Perhatian dunia belakangan ini mengarah ke Khabib Nurmagomedov. Nampaknya, bukan karena kemenangannya atas Conor McGregor dalam mempertahankan gelar dunia UFC (Ultimate Fighting Championship) kelas ringan, tapi kericuhan pasca pertarungan yang menciptakan hiruk-pikuk itu.
Cemoohan yang berlebihan atas Khabib oleh pendukung McGregor membuat Khabib tidak mampu mengendalikan diri dan melompat pagar arena untuk memburu orang yang mencemooh dirinya, agama, orang tua dan negaranya, akunya. Pertarungan ini memang diselimuti isu rasis yang sangat kental. Keberanian Khabib menonjolkan identitas Islamnya menuai respon negatif dari kubu lawan. McGregor beberapa kali memancing emosi publik terkait hubungan Khabib dan agamanya. Dia dengan sengaja dalam jumpa pers pra pertarungan mengajak Khabib minum wiski yang dia tahu akan ditolak olehnya. McGregor melakukan itu semata untuk memancing emosi Khabib. Perang urat saraf pun terus berlangsung hingga terjadilah apa yang terjadi pertarungan plus partai tambahan tidak resmi yaitu baku pukul setelah pertandingan. Hikmah dari perkelahian itu justru membuat ajang UFC kian populer. Ke depan, sangat mungkin perhatian dunia akan lebih tertuju ke UFC daripada tinju yang belakangan kehilangan gaungnya.
Masalah suku, agama, ras dan antargolongan atau SARA yang menyelimuti kericuhan pertarungan ini sejatinya tidak murni sentimen agama. Artinya bahwa isu Islam phobia bukanlah faktor di balik kekeruhan. Buktinya, kita mengenal banyak nama besar dalam dunia olahraga Amerika yang Muslim dan dielu-elukan. Sebut saja sang legendaris Muhammad Ali, Kareem Abdul Jaber dan Mike Tyson yang menjadi pahlawan atlet Amerika. Faktor Rusia yang menjadi kewarganegaraan Khabib yang nampaknya menjadi pemicu utama olok-olok tersebut. Rivalitas Amerika dan Rusia sangatlah tinggi dan lama. Dalam banyak pertarungan olahraga antara keduanya, jika tuan rumahnya adalah Amerika, tidak jarang olok-olok itu muncul terhadap wakil Rusia. Apalagi yang bersangkutan Muslim dengan identitas tebal, maka provokasi itu pun semakin besar. Seandainya Khabib ada pada posisi membela Amerika, bisa dipastikan isu SARA tidak terjadi dan yang terjadi justru khalayak penonton yang mayoritas warga Amerika akan meneriakkan yel-yel dukungan terhadapnya seperti kepada Muhammad Ali.
Dari sini isu SARA muncul bukan karena faktor itu sendiri tapi karena diusung oleh faktor afiliasi yang lain yang lebih dominan pengikutnya dalam perhelatan tersebut. Dalam hal ini pemerintah Amerika kurang mampu memberikan jaminan kenyamanan bagi tamu yang bertanding di negaranya sehingga masalah agama yang dijamin kebebasannya oleh konstitusi Amerika justru menjadi target serangan menjelang pertandingan.
Naiknya isu SARA terkait erat dengan menguatnya identitas keagamaan belakang ini. Umat Islam yang sesuai laporan Harriet Sherwood dalam the Guardian, merupakan agama dengan pertumbuhan populasi tercepat, ikut andil dalam naiknya identitas agama. Tidak ada yang salah dari kenaikan itu, bahkan itu bisa mendorong naiknya kesadaran keberagamaan secara umum. Permasalahannya adalah kemungkinan gesekan sosial yang ditimbulkan dari rivalitas antar agama. Ia, dalam kadar yang tinggi, akan tidak mustahil mengakibatkan munculnya konflik sektarian bahkan peperangan atas nama agama seperti abad pertengahan dahulu. Setidaknya inilah ramalan Samuel Huntington tentang proyeksi politik global yang akan didominasi konflik peradaban berbasis agama.
Kembali ke kericuhan Khabib-McGregor dan perbandingannya dengan pahlawan atlet Amerika yang ternyata keislaman mereka tidak berpengaruh negatif terhadap munculnya sentimen keagamaan, maka identitas SARA haruslah dikembalikan pada posisi primordial individu masing-masing. Agama, suku dan ras adalah afiliasi yang berada pada latar belakang dan bukan pada latar depan. Yang berada pada latar depan adalah nama negara yang dibawa bertarung oleh sang atlet dalam pertandingan. Jika dia menang dan juara, yang dikerek adalah bendera negara dan bukan bendera agama. Dengan demikian, emosi atau semangat pembelaan tersalurkan secara tepat dan relevan dengan konteks politik negara bangsa yang berlaku di dunia saat ini.
Contoh di atas juga terjadi di negara kita Indonesia. Dalam perhelatan Asian Games baru-baru ini seluruh warga bangsa bersatu jiwa mendukung atletnya tanpa memandang perbedaan agama yang dianut sang atlet. Baik Antoni Sinisuka Ginting maupun Jonatan Christie, yang keduanya penganut Kristiani, mendapat sokongan dan elu-elu masyarakat Indonesia agar memenangkan pertarungan melawan atlet negara lain. Rakyat Indonesia bersatu dalam suka dan duka mendukung wakilnya tanpa melihat perbedaan latar belakang agama. Jika ada yang mempertanyakan apa agamanya, maka hal itu menjadi pertanyaan yang tidak relevan karena yang bertarung adalah negara dan bukan agama.
Demikian juga dalam ranah yang lain seperti seni dan pendidikan, maka kemenangan dalam olimpiade sains, seumpama, adalah membawa nama negara dan menjadi kebanggaan bersama warga bangsa.
Dalam era di mana identitas agama menguat tentu tantangan terhadap naiknya sentimen keagamaan semakin besar. Penjelasan bahwa identitas kebangsaanlah (nama negara) yang layak dan legal dipertarungkan saat ini menjadi semakin penting. Kalau tidak, maka ia akan tergerus oleh identitas lain yang borderless dan masalah yang diakibatkan tidak terkendali.
Achmad Murtafi Haris, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya