Opini

Catatan Kongres PMII; Tantangan Merawat Generasi Millennial

Kamis, 18 Mei 2017 | 03:15 WIB

Oleh Irham Thoriq
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) adalah salah satu aset terpenting bagi bangsa ini. Kongres PMII XIX yang dibuka Presiden Joko Widodo, Selasa (16/5) merupakan momentum bagi PMII untuk merumuskan kembali arah gerakannya di kampus-kampus seantero tanah air.

PMII penting karena organisasi ini mempunyai 222 cabang aktif (setingkat kabupaten/kota) dan 24 pengurus koordinator cabang (setingkat provinsi). Selain itu, puluhan cabang masih dalam tahap proses pembentukan. Dengan jumlah yang besar itu, PMII bisa menjadi garda depan dalam menangkal gerakan Islam radikal.

Sebagai organisasi yang satu kultur dengan Nahdlatul Ulama (NU), PMII menjadi kekuatan besar dalam menyebarkan Islam ramah. Bukan Islam yang marah. Dan itu bisa dimulai dari masjid-masjid kampus.

PMII mempunyai peran strategis, tapi juga memiliki tantangan besar. Mari kita awali dengan pertanyaan mendasar, mampukah PMII merawat generasi millennial? sebuah generasi yang kata banyak pengamat sebagai generasi yang sulit diatur, tapi memiliki potensi yang dahsyat.

Rhenald Kasali di Jawa Pos, Selasa (17/5) menulis tentang generasi millenials. Perusahaan yang menganggap karyawannya sebagai human capital menurut dia akan merawat generasi ini. Karena generasi inilah penentu masa depan perusahaan. Panjang umur atau tidaknya perusahaan, akan ditentukan seperti apa cara perusahaan merawat generasi millennial.

Generasi millenial adalah generasi yang lahir dalam rentan tahun 1984-1994, bahkan ada yang menyebut hingga tahun 2004. Tak hanya di perusahaan, pada cakupan yang lebih luas, generasi ini adalah penentu masa depan negeri ini. Jika mayoritas dari generasi ini kuliah, maka peluang sekaligus tantangan bagi PMII untuk ikut merawat, mendidik dan membesarkan generasi millennial.

Tapi itu tidak mudah. Sebagaimana pernah ditulis harian Kompas, generasi ini cenderung labil. Jika mereka karyawan, mereka doyan pindah kerja. Jika mereka entrepreneur, mereka akan menjadi entrepreneur yang suka bereksperimen atas produk mereka. Karenanya, pada generasi ini diprediksi semakin sedikit yang mau jadi pegawai negeri sipil (PNS). Karena menjadi PNS sulit untuk pindah seenaknya. Tentu ini perubahan mindset yang mendasar, karena mayoritas bagi generasi 1980-an ke bawah, PNS adalah profesi idaman. Karena menawarkan zona nyaman.  

Untuk urusan pindah kerja, mungkin banyak perusahaan yang sudah mengalami itu. Para karyawan baru mereka, kebanyakan bertahan dua hingga tiga tahun saja. Jika perusahaan itu sudah tidak mampu memberi tantangan, dan tidak mampu memberi gaji besar, mereka akan pindah mencari pekerjaan lain.

Ini jugalah yang ditulis Rhenald Kasali. Pada generasi millennial, jangan kaget jika mereka melontarkan pertanyaan seperti ini: lima tahun lagi posisi saya apa, dan gaji saya berapa. Pertanyaan ini mungkin dianggap hal tak lazim bagi generasi 1980-an ke bawah. Tapi mau tak mau, itulah fenomena saat ini.

Dari aneka macam contoh di atas, mungkin kita sepakat kalau generasi millennial sebenarnya adalah generasi yang suka tantangan. Generasi ini tidak suka zona nyaman. Tidak suka menjadi PNS yang hidup mereka sudah terjamin hingga pensiun. Dan yang harus dilakukan oleh PMII, adalah menciptakan iklim organisasi yang menjadi  'kawah chandradimuka' bagi mereka penyuka tantangan.

Jika akhir-akhir ini geliat generasi millennial pada dunia entrepreneur dengan terlibat langsung dalam start up atau usaha rintisan. Menumbuhkan banyak start up baru, juga harus menjadi agenda penting PMII.

PMII harus mempunyai program jangka pendek, menengah, dan panjang dalam mendorong untuk terciptanya start up. Baik itu untuk kader PMII, atau alumni PMII. Jika itu tidak dilakukan, jika PMII hanya fokus menciptakan kader politisi, maka bukan tak mungkin PMII akan menjadi fosil di tengah riuh semangat generasi millennial. Jika menjadi fosil, PMII akan ditinggalkan oleh generasi millennial. Dan ini berbahaya, karena generasi inilah yang akan menentukan arah peradaban ekonomi, politik, kebudayaan, dan lain-lain, pada sepuluh hingga dua puluh tahun ke depan.

Harus ada iklim berbeda jika PMII ingin menjadi tempat bagi lahirnya start up. Pada generasi millennial, ada satu ciri lain yakni mereka suka bekerja sama, tidak suka bersaing. Dan iklim inilah harus diciptakan. PMII harus menjadi tempat berkumpulnya orang-orang yang ingin bekerja sama. Dan dunia usaha juga mengajarkan hal itu, bahwa semua orang adalah patner bisnis. Sedangkan dunia politik, yang sampai sekarang menjadi corak PMII, selalu mengajarkan persaingan. Lihatlah politisi-politisi kita saat ini, mereka bersaing untuk menguasai. Mereka selalu ingin menguasai dengan segala cara dan tidak ingin dikuasai. Dan persaingan yang tidak fair inilah yang tidak disukai generasi millennial.

Sedangkan perihal start up, ini juga diingatkan Presiden Joko Widodo saat membuka kongres PMII. Jokowi mengingatkan agar kader PMII jangan hanya bermimpi jadi politisi. "Bermimpilah misalnya ada yang jadi wiraswasta, entrepreneur, karena kita juga baru 1,6 persen entrepreneur kita. Normalnya negara yang baik itu di atas 5 persen," kata Jokowi.

Sebenarnya apa yang dinyatakan Jokowi ini sudah menjadi kegelisahan Pengurus Besar PMII sejak lama. Ketika masih mahasiswa, sekitar tahun 2011, saya ikut menghadiri konsolidasi nasional yang membahas tentang kaderisasi PMII. Di forum itu ada kegelisahan dari satu pertanyaan mendasar: kenapa kader PMII belum mampu survive di sejumlah sektor strategis di bangsa ini.

Dari banyak kementerian misalnya, hanya segelintir kementerian saja yang dipimpin oleh PMII. Begitu juga di dunia bisnis, setiap tahun majalah Forbes melansir orang terkaya di Indonesia. Dan dari data itu tidak pernah ada yang alumni PMII.

Jangankan orang terkaya, alumni PMII yang melakukan aktivitas impor-ekspor juga masih segelintir. Ini tentu ironi, sekaligus tantangan. Apalagi, PMII saat ini sudah berumur 57 tahun. Sudah sepatutnya, pesan Jokowi menjadi bahan permenungan. Mungkin PMII selama ini sudah terlalu banyak memproduksi politisi, hingga lupa cara memproduksi pengusaha.
 
Penulis adalah wartawan Jawa Pos Radar Malang. Alumni PMII Kota Malang. Sekarang pengurus Lakspedam NU Kabupaten Malang.