Opini

Menyikapi Perbedaan; Refleksi Atas Piagam Madinah

Sabtu, 10 Juni 2017 | 03:50 WIB

Oleh Muhamad Hizbullah
Perbedaan adalah sunnatullah dan sudah ada sejak manusia pertama kali ada di pentas dunia ini. Mulai dari jenis kelamin, warna kulit, budaya, bangsa, bahasa hingga cara pandang. Kemajemukan sudah taken for granted,realitas yang harus diterima dan disikapi secara arif dan bijaksana. Bahkan Allah menjadikan perbedaan tersebut menjadi rahmat sebagai bukti ke-Maha Kuasa dan Kayanya Zat Allah yang mampu menciptakan manusia dengan beraneka bentuk dan rupa yang berbeda. 

Tetapi perbedaan tersebut tidak semuanya disikapi dengan bijak dan toleran. Indonesia misalnya sebagai negara terbesar yang terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, budaya, dan agama rawan menimbulkan konflik. Meskipun banyak menyanggah bahwa konflik-konflik yang terjadi di Indonesia tidak berkaitan dengan suku, agama, dan budaya. Konflik-konflik tersebut lebih dilihat karena perbedaan cara pandang dan pemahaman yang berbeda atas sesuatu hal. Tetapi tetap tidak bisa dipungkiri bahwa perbedaan suku, agama, dan budaya jelas memperkuat sinyal konflik tersebut. Kasus Tolikara pada tahun 2015 dan kasus pembakaran Gereja di Aceh bulan Oktober 2015 menjadi saksi sejarah bahwa Indonesia belum bisa menerima perbedaan, mayoritas belum secara utuh menerima dan mengayomi minoritas. 

Benar yang dikatakan Gus Mus dalam bukunya Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqh Hingga Faham Kebangsaan (Mizan, 2015) menyatakan, “…kita tidak  pernah diajari berbeda. Maka, orang pun terkaget-kaget setiap melihat perbedaan. Lalu mereka yang berbeda pun saling memutlakkan pendapat dan kecendrungannya masing-masing.” Kasus perbedaan yang paling dirasakan adalah karena sentimen agama. Karena agama sebagai sebuah doktrin keyakinan maka banyak orang yang memahaminya secara sepintas dan awam, kemudian dengan gampang memberi lebel munafik, murtad, kafir, bahkan masuk neraka terhadap golongan yang berbeda dengan pemahamannya, munculnya intoleransi dan menghalalkan kekerasan hingga pembunuhan atas nama agama, Mayoritas berhak terhadap minoritas apalagi ditambah dengan hukum Indonesia yang tak bertaring maka rusaklah bangsa ini. 

Munculnya konflik berbau SARA, anti terhadap kelompok dan etnis tertentu akhir-akhir ini menjadi kehawatiran bersama dan menjadi tugas lebih berat lagi kepada pemerintah untuk lebih agresif mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Memang diakui penggunanaan simbol-simbol tertentu dan golongan banyak ditunggangi oleh oknum-oknum yang haus kekuasaan dan jabatan, tetapi pemerintah harus lebih agresif melakukan langkah-langkah preventif supaya tidak menimbulkan perpecahan dan percekcokan yang lebih parah lagi. Penyadaran wawasan kebangsaan dan keagamaan oleh para tokoh, ilmuan, dan cendekiawan di perguruan tinggi harus lebih digalakkan kembali. Dalam Pasal 2 UUD No 12/2012 tentang pendidikan tinggi disebutkan, pendidikan tinggi berdasarkan Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. landasan yuridis tersebut harus lebih dimaksimalkan dan menjadikannya sebagai doktrin kebhinekaan yang membumi dalam kehidupan yang beragam. Selain itu,wawasan keagamaan yang ditanamkan harus ingklusif dan terbuka. Agama tidak semata dipandang sebagai sebuah ajaran yang kaku, membahas masalah eskatologis semata, tetapi juga masalah-masalah pembangunan kemanusiaan, keadilan, kerjasama, pergaulan, dan menyentuh seluruh lapisan masyarakat atau menjadi rahmatan lil alamiin. 

Dua tahun ke depan, tahun 2019 sebagai puncak pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, antsipasi penggunaan isu berbau sara harus diperhatikan dari sekarang oleh pemerintah dan semua pihak. Pilkada DKI Jakarta yang baru berlangsung beberapa waktu lalu cukup menyita dan menguras tenaga serta merongrong nilai-nilai berdemokrasi, percekcokan, hingga perhatian lupa terhadap masalah-masalah pembangunan bangsa. 

Refleksi Piagam Madinah 

Contoh interaksi dengan masyarakat plural adalah pada saat Rasulullah hijrah ke Madinah. Ketika itu beliau mendapati keadaan masyarakat yang beraneka ragam, ada yang dahulu menjadi musuhnya, golongan Yahudi, dan ada yang Muslim dan non-Muslim. Langkah pertama Rasulullah ketika tiba di Madinah adalah membangun masjid sebagai tempat ibadah, kemudian mempersatukan kaum Muhajirin dan Ansor, dan selanjutnya Rasulullah membuat perjanjian dengan seluruh penduduk Madinah yang kemudian dikenal dengan Piagam Madinah. Dalam Piagam Madinah itu semua golongan diakui eksistensinya, berhak menjalankan ritual keagamaanya, dan tidak boleh diganggu oleh siapapun. Ketika itu mereka bersepakat menjadikan Nabi Muhammad sebagi pemimpin mereka dan berjanji bersama-sama menjaga Madinah dari segala macam bentuk rongrongan dan intimidasi dari pihak luar. Mereka mendirikan pasar, pusat interaksi masyarakat, dan segala macam bentuk kesejahtraan warga Madinah. Mayoritas tidak boleh menindas minoritas. Muhammad sebagai pemimpin ketika itu menjunjung tinggi nilai keadilan. Siapapun yang terbukti melakukan kesalahan harus disalahkan dan diberikan sanksi walaupun Muslim. QS. An-Nisa’: 105 menyatakan seorang Yahudi yang dituduh melakukan pencurian oleh seorang Muslim padahal si Muslim sang pencurinya. Ayat tersebut memberikan penegasan kepada Muhamad supaya jangan terpengaruh dengan “keislaman” sang pencuri itu kemudian ia memenangkan sang Yahudi. 

KH Hasyim Muzadi menyampaikan pendapatnya dalam seminar di ITS Surabaya dalam acara Isra Mi’raj 2015, “Indonesia itu  mirip dengan kondisi yang terjadi pada masa Rasulullah, karena Indonesia bukan negara agama seperti Vatikan dan Timur Tengah, dan Indonesia bukan negara sekuler seperti AS dan Eropa, namun Indonesia negara Pancasila atau daulah salam (negara bangsa) yang menjadikan agama sebagai inspirasi kenegaraan.” Lebih jauh ia menyatakan Pancasila itu harus menjadi “pintu masuk” mengundang semua tokoh agama dari NU, Muhamadiyah, NW, bahkan dengan agama di luar Islam untuk membuat kesepakatan seperti Piagam Madinah supaya tidak menimbulkan konflik intraagama dan antaragama. Karena Piagam Madinah tidak hanya sebuah perjanjian antarumat Islam tetapi dengan seluruh penduduk Madinah yang heterogen dan multikultural ketika itu. 

Karena tidak mungkin menciptakan tatanan global tanpa prinsip-prinsip keadilan, kerjasama, toleransi, dll seperti yang terkandung dalam Piagam Madinah tersebut. Hans Kungdalam Global Responsibility: In Search of a New World Ethic, pun ketika memaparkan rumusan deklarasi Dewan Parlemen Agama-agama yang kemudian menjadi 4 point yaitu, pertama, komitmen budaya antikekerasan dan menghormati kehidupan. Kedua, solidaritas dan tatanan ekonomi yang adil. Ketiga, toleransi dan hidup tulus. Keempat, kesamaan hak dan membangun kerjasama antara laki-laki dan perempuan. secara tidak sadar point-point tersebut sudah mengadopsi butir-butir isi Piagam Madinah yang dibuat Rasulullah empat belas abad yang lalu. 

Rasulullah di tengah keragaman mampu membangun sebuah masyarakat madani, membangun peradaban, dan stabilitas politik Madinah menjadi lebih baik. Dengan prinsip cinta kasih, damai, toleransi, keadilan, kerjasama, dan menerima perbedaan, beliau mampu merangkul semua pihak tanpa ternodai hak-haknya sebagai warga Madinah. Indonesia sebagai sebuah negara yang hampir sama dengan kondisi Madinah ketika itu juga bisa menjadikan point-point tersebut untuk menjadikan keberagaman Indonesia ini menjadi modal dan anugerah besar membangun masyarakat Indonesia yang maju dalam keberagaman. 

Penulis adalah Pengurus Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Jakarta