Opini

BOM dan Kekerasan: Problem Penafsiran dan Sosial

Jumat, 22 Januari 2016 | 00:02 WIB

BOM dan Kekerasan: Problem Penafsiran dan Sosial

ilustrasi: imelimage.com

Oleh Asmawi 
Pertengahan bulan Januari kemarin kita dihebohkan oleh tragedi pengeboman di Jl. Thamrin dan Sarinah Jakarta Pusat. Ini merupakan kejadian BOM kesekian kalinya di Indonesia, yang terkenal dengan bangsa yang religius, ramah, guyub rukun dan gotong royong. Apalagi penduduknya adalah mayoritas beragama Islam, yang sarat dengan nilai-nilai moral dan peradaban. Beragam asumsi, persepsi dan analisis terkait dengan kejadian bom itu bermunculan sesuai dengan perspektif masing-masing. Dari pemangku keamanan, agamawan, ulama, sosiolog maupun pejabat yang berwenang. Semua memberikan penilaian sesuai dengan latar belakang nya. Kali ini penulis juga ingin memberikan pendapat sendiri sesuai dengan kapasitas kemampuan penulis, yang tentunya juga memungkinkan adanya perbedaan dengan para pengamat dan pejabat yang lain.

Islam adalah agama yang mengajarkan kedamaian, ketentraman, dan keharmonisan antar sesama umat manusia. Islam diturunkan ke muka bumi ini, tidak memilah dan memilih umat manusia untuk mengikuti ajarannya. Dengan atribut sosial apapun, seseorang dapat mengikuti dan mengamalkan Islam sesuai kemampuannya. Baik dia sebagai orang kaya atau miskin, pejabat atau rakyat, mempunyai status sosial rendah (proletar) atau statusnya tinggi (borjuis), sebagai selebritas atau orang kampung, semuanya sama dihadapan ajaran Islam. Inilah semboyan Islam di muka bumi yang selalu menebarkan nilai kasih sayang kepada sesama, baik kepada golongan kulit putih atau kulit hitam. Al-Qur’an menjelaskan “Wa ma arsalnaka illa rahmatan lil alamiin” tidaklah aku mengutusmu Muhammad melainkan memberikan rahmat kepada seluruh alam). Nabi sendiri pernah bersabda: ”La tufadhilu bainal byadh wal aswad” (jangan melebih-lebihkan antara golongan kulit putih dengan golongan kulit hitam). Kedua dalil tersebut dapat dijadikan dasar bagi Muslim dalam mengamalkan ajarannya, dengan dilandasi oleh sifat kasih sayang dan tidak membeda-bedakan antara manusia satu dengan manusia yang lain.

Mungkin kejadian BOM di Sarinah itu, sebagai rentetan ujian umat Islam dalam realitas keberagamaan di Indonesia. Mungkin pengamalan agama yang seharusnya dapat menebar kasih sayang sesama makhluk Tuhan Swt., menjadi problem sosial masyarakat yang secara terus menerus tanpa mendapatkan solusi, layaknya mengurai benang kusut. Misalnya yang lagi up to date adalah tentang Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara) dengan masyarakat di sekitarnya (umat mayoritas versus minoritas), kekerasan umat satu keyakinan agama tetapi berbeda aliran. Semua kekerasan tersebut selalu menggunakan justifikasi ajaran-ajaran agama. Akhirnya timbul beberapa pertanyaan di hati penulis, apakah problematika kekerasan atas nama agama itu memang di ajarkan oleh agama yang mereka yakini? Atau kekerasan atas nama agama ini murni interpretasi (penafsiran) para penganut agama saja? Juga mungkin kekerasan atas nama agama itu disebabkan oleh faktor sosial politik, sosial budaya yang mengitarinya?. Itulah pertanyaan-pertanyaan yang selama ini masih mendominasi benak para teolog dan pengamat-pengamat sosial keagamaan, renungan terhadap problematika keberagamaan di Indonesia ini.

Semua agama yang berkembang di Indonesia tidak ada yang mengajarkan kekerasan kepada penganutnya, baik agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu. Agama akan selalu mengajarkan kebaikan kepada umatnya, karena eksistensi agama bertujuan untuk mengantarkan umatnya mencapai kesejahteraan. Bahkan semua agama mengajarkan kebaikan, itu tidak hanya tergantung kepada baktinya kepada umat manusia, tetapi juga untuk kebaikan seluruh makhluk Tuhan Swt. Baik kebaikan itu diwujudkan kepada binatang, batu-batuan, tumbuh-tumbuhan dan seluruh alam ciptaan Tuhan. Untuk itu kekerasan yang terjadi selama ini tidak benar kalau mengatasnamakan ajaran agama. Dalam kasus kekerasan yang selama ini terjadi dengan mengatasnamakan ajaran Islam, menurut penulis, itu merupakan problem penafsiran dan problem sosiologis masyarakat Indonesia, yang solusinya pun juga harus mengikutkan dua pendekatan yaitu pendekatan normatif dan sosiologis.  

Problem penafsiran yang penulis maksud adalah interpretasi terhadap ajaran-ajaran Islam yang memerintahkan untuk melakukan perang atau memerangi orang-orang kafir (jihad fi sabilillah), yang berpotensi dimaknai secara take for grant (ditelan mentah-mentah) tanpa mengindahkan latar belakang turunnya perintah (asbabun nuzul), dan konteks sosio historis sebuah perintah diturunkan kepada umat Islam. Akhirnya orang yang mengamalkan ajaran perintah perang itu akan memandang orang yang berkeyakinan berbeda dengan pandangan yang bermusuhan tidak bersahabat kepada selainnya dia. Inilah yang terjadi di sekitar kita, ketika terjadi perusakan, kekerasan terhadap umat non-Muslim dengan mengatasnamakan Islam.  

Kekerasan terjadi antar umat beragama di Indonesia dikarenakan problem penafsiran teks-teks agama. Dalam term keislaman berperang atas nama agama disebut dengan Jihad. Di dalam ajaran Islam jihad merupakan ajaran vital yang diposisikan cukup vital. Bahkan, Rasulullah memposisikan jihad sebagai salah satu amal yang paling dicintai oleh Allah setelah amalan sholat dan berbakti kepada orang tua. Jihad adalah wujud tanggung jawab seorang Muslim terhadap agamanya. Hanya saja Beberapa tahun terakhir, terminologi jihad seringkali dikonotasikan dengan tindakan-tindakan terorisme, anarkisme, dan merusak. Sebenarnya, ini adalah anggapan yang belum tentu benar dan perlu segera diluruskan. Jihad bukanlah aksi teror, jihad bukanlah meledakkan bom. Akan tetapi jihad adalah upaya untuk menciptakan tatanan kehidupan seperti yang digariskan oleh Tuhan Swt. 

Jihad pada zaman Nabi Saw. dan jihad pada masa kini jelas sekali berbeda. Jihad masa kini bukan lagi jihad secara fisik, karena era fisik sudah lewat dan sekarang eranya adalah era kompetisi keilmuan (ghazwu al-fikr). Jika jihad hanya dimaknai sebagai perang angkat senjata saja, maka nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin tidak akan pernah terwujud, Islam akan menjadi agama yang tertutup. Sehingga semakin menguatkan anggapan orang-orang Barat bahwa Islam adalah agama pedang. Dari sini, perspektif penafsiran tentang perang dan kekerasan terhadap teks-teks keagamaan harus segera diperbaiki, sehingga ajaran Islam dapat dimaknai, diterima, dan diamalkan dalam konteks, suasana apapun (Alislamu shalihun li kulli zaman wal makan).

Bentuk kekerasan yang lain, terjadi sesama pemeluk agama. Yang paling sering terjadi adalah kekerasan terjadi di internal umat Islam Indonesia. Kekerasan ini terjadi akibat penafsiran yang memandang bahwa kelompok minoritas adalah keliru dan yang mayoritas itulah yang benar. Akhirnya interpretasi seperti itu melihat kelompok yang lain (the other) sebagai pihak yang keliru, dan yang benar adalah kelompoknya sendiri (the self). Akibatnya vonis sesat menyesatkan akan sering kita dengar, seiring dengan tumbuh suburnya aliran-aliran keagamaan di tengah-tengah kita. Dan sampai saat ini disinyalir aliran yang divonis sesat berjumlah sekitar 300 kelompok. 

Padahal kalau kita belajar kepada para pemikir Muslim, misalnya imam madhab empat (aimmah al-arba’ah/Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) mereka selalu mengutamakan toleransi dalam mengeluarkan pendapat. Kata Imam Syafi’i ”Qawli shawwabun yahtamilul-khtha’ wa qawlu ghairi khatha’un yahtamilul-shawab” (pendapatku adalah benar ada kemungkinan salah dan pendapat selainku salah dan ada kemungkinan benar). Artinya sebuah pendapat dalam ajaran Islam disampaikan tidak harus diterima oleh pihak yang lain, karena Syafi’i mengerti akan adanya sifat predictable (praduga) dalam hukum Islam sekalipun. 

Maka dari itu sebuah pendapat dalam Islam tidak dapat dipaksakan kepada orang lain, senyampang praktek keberagamaan Islam oleh orang lain di luar kita, masih memenuhi kriteria-kriteria atau norma-norma yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw. Dalam konteks ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara teoretikal dan faktual, merupakan rujukan bagi ummat Islam Indonesia. Untuk itu penafsiran terhadap ajaran Islam juga harus diperbarui disesuaikan dengan tawqifi (ajaran) dari Al-Qur’an dan Sunnah serta tuntunan para mujtahid yang otoritatif di bidangnya. Supaya keberagamaan Islam di Indonesia ini dapat dijadikan sebagai model Islam rahmatan lil alamin, yang ada di dunia ini. Walaupun tatacara atau praktek ibadah furu’iyah (ajaran cabang) kita sangat beragam, tetapi tetap satu iman dan Islam. Inilah yang disabdakan oleh Rasul Saw. “Ikhtilafu ummati rahmatun” (perbedaan yang terjadi dalam umatku akan mewujudkan kasih sayang di antara sesama).

Dari kejadian-kejadian yang terjadi, baik oleh antar umat beragama dan intern umat seagama, itu semua adalah problem penafsiran oleh manusia terhadap kenylenehan-kenylenehan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, kemudian dikonfirmasi kepada teks-teks agama yang telah diyakini. Dan inilah yang perlu kita sempurnakan dalam melakukan penafsiran teks, sehingga ada perspektif yang lebih komprehensif terhadap praktek keberagamaan yang terjadi diluar yang kita ikuti dan yakini.

Di samping itu, dalam perspektif lain mentalitas seseorang biasanya dikonstruksi (dibangun) oleh faktor sosial budaya yang melingkupinya. Maka aliran-aliran (sempalan-sempalan) yang banyak bermunculan akhir-akhir ini di Indonesia tidak serta merta muncul begitu saja, melainkan disebabkan faktor sosiologis para pelakunya yang pada akhirnya memengaruhi kondisi psikologisnya. Bisa jadi, sikap mereka yang kadang dinilai nyleneh oleh kelompok mayoritas itu diakibatkan karena protes mereka terhadap kelompok-kelompok mayoritas di Indonesia. Jadi mereka merasa aspirasi keberagamaannya ter-hegemoni oleh kelompok mayoritas. Selama ini peta pemikiran dan praktek keagamaan, terutama Islam di Indonesia di dominasi oleh dua kelompok besar yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Hampir semua bidang keagamaan mayoritas mengerucut ke dalam duo mayority tersebut. Bidang-bidang garapan kedua organisasi keagamaan tersebut sudah merambah di segala bidang kehidupan. Baik ibadah mahdlah, berupa kegiatan ketakmiran masjid, perwakafan, madrasah diniyah, zakat, infaq, shadaqah, bimbingan haji, penentuan awal dan akhir ramadhan, maupun ghairu mahdlah, misalnya pendidikan, rumah sakit, partner partai politik dan lain sebagainya. Akhirnya kelompok-kelompok yang tidak terakomodasi ke dalam dua kelompok di atas merasa teralinasi (terasing), dalam struktur sosial masyarakat menjadi kelompok yang pherypheral (terpinggirkan).

Kalau sekarang masih muncul aliran-aliran sempalan dan kekerasan yang mengatasnamakan agama, wujud dari potret keberagamaan Indonesia yang beragam, dapat disikapi dengan beberapa langkah di antaranya: Pertama, dilakukanya interpretasi yang kontruktif terhadap praktek keberagamaan orang lain. Dengan adanya penafsiran yang membangun akan dihasilkan sebuah aturan-aturan hukum yang mengatur praktek-praktek keagamaan, terutama aturan yang dapat mengakomodasi semua elemen bangsa. Kedua, upaya-upaya pendekatan psikologis dan sosiologis  tentang latar belakang terjadinya problematika praktik keberagamaan di Indonesia. Sehingga solusi yang akan dibuat, memang benar-benar menyentuh akar permasalahan yang terjadi, apalagi problematikanya menyangkut hubungan antar umat beragama, dan internal umat beragama. Ketiga. reformasi sosialisasi peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, Nomor: 9 tahun 2006 Nomor : 8 tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama (FKUB), dan pendirian rumah ibadat mutlak untuk segera dilakukan agar mencapai sasarannya. Waallahu a’lamu bisshawab!     
      
* Mustasyar NU, Pengasuh PP al-Kamal Kunir Blitar, dan Pengajar di IAIN Tulungagung