Opini

Gagasan Islam Damai di Ruang Publik

Senin, 29 Mei 2017 | 09:33 WIB

Oleh Muhammad Aras Prabowo
Islam damai memiliki prinsip al-tawassuth, yaitu jalan tengah, tidak ekstrem kanan atau kiri. Prinsip tawazun, yakni menjaga keseimbangan dan keselarasan, sehingga terpelihara secara seimbang antara kepentingan dunia dan akhirat, kepentingan pribadi dan masyarakat, dan kepentingan  agama dan negara. Prinsip al-tasamuh, yaitu bersikap toleran terhadap perbedaan, sehingga tidak terjadi perasaan saling terganggu, saling memusuhi, dan sebaliknya akan tercipta ukhuwah islamiyah dan ukhuwah wathaniyah. Prinsip ta’adul (keseimbangan) Ahlussunnah wal Jamaah terefleksikan pada kiprah mereka dalam kehidupan sosial, cara mereka bergaul serta kondisi sosial pergaulan dengan sesama Muslim yang tidak mengkafirkan serta senantiasa ber-tasamuh terhadap sesama Muslim maupun umat manusia pada umumnya.

Corak ini pula yang mendatangkan kekaguman dari berbagai negara. Termasuk, Duta Besar Inggris untuk Indonesia Moazzam Malik memuji keberadaan pesantren yang ternyata berperan dalam menyebarkan kedamaian. "Selama 2,5 tahun, saya hanya mendengar tentang Pesantren Tebuireng yang punya peran sangat penting dalam sejarah Indonesia, dan saya yakin akan punya peran penting untuk masa depan Indonesia ke depan. Jadi, saya di sini untuk mempelajari dan melihat bagaimana Indonesia bisa lebih berhasil (mengatasi ekstremisme dan radikalisme)," ujarnya dalam rilis yang diterima, Jumat (28/4). (Republika.co.id)

Meskipun umat Islam sebagai warga negara mayoritas, tapi tidak membuat rasa egois dalam diri penganutnya untuk mendominasi dengan pemeluk keyakinan yang lain. Perbedaan suku, ras, agama dan budaya disatukan dalam sikap nasionalisme terhadap negara. Salah satu guru bangsa sekaligus mantan presiden ke-4 KH Abdurrahman Wahid sebagai bapak pluralisme mananamkam sikap saling menghargai antarsesama warga negara tanpa memandang suku, ras, agama dan budaya. Beliaulah yang banyak memahamkan bangsa ini pentingnya toleransi terhadap perbedaan dalam kehidupan bernegara.

Namun, belakangan ini kata kafir, bid’ah dan sesat seringkali mewarnai ceramah keagamaan baik di masjid, lingkungan kampus, lingkungan sekolah (rohis) maupun di media (televisi, youtube, facebook dan media sosial yang lain). Kelompok tersebut seringkali menampilkan Islam yang marah, padahal kita butuh Islam yang ramah bukan Islam marah, kata Gus Dur. Kelompok tersebut menganggap dirinya yang paling benar.

Pertarungan kebenaran dalam wacana agama bermula dari klaim kebenaran yang dibuat oleh masing-masing kelompok. Klaim kebenaran itu lahir dari interpretasi atas teks otoritatif yang diperkuat oleh pemegang otoritas dalam agama. Klaim kebenaran sejatinya adalah hal pokok yang mendasari dan diperlukan dalam setiap keyakinan. Seseorang akan merasa nyaman dengan keyakinannya ketika ia, secara sadar, meyakini kebenaran dari nilai-nilai yang tertuang dari keyakinannya tersebut. Namun, ketika interpretasi tertentu atas klaim kebenaran tersebut menjadi proposisi yang menuntut pembenaran tunggal dan diperlakukan sebagai doktrin kaku, maka kecenderungan terhadap penyelewengan dalam agama muncul dengan mudah. Kecenderungan itu merupakan tanda-tanda awal kejahatan atas nama agama (Kimball, 2003: 84).

Di mata mereka, sebuah negara menjadi musuh Islam dengan bertindak melawan kehendak hukum syariah, pada gilirannya mereka berpendapat bahwa orang-orang yang mendukung pemerintah murtad dan karena itu pembunuhan orang-orang semacam itu dapat diterima secara religius (Doran diedit oleh Hoge Jr & Rose 2001, halaman 35). Gagasan seperti ini harus diantisipasi, guna menjaga keutuhan bangsa. 

Gagasan tentang softpower ini pertama kali dibahas oleh Joseph Nye, dia menyatakan alih-alih penggunaan kekuatan, dengan kekuatan keras, softpower lebih bergantung pada diskusi dan debat, dengan menggunakan persuasi ideologis (Nye 1991, halaman 259-60).

Kelompok-kelompok islam moderat yang ada di Indonesia, seperti Nahdatul Ulama, harus merebut ruang-ruang publik dalam menyebarkan Islam damai. Pertarungan seperti ini tidak bisa dihindari guna mempersempit ruang gerak meraka. Gagasan Islam damai harus disebarkan lewat berbagai media (televisi, youtube, facebook dan media sosial yang lain) sama seperti metode yang mereka gunakan. Intensitas akan mengeser posisi mereka di tempat-tempat strategis.

Bagi organisasi kemahasiswaan, memperbanyak diskusi di pojok-pojok kampus juga menjadi salah satu alternatif yang cukup strategis. Agar proses kaderisasi merka terhambat, dengan memberikan pemahaman Islam yang damai kepada mahasiswa, khusnya bagi mahsiswa yang baru masuk. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Gusdurian dan organisasi lainnya herus hadir di tengah-tengah mahasiswa untuk mengemban tugas tersebut.

Selain di lingkungan kampus, lingkungan sekolah harus menjadi perhatian. Ikatan Pelajar Nahdatul Ulama (IPNU) yang wilayah kaderisasinya di sekolah harus memaksimalkan perannya dalam menularkan gagasan Islam damai kepada para siswa. Organisasi intra sekolah seperti Rohani Islam (rohis) harus di jadikan sebagai wadah dalam sosialisasi.

Teori Public Sphere Habermas mengatakan bahwa ruang terbuka publik adalah arena pertarungan ide dan gagasan, setiap kelompok mengambil peran  dalam ruang publik dan berusaha mengambil kuasa, pemenangnya adalah: ide dan gagasan yang dikelola dengan baik, kuantitas ide dan gagasan yang masuk ke ranah publik.

Sinergitas gerakan akan mengambil kuasa dan peran  dalam ruang publik mulai dari masjid, lingkungan kampus, lingkungan sekolah (rohis) maupun di media (televisi, youtube, facebook dan media sosial yang lain) akan melahirkan sebuah kaderisasi yang massif. Tentunya, akan mempersempit ruang gerak kelompok-kelompok yang merasa dirinya paling benar. Dan gagasan Islam damai akan mengakar di setiap ruang-ruang publik. Dengan begitu, keharmonisan dalam berbangsa dan bernegara akan selalu kuat dan terpelihara dengan gagasan Islam damai.

Penulis adalah Gusdurian Makassar/PMII RE UMI Makassar