Opini

Dakwah yang Beradab

Sabtu, 16 Januari 2016 | 04:00 WIB

Oleh M. Haromain
Dakwah merupakan satu bagian yang tidak dapat ditinggalkan dalam kehidupan umat beragama. Dalam ajaran Islam, ia merupakan suatu kewajiban yang dibebankan oleh agama kepada pemeluknya, baik yang sudah menganutnya ataupun belum.

Syeikh Ali Mahfudh dalam kitabnya Hidayah al-Mursyidin, sebagaimana dikutip oleh KH Sahal Mahfudh, menetapkan definisi dakwah sebagai ”Mendorong (memotivasi) untuk berbuat baik, mengikuti petunjuk Allah, menyuruh orang mengerjakan kebaikan, melarang mengerjakan kejelekan, agar dia bahagia di dunia dan akhirat”.

Sementara dakwah menurut Quraish Shihab adalah seruan atau ajakan kepada keinsafan atau usaha mengubah situasi kepada situasi yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap pribadi ataupun masyarakat.

Dalam merealisasikan kewajiban dakwah ini, para da’i atau muballigh menggunakan banyak media dan metode, misalnya ceramah, diskusi, bimbingan penyuluhan, penerbitan buku, majalah dan lain sebagainya.

Disini perlu ditegaskan bahwa masing masing media dan metode dakwah ini memiliki kelebihan, keistemewaan dan kekurangan, sehingga dibutuhkan kejelian penggunaan media dakwah tertentu sesuai dengan kondisi sasaran dakwah yang dihadapi. Ini dimaksudkan supaya kita tidak fanatik (ta’assub) kepada salah satu media dakwah dan menyepelekan kepada media dakwah lainnya.

Kegiatan dakwah dengan memahami dua definisi dakwah di atas, sepintas lalu tampak begitu mudah dan ringan bahkan nyaris tanpa hambatan. Tetapi kegiatan dakwah dalam tahap implementasi atau praktek di lapangan ternyata tidak sesederhana dan semudah itu.

Barangkali kalau sekadar menyampaikan materi atau pesan dakwah saja banyak yang mampu. Namun untuk mencapai keberhasilan atau kesuksesan dakwah, yang ditandai salah satunya lewat penerimaan secara sadar dari sasaran dakwah terhadap materi atau pesan dakwah yang kita sampaikan, maka di sinilah letak kesulitannya.

Hal itu membuktikan bahwa dalam menyampaikan materi atau pesan dakwah para juru dakwah terkadang tidak cukup hanya menyampaikan materi dakwahnya secara blak-blakan, lurus, dan transparan. Sebab penyampaian dakwah secara transparan (eksplisit) dan apa adanya ini kadang berpotensi besar menyudutkan tradisi, budaya, atau nilai-nilai yang diagungkan oleh masyarakat yang menjadi objek dakwah. Padahal sudah menjadi naluri manusia adalah tidak mau dipersalahkan. Dan orang akan mempertahankan diri secara emosional manakala mereka diserang atau dipojokkan secara psikologis. Bagaimana masyarakat bersedia menerima seruan dakwah jika mubalighnya tidak bisa menghargai mereka?

Ketika seorang da’i dakwahnya tidak mendapat simpati dari masyarakat, janganlah keburu ia menuduh masyarakat tersebut sebagai komunitas masyarakat yang bebal hatinya, tidak mempan oleh nasihat. Justru pertama kali yang harus dikoreksi oleh da’i tersebut adalah cara, sikap, dan strateginya dalam menyampaikan dakwah. Sudah tepat dan benarkah metode yang ia sampaikan?

Oleh karena itu, demi tercapainya keberhasilan dakwah, supaya pesan dakwah dapat diterima dan dipraktekkan oleh objek dakwah diperlukan seni, metode, dan pendekatan yang benar. Dan strategi yang sering menjadi pedoman golongan ahlussunnah wal jama’ah dan merupakan manhaj dakwahnya salafusshaleh  adalah metode dan cara pendekatan yang sangat bagus dan persuasif, yaitu dengan hikmah, mauidzah hasanah, dan diskusi atau dialog dengan cara yang lebih baik. Metode ini digali dari Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 125.

KH Ahmad Shiddiq mengutip dari tafsir Al-Khazin menerangkan lebih detail tiga metode di atas. Mengajak dengan hikmah, artinya memberi keterangan yang mantap, kokoh, dan benar. Atau menggunakan dalil-dalil yang benar yang mengungkapkan kebenaran dan menghilangkan keragu-raguan.

“Mauidzah hasanah” artinya memberi petunjuk yang menggairahkan kepada kebenaran serta menunjukkan bahaya atau akibat perbuatan buruk, yang mengesankan rasa kasih sayangnya perawat bagi pasiennya. Metode dialog atau debat yang lebih baik artinya menggunakan pendekatan yang lemah lembut.

Kenapa penulis artikel ini mengatakan bahwa dakwah dengan ketiga metode diatas adalah metode terbaik dan persuasif? Karena dengan modal metode seperti itu, seperti apapun keadaan sasaran dakwah, sang da’i sedapat mungkin tetap menghargai meraka, memosisikan mereka sebagai manusia yang tidak hanya memiliki akal tetapi juga emosi dan perasaan yang tidak boleh diperlakukan seenaknya layaknya patung. Dan inilah istilah yang penulis sebut sebagai dakwah yang beradab.

Dengan demikian karena objek dakwah merasa dihargai dan diperlakukan selayaknya manusia lainnya, maka penerapan dakwah dengan metode hikmah, mauidzah hasanah dan mujadalah bi ahsan ini punya peluang lebih besar untuk diterima dan mendapat simpati dari masyarakat obyek dakwah.

Berbeda dengan metode dakwah yang disampaikan dengan jalan kekerasan, paksaan dan cara-cara yang bersifat sarkastik lainnya, alih-alih masyarakat akan bersimpati dan menerimanya, justru perlawanan dan permusuhanlah yang akan dikobarkan oleh mereka. Atau seandainya mereka mau menerima, besar dugaan penerimaan mereka itu karena keterpaksaan yang semu sifatnya, bukan penerimaan atas dasar kesadaran diri. Wallahu A’lam

*Penulis adalah alumnus MHM Lirboyo Kediri dan Unsiq Wonosobo