Opini

Nahdlatun Nisa’ (Korp “PMII” Putri)

Sabtu, 4 November 2017 | 18:40 WIB

Nahdlatun Nisa’ (Korp “PMII” Putri)

Nahdlatun Nisa’ (Korp “PMII” Putri)

Oleh  Rif’atuz Zuhro 
Perbaikan kaderisasi di tubuh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sedikit dan banyaknya telah dirasakan oleh kader-kader PMII se-Indonesia, entah penerimaan di setiap kader daerah merasa semakin maju atau malah sebaliknya, tentu mereka mempunyai takaran yang berbeda dalam sisi menentukan berkembang dan tidaknya. Sebagai organisasi kaderisasi, jelas PMII tidak luput dari upaya-upaya upgrading baik dalam segi materi, konten, silabus, atau bahkan akan dicetuskannya kurikulum dalam ber-PMII. Termasuk memberikan ruang terbuka untuk kader-kader Korp PMII putri (Kopri) untuk memperbaiki dan menyerukan perubahan dalam ranah publik.
 
Tiga tahun terakhir, PB PMII memperkenalkan istilah baru yang sebelumnya belum digunakan dalam kaderisasi formal PMII dalam membungkus istilah pergerakan kaum perempuan, yakni Nahdlatun Nisa’ atau kebangkitan perempuan. Bisa jadi dua kemungkinan, pertama untuk membuat hubungan PMII dan NU semakin terlihat harmonis (setelah keputusan Muktamar ke-33  NU di Jombang yang memutuskan PMII sebagai banom kemahasiswaan NU), istilah yang biasanya nampak liberal seperti gender dan feminisme lantas dibungkus dengan istilah Nahdlatun Nisa’. Kedua, memang ada niatan baik untuk memberikan ruang bahkan mendorong kader Kopri untuk bangkit dengan membawa perubahan dalam masyarakat di berbagai sektor, seperti sosial, politik, pendidikan, budaya, dan ekonomi.
 
Dalam tubuh Nahdlatul Ulama (NU) sendiri terdapat IPPNU, Fatayat NU, dan Muslimat NU sebagai wadah perjuangan perempuan Nahdliyin. Bahkan ada salah satu tokoh Muslimat NU favorit penulis yakni mantan ketua umum PP Muslimat NU yakni Asmah Sjachruni yang terkenal dengan sebutan singa podium. Ada kalimatnya yang terangkai rapi yang dapat menyulut api semangat perempuan Nahdliyin.  
 
“Jangan meminta jatah atau keistimewaan karena kodrat perempuan kita. Tapi kita harus menuntutnya jika memang layak untuk kita. Jadi, ada perjuangan. Kalau perlu kita rebut posisi itu dengan argumentasi yang tepat. Itu namanya berjuang. Jangan sekali-kali berharap diberi. Tak bakalan wanita akan diberi hak-hak yang lebih tinggi oleh kaum pria.”
 
Asmah Sjacruni, ia adalah salah satu tokoh perubahan yang lahir dari rahim Muslimat NU, karakter cerdas, kuat, tegas akan nampak apabila pembaca mau mengenal lebih dalam lagi sosok perempuan baja tersebut. Selain itu, banyak tokoh-tokoh perempuan NU lintas generasi yang patut diteladani, seperti Ny Khoiriyah Hasyim, Ny Mahmudah Mawardi, dll. Terbaru, Menteri Sosial RI Hj Khofifah Indar Parawansah, ketua umum PP Muslimat NU periode 2017-2022 yang  juga merupakan alumnus PMII yang lahir dari rahim Kopri. Mungkin, (opini penulis) inilah yang menjadi harapan besar untuk membawa pergerakan kader puteri PMII untuk mengerucut sebagai basis kaderisasi dari Muslimat NU, karena sudah terbukti, kader PMII mampu melahirkan kader mumpuni yang mampu menyokong dan membawa organisasi banom NU dengan apik. Namun, jelas pilihan tetap ada pada jati diri dan kemauan kader untuk menyalurkan hasrat berjuang dalam ranah dan wadah yang mana.
 
Mau tidak mau, kader Kopri memang harus bangkit, bangkit dari debat kusir dan mematangkan strategi untuk mengaplikasikan tujuan besar Kopri yakni, terbentuknya pribadi muslimah Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya dan komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia. 
 
Kopri merupakan bagian dari instrument membumikan ideologi Aswaja, oleh karena itu, kader Kopri harus cerdas mengurai secara sistematis tentang Aswaja serta posisi dan pembacaannya terhadap konteks kebutuhan terkini untuk sebuah misi pembebasan dari ketidakadilan. Kekerasan, marginalisasi, stereotype, subordinasi, dan beban ganda masih sangat akrab dengan perempuan Indonesia.
 
Apabila pergerakan kader Kopri masih stagnan dan setia berjalan di tempat, jangankan berkontribusi untuk membawa perubahan, dikenal masyarakatpun tidak. Karenanya, perempuan harus kuat dan progresif dalam mengamalkan ilmunya, proaktif melepaskan belenggu yang mengikat kaki dan tangannya, tidak hanya dirinya namun juga saudara sesama manusianya yang disebut perempuan.
 
Tidaklah mungkin, perjuangan tanpa ideologi yang jelas, dunia tanpa ideologi akan hancur dan berantakan, begitupun juga dengan Kopri, garis perjuangan politik atau jihad sistematis yang berlandaskan Aswaja harus tertata dan dijiwai dengan tepat. Pembacaan teks dan konteks keadaan harus dibaca dengan cermat dan tegas oleh perempuan. Nilai tawar, penyaluran kader, jelas mesti di perkuat di berbagai sektor. Tentu tidak hanya dalam ranah politik, namun penyaluran kader mesti harus sesuai dengan minat dan bakat kader itu sendiri.
 
Berdasarkan kurikulum PB Kopri PMII, terdapat tiga pilar yang harus diperjuangkan oleh kader putri. Pertama, Al-Khuriyah atau pembebasan (kemerdekaan), kader putri harus mempunyai dasar dan mental yang kuat untuk membebaskan dirinya sendiri terlebih dahulu, bebas dari kebodohan, kejumudan, dan taqlid terhadap teks-teks yang mengurung untuk berdzikir, berfikir, dan beramal shaleh lebih luas lagi. Setelah itu, kader putri harus memberikan dampak positif untuk menyumbangkan pikiran dan jiwanya lebih luas lagi, yaitu mengamalkan ilmu dan pengetahuannya untuk terbentuknya tatanan sosial yang adil makmur.
 
Kedua, Al-Adalah atau keadilan, adil sejak dalam pikiran apalagi perbuatan. Itulah representasi dari Aswaja yang tidak hanya dimaknai sebagai manhaj al fikr, namun juga alharakah maupun assiyasah. Ketiga, AlMusawwamah atau kesetaraan, yang dimaksud di sini adalah kesetaraan kesamaan hak untuk mendapatkan ruang dan akses publik untuk mengamalkan ilmu dan pengetahuan seluas-luasnya.
 
Aswaja Kopri hadir bukan hanya hadir berdimensi dengan nuansa spiritual, akan tetapi harus mampu tampil sebagai narasi yang bisa memberikan solusi untuk bangsa. Seperti, penyadaran budaya patriarki, kapitalisme pasar, imperialisme atau penjajahan gaya baru, dan fasisme religius atau pemasungan hak-hak perempuan dengan dalil agama, sehingga muncul tafsir misogenis.
 
Tidak kalah penting, untuk terwujudnya misi Nahdlatun Nisa’, kader Kopri juga harus melek dan cakap dalam dunia literasi sebab kita tidak dapat membendung perubahan monopoli zaman yang kerap disalahgunakan. Kader Kopri harus turut mengambil peran membendung isu-isu yang menggelembungkan ketidakharmonisan Islam dan Indonesia, karena asas dari Kopri adalah Pancasila, serta berkontribusi untuk menyampaikan pesan dan gagasan perubahan dengan matang melalui media massa maupun media sosial. Oleh karena itu cakap dalam orasi, literasi, dan aksi adalah rumus untuk mewujudkan Nahdlatun Nisa’ dapat lahir dari rahim Kopri.
 
Penulis adalah Sekretaris I PC PMII Jombang periode 2016-2017