Opini

Beragama dengan Sejuk

Ahad, 4 Juni 2017 | 10:18 WIB

Oleh Puguh Phaloepi
Kata Bapak saya, “Gak ada gunanya berdebat. Gak dadi beras.”

Memang sulit. Saya rasakan sulit menghadapi orang yang terlalu berlebihan dalam beragama. Tapi setidaknya saya harus menjelaskan. Sesuai apa yang saya ketahui. Dahulu, Nabi pernah menegur orang-orang yang melempar jumrah dengan batu besar. Padahal Nabi mengajarkan melempar jumrah dengan batu kecil. Kata Nabi, itu perbuatan yang berlebihan dan Nabi mengkhawatirkan hal itu. Orang-orang yang tidak mengerti, akan berpikir bahwa melempar jumrah dengan menggunakan batu besar akan besar pula pahalanya. Dan ibadahnya semakin hebat. Tapi justru itu dilarang oleh Nabi. Karena perbuatan itu membahayakan jamaah haji lain. Dan lagian melempar jumrah mempunyai makna kontekstual, yaitu manusia harus mengusir setan yang hendak menggoda dan menjerumuskannya.

Tapi orang-orang yang tidak mengerti, tidak peduli hal itu. Asal batunya lebih besar berarti pahalanya juga besar. Semangat beragamanya besar. Pikirnya. Padahal yang dilakukannya salah. Dan Nabi mengutuk itu.

Saya pikir hal tersebut terjadi pula sekarang. Tapi dalam bentuk lain. Kini, orang berlomba-lomba mengeraskan speaker dalam mengumandangkan adzan. Dikiranya semakin keras maka pahalanya semakin besar. Padahal saat ini, hampir tiap lingkungan punya mushala. Bagaimana tidak bising? Kita tidak sedang memberikan kebisingan, melainkan memanggil orang-orang untuk menunaikan ibadah. Dengan volume speaker yang tepat. Sehingga terdengar syahdu. Beda dengan jaman dahulu, jarak antar rumah berjauhan. Mushola tidak sebanyak sekarang. Maka volume perlu dikeraskan agar suara yang dihasilkan merata.

Mari beragama secara khusyu dan sejuk. Beragama sesuai porsinya, sesuai ajaran Nabi yang welas asih.

Penulis adalah aktivis puisi, tinggal di Banyuwangi, bisa ngobrol-ngobrol santai di akun Twitternya @Cheguhvara