Opini

Jaran Goyang di Masjid

Jumat, 23 Februari 2018 | 11:01 WIB

Oleh Abdullah Alawi 

Apa salah dan dosaku, sayang
Cinta suciku kau buang-buang
Lihat jurus yang kan ku berikan
Jaran goyang, jaran goyang

Bukan syair itu dilantunkan di masjid yang terhalang beberapa rumah dari tempat tinggal saya, yang beberapa sore ini terdengar melalui pengeras suara. Syair yang masuk masjid dengan sendirinya tersaring sedemikian rupa. Anak-anak pun paham soal itu. Mereka tak mungkin menyanyikan Oplosan atau Juragan Empang. 

Syair yang saya dengar dari masjid itu memang mengadaptasi nada Jaran Goyang. Tapi sudah berubah menjadi: 

Jangan bilang kau pemuda kuat 
Jangan mentang-mentang badan sehat 
Bila sering kau tinggalkan shalat
Inna lillah, inna lillah 
Bila direimu cinta shalawat
Bila dirimu rindu Muhammad 
Itu baru pemuda hebat
Masyallah, masyaallah

Saya menduga syair itu dipopulerkan grup shalawat para santri ketika mengisi pada sebuah acara yang kemudian diunggah di YouTube. Kemudian tersebar di kalangan anak-anak. Entah bagaimana prosesnya menjadi sah di dinyanyikan di masjid dekat kediaman saya itu. Yang jelas, telah tiga kali menjelang maghrib saya mendengarnya. Suaranya memang jauh di bawah kualitas dari yang di YouTube, tapi bukan itu yang terpenting. Pesan yang disampaikan syair itulah. 

Beberapa waktu lalu, saya mendapat share link berisi tulisan yang menyatakan haram pujian (Jawa), pupujian (Sunda). Alasannya adalah tidak dilakukan apalagi diajarkan Nabi Muhmmad. Bid’ah!

Pujian atau pupujian yang diharamkan oleh link itu adalah mendendangkan syair seperti yang anak-anak di masjid itu pada waktu menjelang shalat. Biasanya menjelang maghrib, isya, dan subuh.  

Bukan kapasitas saya membantah konten berita itu karena seratus persen tak mumpuni. Lagi pula masalah itu sudah dibahasa ulama-ulama terdahulu. Namun, selalu saja diputar berulang-ulang. Alasannya bid’ah, bid’ah, dan bid’ah. Bid’ah yang tak bertepi. Seolah agama hanya bid’ah saja. Seolah mulut mereka hanya tercipta untuk mengucapkan kata itu. Dan sayangnya, selalu tak mendengar penjalasan dari yang mereka anggap bid’ah.   

Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) PBNU KH Agus Sunyoto mengatakan, Islam masuk dan diajarkan ke Nusantara melalu jalur kesenian. Bukan lewat pedang, apalagi dengan kata “bid’ah”. Kesenianlah yang berjasa untuk Islam, bukan kata bid’ah itu. 

Saya juga menerima penjelasan yang menguatkan pujian dari Kiai M. Jadul Maula, pengasuh Pesantren Kaliopak, Yogyakarta. Menurut dia, melantunkan syair sebelum shalat merupakan proses mengintegrasikan seluruh unsur-unsur manusia; jiwa, pikiran, dan tubuh untuk menghadap Tuhan. Sebuah proses conditioning, berkonsentrasi, menghadap-Nya, supaya menjadi nikmat tatkala beribadah, bukan diawali dengan pikiran kebencian, apalagi hasrat untuk membid’ahkan pihak lain.   

Bagi dia, hanya orang yang dangkal dalam agama yang melarang. Beragama dengan tidak menikmatinya, tidak melibatkan rasa, hanya berdasarkan akal dan teks yang dia ketahui. 

Menurut Jadul, pujian adalah warisan Wali Songo yang menyebarkan agama Islam kepada masyarakat agar terlibat aktif dalam beragama. Termasuk kepada anak-anak. Mereka, di luar masjid, bisa mendendangkan syair-syair itu. Dan sebagaimana disebutkan dalam bagian awal tulisan ini, si anak yang menyanyikannya akan mengingat, mengulang pengetahuannya. Dan tentu saja dengan gembira. 

Saya sendiri punya pengalaman masa kecil yang terbiasa mendendankan pupujian di masjid bersama teman-teman. Dari situlah saya bisa menghafal nama-nama malaikat, rukun Islam, rukun agama, sifat wajib bagi Allah dan Rasul, dan syair memohon ampunan. 


Penulis adalah Nahdliyin kelahiran Sukabumi, Jawa Barat