren tertentu. Sehingga untuk tugas dan kegiatan NU mereka lebih banyak melaksanakannya di malam hari.
16 atau 17 dalam Rumus Abajadun
Salah satu tradisi lain yang juga sangat kuat dilestarikan oleh para ulama pesantren zaman itu adalah rumus Abajadun. Abajadun merupakan suatu bidang keilmuan dalam kosmologi Islam yang merumuskan setiap huruf Hijaiyah dalam angka. Konon yang pertama kali mempopulerkannya adalah Syekh al-Buni dalam kitabnya “Syamsul Ma’arif” yang notabene cukup populer di pesantren-pesantren Salaf. Dalam metode tersebut setiap huruf memiliki nilai atau angka yang berbeda-beda, misal أ (alif)= 1, ب (ba’)= 2, ج (jim)=3, د (dal)=4, dan seterusnya. Kata atau kalimat yang tersusun dari beberapa huruf akan dinilai dari hasil penjumlahan angka dari huruf-huruf yang merangkainya, misal كتاب (kitab) nilainya adalah 423, hasil penjumlahan dari kaf (20), ta’ (400), alif (1), dan ba’ (2).
Menurut al-Buni, setiap huruf menyimpan makna dan rahasia kosmik-spiritual tertentu. Jika masing-masingnya tersusun menjadi sebuah kata, maka kata itupun menyiratkan rahasia spiritual tertentu yang misterius. Huruf dan rangkaiannya diyakini menjadi simbol yang menghubungkan dunia nyata dan dunia tak-kasat mata yang diwujudkan melalui angka dan hitungannya. Bahkan ia diyakini juga menjadi isyarat mistis (mystical signifier) akan kejadian atau garis hidup seseorang. Karena itu rumusan ini juga sering digunakan untuk instrumen untuk menilai kecocokan dan keharmonisan calon pengantin.
Para kiai pesantren zaman dulu terbiasa menggunakan Abajadun untuk mengabadikan suatu peristiwa penting. Mereka sering menggubah syair arab yang huruf-hurufnya disusun sedemikian rupa sehingga kalau dihitung menggunakan metode ini akan menunjuk angka tertentu. Angka tersebut menjadi penanda suatu peristiwa dan waktu kejadiannya. Seperti al-Maghfurlah KH. Abd. Hamid Pasuruan sesaat setelah mendirikan madrasah di Pesantren Salafiyah yang diasuhnya, beliau menggubah syair yang berbunyi:
تأسـست مدرسة للمسلم # نرجو رضا الامين فى محرم
“Telah berdiri sebuah madrasah untuk orang Islam pada bulan Muharram, kami mengharap ridlo dari Dzat yang Maha Terpercaya.”
Syair tersebut jika dihitung huruf-hurufnya menggunakan rumus Abajadun akan berjumlah 1392, sama dengan tahun berdirinya madrasah tersebut yakni tahun 1392 H.
Berdasarkan hal itu, maka saya berpikir bahwa bukan tidak mungkin para ulama pendiri NU juga menggunakan metode Abajadun dalam mengabadikan tahun kelahirannya. Saya pun kemudian mencoba menerapkan rumusan tersebut untuk kata جمعية نهضة العلماء (Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’). Ternyata jika dihitung masing-masing huruf dari tiga kata tersebut jumlahnya adalah 1566, dengan perincian: ج (3), م (40), ع (70), ي (10), ي (10), هـ (5), ن (50), هـ (5), ض (800), ت (400), ا (1), ل (30), ع (70), ل (30), م (40), ا (1) dan أ (1). Sampai di sini saya masih tidak yakin ada isyarat khusus dari kata Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ melalui metode ini, karena saya tidak menemukan korelasi apapun dari angka 1566 dengan NU dan sejarahnya.
Saya pun kemudian mencoba menghubungkannya dengan tanggal kelahiran NU. Saya mulai menghitung 16 رجب 1344, dengan menjumlahkan 16 + ر (200) + ج (3) + ب (2) + 1344. Hasilnya cukup mengejutkan. Jumlahnya 1565, hanya selisih satu angka dengan hitungan جمعية نهضة العلماء. Dari sini kemudian saya berpikir seandainya tanggalnya diubah 17 رجب 1344, maka hasilnya persis sama yakni 1566. Nah, 16 atau 17 yang lebih tepat?
Namun terlepas dari itu semua, yang jelas PBNU secara resmi telah menetapkan 16 Rajab 1344 H sebagai tanggal kelahiran NU yang harus diamini oleh seluruh nahdliyyin. Renungan dengan metode Abajadun di atas hanya ingin membuktikan bahwa betapa arif dan tingginya keilmuan para Masyayikh pendiri NU, hingga soal penamaan organisasi ini pun mereka sangat hati-hati dan detil menakar setiap hurufnya agar dapat mengandung kedalaman makna, sirr (rahasia), dan barokah bagi jama’ahnya. WaLlohu a’lam.
Selamat Hari Lahir NU ke-92!
*) Ahmad Najib AR, Ketua Lajnah Ta'lif wan Nasyr NU (LTN NU) Jawa Timur
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua