Opini ESAI RAMADHAN

Kitab yang Paling Membekas dalam Hidup Saya

Sabtu, 25 Maret 2023 | 13:00 WIB

Kitab yang Paling Membekas dalam Hidup Saya

Santri Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon, Jawa Barat, sedang membaca kitab di kamarnya. (Foto ilustrasi: Kemenag/Elik Ragil)

Kitab kuning merupakan salah satu ciri utama bagi pondok pesantren. Kitab kuning yang ditulis oleh ulama-ulama masa lalu ini bukan hanya menjadi materi pelajaran, melainkan juga teman akrab bagi para santri. Tak heran bila di pesantren kerap ditemukan santri yang tengah tertidur pulas sambil mendekap kitab kuning atau memasak di dapur sambil membawa lembaran kitab, dan pemandangan lain yang menunjukkan dekatnya santri dengan kitab kuning.


Materi atau kurikulum kitab kuning yang dipelajari di satu pesantren dengan pesantren lain tidak selalu sama. Meski demikian, di setiap pesantren seluruh disiplin ilmu keislaman dipelajari dengan materi sesuai dengan jenjang pendidikan mereka. 


Setiap santri memiliki minat untuk mendalami disiplin ilmu masing-masing. Hal ini mungkin selaras dengan pepatah Arab terkenal yang berbunyi: likulli fannin rijalun, bahwa setiap disiplin ilmu memiliki pakarnya sendiri. Meski tidak mendalam, tetapi saya mengaji hampir semua jenis kitab dalam berbagai disiplin; nahwu, sharaf, fiqih, falak, balaghah, tajwid, tasawuf, mantiq, tafsir, dan hadits. Pada mulanya saya tergila-gila kitab-kitab alat; nahwu-sharaf, sehingga kitab dalam bidang itu, dari yang kecil sampai besar saya miliki. Namun, di antara kitab yang cukup membekas dalam hidup saya adalah Syarah al-Hikam, dalam bidang tasawuf. 


Kitab ini betul-betul membekas karena diajarkan oleh seorang guru/kiai yang bukan saja teliti dan detil dalam membacanya, namun juga keluasannya dalam menjelaskan isinya. Beliau juga profil al-Hikam itu sendiri. Al-Maghfurlah Kiai Mukhlas Alwan, bagi saya, bukan sekadar membaca dan menjelaskan isi dalam kitab al-Hikam, melainkan juga mempraktikkan isi dan muatan di dalam kitab tersebut. Kiai Mukhlas sendiri dikenal oleh para santri Babakan Ciwaringin sebagai seorang kiai yang mampu menyintesakan disiplin ilmu fiqih dan tasawuf. 


Al-Hikam dan Tarekat Syadziliyah

Kitab al-Hikam ditulis oleh Syekh Ibnu Athaillah al-Sakandari. Beliau merupakan seorang ulama keturunan dari keluarga Banu Judham, salah satu kabilah Arab. Ia sendiri lahir pada 648 H/1250 M dan wafat di Kairo pada 1309 M, karena sejak di masa kakeknya keluarga mereka hijrah ke kota Alexandria, Mesir. Sebagaimana dituturkan al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitabnya al-Durar al-Kaminah fi A’yan al-Mi’ah al-Tsaminah, Ibnu Athaillah belajar kepada Abu al-Abbas al-Mursi yang merupakan murid dari Abu Hasan al-Syadzili. Oleh karena itu, beliau kerap disebut sebagai mursyid ketiga bagi tarekat Syadziliyyah karena ia berguru kepada murid dari pendiri tarekat Syadziliyyah.


Sebagai sebuah kitab tasawuf, al-Hikam berisi tentang perjalanan spiritual para salik (penempuh jalan spiritual, red) untuk menempuh jalan menuju dan mendekatkan diri kepada Allah swt. Di pesantren-pesantren kitab ini diperuntukkan bagi santri kelas tinggi. Hal ini bukan saja karena tasawuf memang materi yang biasanya berada di jenjang pendidikan tingkat lanjut, tetapi juga kitab seperti al-Hikam yang dari segi muatannya berisi ilmu-ilmu hikmah yang sulit dicerna bagi santri kelas pemula. 


Kitab al-Hikam bukan sekadar kitab tasawuf belaka. Melainkan sebuah kitab yang terkait erat dengan tarekat Syadiziliyah. Sebuah tarekat yang dinisbatkan kepada Syekh Abu Hasan al-Syadzili al-Magribi. Oleh karena itu, kitab al-Hikam beredar sangat luas di hampir seluruh kawasan dunia Muslim bermazhab Sunni bersamaan dengan tersebarnya tarekat Syadziliyyah. Salah satu bukti popularitasnya bukan saja kitab al-Hikam mendapatkan respons dari banyak ulama melalui penulisan syarah, melainkan juga telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti bahasa Inggris oleh Arthur Jeffery, seorang orientalis kenamaan; bahasa Spanyol oleh Miguel Asín Palacios, dan di Indonesia sendiri kitab ini juga pernah diterjemahkan oleh Syekh Sholeh Darat dalam bahasa dan aksara Jawi Pegon.


Dalam konteks sejarah Islam di Indonesia Syekh Ibnu Athaillah penulis kitab al-Hikam juga kerap dikaitkan dengan Syekh Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunungjati Cirebon. Hal ini kemudian banyak para pengkaji menghubungkan Sunan Gunungjati sebagai seorang sufi sekaligus mursyid bagi tarekat Syadziliyyah. 


Isi Kitab Al-Hikam  

Sebagaimana karya tasawuf lainnya, isi dan muatan kitab al-Hikam bersifat universal. Meskipun ia ditulis di sekitar abad ke-13 M, akan tetapi apa yang terkandung di dalamnya tetap relevan dengan konteks kekinian. 


Kitab al-Hikam memuat sekitar 250 pasal yang mengulas aspek-aspek tasawuf dengan berbagai topik. Baik dari sisi akidah, ibadah, maupun soal muamalah. Setiap pasalnya memiliki kandungan hikmah yang tinggi. Di antara isi dari kitab al-Hikam yang terus terngiang di telinga dan tersimpan di hati saya adalah berikut ini:


لا تصحب من لا ينهضك حاله، ولا يدلك على الله مقاله


“Jangan berkawan dengan orang-orang yang keadaannya tidak membangkitkanmu, dan kata-katanya tidak membimbingmu ke jalan Allah.” 


Untaian hikmah ini menuntun saya untuk berkarib dengan orang-orang yang bisa membimbing saya ke jalan Allah swt agar selalu mendapatkan ridha-Nya. 


Kedua adalah untaian berikut:


ادفِنْ وُجُودَكَ فِي أَرضِ الخُمُولِ، فَمَا نَبَتَ مِمَّا لَم يُدفَنْ لَا يَتِمُّ نِتاجُهُ


“Benamkan dirimu dalam bumi kerendahan. Sebab sesuatu yang tumbuh tanpa dipendam (ditanam) hasilnya tidak akan sempurna”.

 

Aforisme ini memberikan nasihat bagi saya pribadi bahwa keikhlasan itu dicirikan dengan memendamkan ke-diri-an kita. Ke-aku-an (ego) harus dikubur sedalam mungkin agar kelak dapat memetik bunga (hasil) yang diinginkan.


Waryono Abdul Ghofur, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag RI