Opini

Bersama Singsingkan Lengan Baju Lawan Ujaran Kebencian

Jumat, 26 April 2019 | 18:30 WIB

Oleh: Ahmad Rozali

Fenomena maraknya hoaks, ujaran kebencian, hasutan bernuansa SARA, hingga ajakan melakukan tindakan radikal kekerasan dan terorisme berdampak begitu nyata dalam kehidupan sehari-hari kita. Fenomena itu tidak hanya terjadi di ruang privat atau dalam sebuah pertemuan kelompok tertentu. Akan tetapi hal semacam itu dapat ditemukan hingga ruang publik seperti mimbar agama terutama dalam momentum politik.

Lebih-lebih saat ini, di mana fenomena buruk itu bisa diproduksi dan disebarkan dengan begitu mudah melalui website dan platform jendela media sosial. Sebuah studi berjudul ‘Sosial Media, Kebencian Siber dan Rasisme’ menemukan bahwa platform media sosial oleh sebagian orang dimanfaatkan untuk menyebarkan ujaran kebencian dan radikalisme di dunia maya. Keberadaan konten di dunia maya bernuasa negatif tersebut memiliki kaitan yang erat dengan keadaan sosial-politik yang sedang berkembang di masyarakat (K. Amin, 2017).

Dampaknya tak main-main. Anggota Ombudsman, Ahmad Suaedy menilai, fenomena itu tidak hanya berdampak buruk pada komunikasi di dunia maya saja, tapi lebih dari itu, ia merusak ruang terkecil dalam masyarakat, seperti hubungan antaranggota masyarakat, pertemanan hingga keluarga. Dampak lebih jauh yang bisa diakibatkan oleh fenomena itu adalah rusaknya persaudaraan berbangsa di berbagai dimensi, baik masyarakat umum seperti tetangga, di antara rekan kerja, dan seterusnya.

Melihat besarnya dampak buruk yang terjadi, sudah sepatutnya semua stakeholder baik kalangan pemerintah, masyarakat dan kelompok swasta terlibat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan dampak buruk dari fenomena tersebut.

Pemerintah Indonesia nampaknya memberi perhatian cukup serius pada masalah ini. Setidaknya ada dua kategori yang dilakukan oleh pemerintah melalui lembaga dan kementerian; pertama adalah aksi pemberantasan konten dan platform penyedia konten negatif, yang kedua adalah berupaya memenuhi konten media sosial dengan konten positif.

Kementerian Komunikasi dan Informasi misalnya melakukan penyaringan dan pengaisan pada konten bermuatan negatif di dunia maya. Kementerian ini dalam laman resminya menyatakan telah mengguanakan sebuah mesin pengais yang dinamai AIS yang harganya mencapai Rp 200 miliar rupiah yang secara resmi dioperasikan pada Desember 2018 untuk mengais konten negatif, termasuk pula konten pornografi. Tak lama setelah pengoperasian, dalam laporannya pada akhir Desember 2018 sebanyak 984,441 konten yang berhasil disaring, termasuk sejumlah website yang memuat konten tersebut.

Agenda kedua yakni upaya memenuhi konten media sosial dengan konten positif juga dilakukan pemerintah. Pada program ini aktor pemerintah cukup banyak. Selain Kemkominfo yang bekerja sama dengan sejumlah lembaga dalam SiberKreasi, ada pula Badan Nasional Penanggulangan Terosisme yang melakukan pengkaderan terhadap ratusan orang melalui Duta Damai, serta program serupa dari sejumlah lembaga dan kementerian lain.

Secara umum, mayoritas program kedua pemerintah berupa melibatkan kelompok millennial dalam sejumlah program tersebut baik dalam pelatihan literasi digital, menangkal hoaks, membuat konten positif dan seterusnya. Pelibatan kelompok muda secara spesifik dikarenakan kelompok ini merupakan kelompok paling aktif di dunia maya terutama media sosial. Menurut data dari Asosiasi Pengguna Jaringan Internet tahun 2017 sekitar 75 persen dari penduduk berusia 13 hingga 34 tahun merupakan pengguna internet.

Dalam hal menjalankan programnya, pemerintah juga melibatkan kelompok sosial kemasyarakatan secara seksama. Pada tahap ini, stakeholder seperti lembaga kemasyarakatan dan keagamaan bersama dengan pemerintah mengambil peran dalam menyampaikan informasi dan edukasi pada masyarakat melalui anggotanya masing-masing.

Namun itu saja tidak cukup. Kelompok lain seperti pihak swasta juga perlu terlibat dalam masalah ini. Guru Besar Sosiologi Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Iwan Gardono Sujatmiko mengatakan pihak lain seperti perusahaan juga perlu turun tangan lebih jauh dalam mengatasi masalah ini. Perusahaan melalui program yang didesain dari dana Corporate Social Responsibility-nya juga perlu diarahkan pada penyelesaian masalah ini.

Menurut Iwan Gardono Pekerjaan ini bisa dikerjakan bersama lembaga pendidikan level sekolah hingga perguruan tinggi di sekitar perusahaan. Sehingga bisa berdampak langsung pada peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) untuk menghadapi bahaya konten negatif yang bahkan bisa menebar bibit-bibit radikalisme di dalamnya.

“Semua pihak seperti sekolah, pemerintah dan bahkan televisi  harus memberikan edukasi yang positif, tayangan tentang budi pekerti. Televisi inikan banyak program acaranya, hiburan boleh, tetapi kan tidak hanya tayangan hiburan saja. Karena tayangan tentang budi pekerti ini akan membangkitkan karakter anak untuk bisa membangun perdamaian juga,” ujarnya.

Nampaknya, sebagaimana temuan di atas, fenomena ujaran kebencian, hoaks, dan rasisme akan menguat setiap kali momentum politik tiba. Oleh karena itu, untuk mengurangi dampak buruk dari fenomena terssebut, sudah seharusnya semua orang dari berbagai kalangan sadar akan bahaya fenomena ini dan bersama-sama menangkalnya melalui kapasitasnya masing-masing.

Penulis adalah redaktur NU Online