Opini

Mengatur Ulang Arah Deradikalisasi

Kamis, 16 September 2021 | 14:30 WIB

Mengatur Ulang Arah Deradikalisasi

Ilustrasi pohon radikalisme. (Foto: NU Online)

Oleh Imam Malik Riduan


Bulan ini, dua puluh tahun yang lalu, empat pesawat dibajak dan ditabrakkan ke gedung WTC (world trade center) dan Pentagon yang menjadi ikon Amerika serikat. Pelaku diidentifikasi sebagai ekstremis Muslim dan Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden bertanggung jawab atas tragedi yang menewaskan 3000 jiwa itu.

 

Setahun kemudian, Indonesia diguncang bom Bali yang menewaskan sekitar 200 orang. Tidak peduli sebesar apa pun ongkos finansial dan risiko sosialnya, baik pemerintah Amerika maupun Indonesia kemudian menyatakan “perang melawan terorisme”.  Habermas (2003) menilai sikap perang melawan teror adalah kesalahan, baik secara normatif maupun pragmatis. 


Agenda “perang” global ini membuat negara-negara dunia merevisi kebijakan antiteror mereka. Pemerintah Indonesia juga merasa perlu membuat kebijakan khusus, bahkan dengan menerbitkan undang-undang yang super bertenaga untuk menghentikan laju terorisme. Undang-undang antiteror kemudian disahkan pada Mei 2018. Sementara itu, upaya memperkuatnya masih terus dilakukan.

 

Pemerintah juga meluncurkan pelaksanaan Peraturan Presiden (Perpres) Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE). Sayangnya, ancaman teror masih dirasakan oleh bangsa Indonesia. Kini adalah saat yang tepat untuk melakukan evaluasi kebijakan perang melawan terorisme.

 
Epistemologi Anti-teror

Media ini pada 5 Agustus 2021 memberitakan dalam tiga hari, Kamis-Sabtu (12-14/8/2021), Detasemen Khusus 88 Antiteror telah menangkap 41 terduga teroris. Ahli terorisme Al Chaidar mengingatkan sekalipun tampak tidur, saat ini, Jamaah Islamiah masih terus menggencarkan perekrutan dan konsolidasi internal. Pun demikian, kondisi krusial seperti ini tidak seharusnya membuat pemerintah lalai untuk mengevaluasi, sudahkah pendekatan yang dilakukan efektif? Apakah banyaknya terduga teroris yang tertangkap mengindikasikan terkikisnya potensi teror? 


Hingga saat ini, sejatinya pemerintah tidak pernah menggeser perspektifnya terhadap terorisme. Metamorfosa kebijakan sejak 2003 sampai revisinya tahun 2018, masih melihat dengan kacamata “radikalisasi”. Mazhab radikalisasi (RAD) adalah sebuah kluster pada kajian terorisme yang mempercayai tindakan teror muncul karena paparan paham radikal. Sehingga wajar jika program andalannya adalah Deradikalisasi.

 

Pesaing mazhab RAD adalah Agensi Rasinal (AR). Bagi penganut aliran AR, terorisme terjadi karena pertimbangan logis dari pelakunya. Teroris adalah manusia independen yang memiliki akal sehat dan kebebasan dalam menentukan sikap. Sehingga pilihan melakukan teror tentu saja didasarkan pada pertimbangan logis pelakunya. 


Ekstremisme dan Ujian Komitmen Kebangsaan

Wacana bahwa terorisme tidak berhubungan dengan agama tenggelam dalam fakta keterkaitan organisasi bertajuk Islam dengan teror yang terjadi di berbagai tempat. Radikalisme dan ekstremisme yang secara teoritis berbeda, dalam perbincangan sehari-hari, keduanya dipakai untuk menunjuk kelompok yang memaksakan sikap politik yang jauh berbeda dengan arus utama. Bahkan seseorang yang memiliki pandangan radikal atau ekstrem, dianggap telah satu langkah menuju menjadi seorang teroris. 


Pandangan demikian senyatanya adalah sikap diskriminatif. Munculnya ekstremisme dan radikalisme adalah ujian bagi komitmen kebangsaan. Jika memegang teguh Bhinneka Tunggal Ika, seharusnya kita tidak memosisikan siapa pun, termasuk ekstremis, di luar lingkaran negara kesatuan Indonesia. Se-ekstrem atau seradikal apa pun pandangan dan pilihan politik harus dihargai sebagai dinamika demokrasi. 


Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah banyak menggelar pertemuan dengan kelompok radikal. Sementara itu, Ercan (2017) mengingatkan agar pelibatan kelompok radikal secara formal dikurangi dan digantikan oleh partisipasi kultural. Nuansa top-down tetap akan dirasakan karena pemerintah adalah entitas yang tidak netral.

 

Al-Momani (2010), pada kasus Australia, melaporkan ruang-ruang partisipasi yang diinisiasi oleh pemerintah justru memperburuk suasana dan menciptakan gap yang semakin dalam. Karenanya pemerintah harus mengurangi agenda-agenda formal yang hanya melibatkan perwakilan-perwakilan kelompok, untuk kemudian memberi kepercayaan kepada masyarakat untuk mengembangkan inisiatifnya sendiri.


Konsep deradikalisasi juga harus ditinjau ulang. Seorang mantan narapidana terorisme dengan tuduhan kepemilikan bahan peledak dan penyelenggaraan latihan militer mengatakan, “Saya melakukannya untuk menjaga diri dan umat Islam, tidak ada yang menjamin selain diri sendiri”.

 

Statemen tersebut senada dengan surat Sidique Khan, pelaku bom bunuh diri di salah satu Stasiun di London tahun 2005 silam. Ia menulis bahwa yang dilakukannya adalah untuk saudara-saudara sesama Muslim dari ancaman. “... I am directly responsible for protecting and avenging my Muslim brothers and sisters…” ucapnya. Dua pernyataan ini mengindikasikan bahwa mereka meneror dengan segenap kesadarannya. Mereka mengambil risiko mati bukan karena paparan radikalisme, melainkan karena perasaan terancam. 


Roda perang melawan terorisme harus terus berjalan, tetapi strateginya tidak boleh membuat ada anak rantai bangsa ini terlepas. Bhinneka Tunggal Ika adalah kontrak sosial yang mengikat seluruh bangsa. Teroris harus ditindak tegas, sementara kaum radikal dan ekstremis harus tetap dihargai pandangannya. Sesuai janji kemerdekaan, tidak boleh ada elemen bangsa yang tertinggal saat Indonesia masuk pada gerbang kemerdekaan hakiki.


Penulis adalah aktivis NU Australia, Peneliti terorisme di School for Social Sciences Western Sydney University dan dosen ISIF Cirebon