Opini

Iklan PKS Mengebiri NU-Muhammadiyah

Ahad, 14 Desember 2008 | 23:00 WIB

Oleh Ismatillah A. Nu’ad

Iklan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang tayang di Televisi untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda pada Oktober lalu dianggap warga Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah telah menodai nama besar dan ketokohan KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan. Pasalnya, iklan itu nyata-nyata untuk kepentingan politik. Mestinya jika PKS punya itikad baik ketika menjadikan dua ulama besar itu sebagai sumber inspirasi bagi kaum muda, tak usah mengatasnamakan partai. Justru karena mengatasnamakan partai, pada saat bersamaan, jelaslah bahwa iklan itu syarat dengan muatan dan kepentingan politik.

Sejak berdirinya atau merujuk pada Khittah awal NU maupun Muhammadiyah, dua ormas besar Islam itu bukanlah sebagai organisasi politik, melainkan sebagai jam’iyyah atau organisasi kultural yang berorientasi pada pendidikan dan dakwah. Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari maupun KH Ahmad Dahlan sejak awal memang tak memiliki orientasi politik, melainkan hanya bidang pendidikan dan dakwah yang menjadi orientasi keduanya. (Nakamura 1989, Bowen 1985)<>

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai cucu KH Hasyim Asy’ari bahkan pernah bercerita. Ketika itu, Soekarno menyuruh ajudan untuk bersilaturrahim ke kediaman Hadratus Syeikh pada sejarah awal kemerdekaan RI untuk menanyakan perihal akan di bawa ke arah mana Republik Indonesia nantinya. Hadratus Syeikh hanya berkata pada ajudan Soekarno bahwa urusan politik adalah urusan Soekarno di Jakarta. Jelaslah dari sisi itu, sejak semula Hadratus Syeikh dan tentu juga KH Ahmad Dahlan kurang punya perhatian pada politik praktis. Dua tokoh itu murni ulama yang tak mau terjerumus dalam politik praktis.

Diceritakan Martin Bruinessen (1999), geliat intelektual antara Hadratus Syeikh dan KH Ahmad Dahlan sudah terlihat ketika mereka masih belajar di Mekah. Hadratus Syeikh dan KH Ahmad Dahlan saat itu sering mendapat majalah Urwatul Wutsqo, sebuah majalah pembaruan Islam yang didirikan Jamaluddin Afghani. Majalah yang terbit di Mesir itu masuk dan beredar di Mekah dan dibaca banyak pelajar Islam Indonesia yang tengah studi di Mekah. Arus pembaruan Islam itulah yang kemudian ditebarkan oleh KH Ahmad Dahlan (dan juga KH Hasyim Asy’ari sebenarnya) ke Indonesia dengan mendirikan organisasi NU dan Muhammadiyah.

Melihat fakta sejarah semacam itu, mengenaskan kiranya ketika penokohan dua ulama besar itu dijadikan ikon untuk iklan politik. Iklan itu tak hanya mengecewakan bagi warga NU maupun Muhammadiyah, tetapi juga karena orientasi ke-Islam-an PKS berbeda dengan orientasi ke-Islam-an NU maupun Muhammadiyah yang lebih kultural dan grass root, sementara PKS merupakan fenomena muslim urban. (Imdadun, 2005).

Selain perbedaan karakter dalam mendekati Islam antara PKS dan NU-Muhammadiyah yang dilihat dari struktur sosiologis seperti muslim urban dan muslim “rural” (NU-Muhammadiyah), ada perbedaan lain yang sangat penting dan praksis serta sekiranya banyak dikritik kalangan feminis, ialah bahwa PKS meng-endorsement isu-isu pernikahan poligami. Dengan mengatasnamakan alasan dakwah bahwa poligami diperbolehkan dalam Islam, PKS secara struktural maupun di tingkatan grassroot mengamini pola pernikahan poligami dibanding monogami. Sementara, pola orientasi ke-Islam-an seperti itu sangat langka bagi komunitas NU-Muhammadiyah umumnya.

Dari titik itu pula, ketika PKS menggunakan Hadratus Syeikh dan KH Ahmad Dahlan sebagai tokoh dalam iklannya, maka sebenarnya dikhawatirkan citra PKS yang mendukung isu-isu poligami itu jatuh ke karakter dua ulama besar Indonesia itu. Seakan-akan ke-Islam-an orang NU dan Muhammadiyah itu sama, padahal berbeda sama sekali. Begitu pula dengan tradisi lainnya. Inilah hal paling dikecewakan warga NU maupun Muhammadiyah ketika mereka menyaksikan di televisi perihal isi iklan yang sudah kadung beredar luas.
Iklan PKS sebenarnya juga memperlihatkan tentang bahwa partai itu telah kehilangan tokoh pemimpin dalam internal mereka, sehingga akhirnya banyak mencatut tokoh-tokoh Islam lain yang sesungguhnya berbeda tradisinya. PKS, sebagai partai Islam, seakan-akan vakum pemimpin kharismatik yang dapat mengakomodasi massa. Berbeda dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) atau Partai Amanat Nasional (PAN) yang bisa saja mengambil tokoh-tokoh, misal, dari NU atau Muhammadiyah. Meski antara PKB-PAN dan NU-Muhammadiyah terdapat garis demarkasi yang jelas, yakni, antara partai politik dan organisasi.

Selama ini, PKS memang terkesan banyak bergerilya untuk mencari figur-figur ulama kharismatik yang diharapkan dapat menarik massa pemilih dari komunitas Islam. Strategi itu dalam beberapa hal memang berhasil, di mana PKS bisa menarik tokoh-tokoh tertentu yang memiliki titik-temu. Tapi, secara mayoritas, para tokoh banyak menolak PKS karena dua hal. Pertama, karena orientasi ke-Islam-an yang berbeda. Kedua, karena para tokoh ulama itu sejak semula sudah berkomitmen untuk tidak berpolitik praktis atau berpolitik tapi menjadi loyalis dari partai Islam lain yang lebih mewakili tradisinya.

Dari sisi itu, iklan PKS yang penuh muatan politik itu pesannya dapat mudah dibaca dalam tiga hal. Pertama, PKS memang sedang vakum kepemimpinan tokoh kharismatik di masyarakat. Kedua, dengan cara seperti dalam iklan itulah, PKS berharap bisa menarik pemilih muslim terutama generasi muda yang kurang mengerti sejarah. Ketiga, kepercayaan diri PKS sebagai partai politik Islam yang tidak ada, sehingga menggunakan tokoh NU-Muhammadiyah, misalnya. Mestinya jika percaya diri, PKS bisa memasang tokoh-tokoh dari partai sendiri.

PKS nampaknya harus lebih jeli dalam menjalankan mesin politiknya. Dalam arti, harus lebih memisahkan mana yang orientasi Islam murni dan mana yang tidak murni atau bersifat politik. KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan adalah dua tokoh Islam murni dalam pengertian ulama sejati yang tak mau berpolitik praktis. Sementara, lewat iklannya, PKS seakan-akan menganggap dua tokoh itu bisa dijadikan sebagai tokoh politik Islam. Justru dengan iklan itulah PKS sebenarnya telah menjerumuskan dua ulama besar itu seakan-akan keduanya acceptable dengan politik praktis.

Berbeda dengan penokohan dua ulama besar itu, jika PKS menggunakan Mohammad Natsir, misal, sebagai jargon ketokohan untuk iklan politiknya, hal itu masih dapat ditoleransi karena M. Natsir sendiri dalam sejarahnya adalah tokoh politik Islam, dan sekiranya mungkin bisa untuk dijadikan sebagai jargon politik bagi penokohan PKS. Tapi, saat bersamaan, PKS sekiranya harus memikir ulang ketika menjadikan KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebagai tokoh untuk kepentingan iklan politik praktis. Namun, sangat disayangkan, PKS telat melakukan itu, karena iklan yang dibuatnya sudah kadung tayang di televisi dan tentunya ditonton hampir seluruh warga NU-Muhammadiyah, hal itu tentu saja sangat mengecewakan bagi warga NU dan Muhammadiyah sejati.
 
Penulis adalah Peneliti pada Kantata Research Indonesia