Oleh Faisol Ramdhoni
Sulit mencerna fakta bahwa rentetan aksi bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya beberapa waktu lalu dilakukan oleh pasangan suami-istri Dita Oeprianto dan Puji Kuswati beserta keempat anaknya. Apalagi, keluarga Dita disebut ramah kepada tetangga dan tidak tertutup dengan lingkungan sosial tempat tinggalnya.
Dita bekerja sebagai wiraswasta menjual produk herbal minyak kemiri. Dalam menjalankan usahanya itu, ia dibantu istrinya yang pernah bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit swasta di Surabaya. Keluarga mereka tinggal di kompleks Wisma Indah, Kelurahan Wonorejo, Surabaya, perumahan yang jauh dari kesan kumuh dan padat.
Jika liburan tiba, mereka biasa pelesir ke beberapa tempat, salah satunya wisata di Kabupaten Banyuwangi: mulai dari Pantai Grajakan, Pantai Muncah, hingga Pulau Merah. Di rumah, pasangan suami-istri ini menyediakan internet dan komputer untuk anak-anaknya yang hobi bermain games.
Pendeknya, pengeboman atau aksi terorisme yang dilakukan keluarga besar Dita mematahkan asumsi umum yang selama ini berkembang bahwa terorisme kerap disebabkan oleh faktor kemiskinan dan kurangnya pendidikan serta sudah masuk ke kelas menengah
Sebenarnya, fenomena keterlibatan kelas menengah dalam aksi terorisme ini juga sudah terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Sebagai contoh,di tahun 2017 ada nama Triyono Utomo yang memperoleh master di universitas ternama di Australia dan pernah bekerja di departemen keuangan hingga bulan Februari 2016. Tapi kemudian, ia nekat ingin berhijrah ke Siria bergabung dengan ISIS.
Menguatnya Radikalisme Kelas Menengah
Bergabungnya kalangan terpelajar yang bisa dibilang golongan kelas menengah merupakan hal penting untuk mendapatkan perhatian yang cukup seirus dari semua kalangan. Sebab, prosesnya bukan datang secara tiba-tiba tapi hasil dari proses yang panjang, Dahulu, mayoritas para terduga atau terbukti ISIS berasal dari kalangan kelas bawah, yaitu mereka yang tinggal di pedesaan, miskin, dan bukan pegawai pemerintah. Tapi saat ini sudah masuk ke setiap lini kebangsaan terutama kelas menengah yang selama ini diyakini masih kebal terhadap radikalisasi.
Hasil temuan survei yang dilakukan lembaga survei Alvara Research Centre dan Mata Air Foundation yang dirilis pada tahun 2017 memaparkan fakta tersebut. Sebanyak 29,6% kalangan profesional setuju bahwa negara Islam perlu diperjuangkan untuk penerapan Islam secara kaffah dan ada 19,6 % kalangan profesional yang setuju dengan jihad. Tentu angka-angka ini meskipun tidaklah begitu besar namun tidak bisa diabaikan. Haisil suvery ini menjadi alarm yang mengatakan bahawa radikalisme kalangan kelas menengah dan terdidik ini sewaktu-waktu bisa mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, bahkan keutuhan Negara Kasatuan Republik Indonesia.
Banyak ahli mengatakan bahwa menguatnya fenomena radikalisme di kelas menengah itu, diawali saat terjadi gelombang reformasi. Dimana saat itu, gerakan yang mengatasnamakan demokrasi memberi peluang kepada kekuatan-kekuatan politik, termasuk gerakan Islamisme di Indonesia untuk berkontestasi berebut ruang-ruang publik maupun politik kekuasaan.
Adalah Verena Beittinger-Lee (2013) yang menggambarkan fenomena itu sebagai gejala uncivil society. Dalam salah satu bukunya (Un) Civil Society and Political Change in Indonesia: A Contested Arena, ia menjelaskan bahwa munculnya kelompok uncivil society tersebut tidak terlepas dari proses transisi demokrasi yang tidak sempurna di masyarakat. Ketidaksempurnaan tersebut kemudian dibuktikan dengan adanya kontestasi vis a vis antara kelompok demokrasi dan kelompok kekerasan dalam memperebutkan pengaruh di masyarakat. Selain itu, alasan lain yang bisa digunakan adalah perebutan berbagai macam sumber ekonomi-politik sehingga mendorong adanya eksklusifitas identitas kelompok.
Hal tersebut terlihat adanya pola indoktrinasi politik Islamisme yang itu kemudian menekankan pada pengedepanan prinsip nilai-nilai anti Barat, anti Kristen, anti demokrasi, maupun juga sikap anti Yahudi. Berbagai sikap “anti” tersebut menunjukkan bahwa kekalahan umat Muslim di Indonesia dalam dunia politik karena kalah bersaing dengan keempat aktor tersebut. Kondisi itulah yang kemudian memicu adanya berbagai macam pergolakan penting dalam mobilisasi massa kelas menengah Muslim Indonesia.
Dalam kasus kelas menengah Muslim di Indonesia, mobilisasi Islam kemudian dikaitkan pula dengan terbangunnya berbagai macam identitas pendukung misalnya etnisitas, suku, ras, maupun juga ikatan primordial lainnya. Dengan kata lain, Islam adalah padanan kata yang menarik dalam membangkitkan sentimen. Saat sentimen ini semakin kuat,hadirlah propaganda IISI, khilafah Islam, sebagai jalan alternatif hidup baru. Tentu tawaran ini cukup menggiurkan sebagai jawaban atau harapan baru atas rasa kekecewaan yang sudah ada.
Untuk itulah, kehadiran kekuatan kelompok moderat sangat dibutuhkan dalam mencegah semakin meluasnya doktrinasi ajaran radikalisme. Sekaligus melawan penetrasi ajaran intoleransi yang sudah mewabah di kelas menengah. Salah satu kelompok yang sangat bisa diharapkan dan sangat strategis memainkan peran ini ialah Nadhlatul Ulama.
Hal ini dikarenakan NU sebagai sebuah organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 Hijriyah/31 Januari 1926 Masehi ini pada awal lahirnya memang sebagai respon atau counter terhadap paham/gerakan radikalisme. Bahkan kesadaran untuk melawan radikalisme ini sudah berkembang di internal NU dalam beberapa tahun terkahir ini.
Peran dan Tantangan NU
Dimulai dari Muktamar Ke-32 NU tahun 2010 di Makassar, Sulawesi Selatan NU mengajukan tema ”Khidmah Nahdliyah untuk Indonesia Bermartabat”.Tema ini disusun berdasarkan keprihatinan merebaknya paham radikal, sehingga dikhawatirkan meredupkan sikap moderat yang menjadi karakteristik masyarakat Indonesia. Program aksi tersebut meliputi tiga hal, yakni dakwah, kegiatan sosial, dan pemberdayaan ekonomi.
Tersirat di dalamnya kehendak untuk membangun kemandirian umat, mengurangi kesenjangan sosial-ekonomi, memperkuat ajaran Ahlussunnah wal Jamaíah (Islam Nusantara) yang moderat, toleran dan menjauhi kekerasan, berkeadilan, dan berkeadaban.
Selanjutnya pada Muktamar Ke-33 NU tahun 2015 di Jombang, Jawa Timur, sikap NU dalam merespons perkembangan global dan nasional semakin dipertegas dengan mengambil tema ”Mengukuhkan Islam Nusantara untuk Indonesia dan Peradaban Dunia”.
Secara garis besar program aksi NU, baik yang sedang maupun yang akan dilaksanakan sebagai berikut. Pertama, bidang dakwah berupa langkah-langkah afirmasi nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaíah an-Nahdliyah sekaligus untuk menegasi paham radikal di masyarakat terutama melalui program kaderisasi yang intensif.
Inti dari dakwah tersebut menegaskan pentingnya Islam Nusantara yang dikembangkan oleh para penyebar Islam sejak awal dakwah Islam di Nusantara yang mampu mewujudkan budaya dan peradaban yang beradab, toleransi, harmoni dan cinta damai. Kedua, pemberdayaan ekonomi umat.
Kegiatan ini diarahkan untuk menggelorakan jiwa kewirausahaan di kalangan nahdliyin dan pembangunan ekonomi syari’ah dengan tujuan jangka menengah dan panjang guna membentengi umat dari dominasi kapitalisme global.
Terakhir, ketika NU menggelar Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar di NTB 23-25 November 2017 bertema ”Memperkokoh Nilai Kebangsaan Melalui Gerakan Deradikalisasi dan Penguatan Ekonomi Warga”. Acara itu momentum terbaik mengokohkan gerakan moderatisme melawan fenomena radikalisme agama yang meningkat sekaligus menegaskan sikap perlawanan NU terhadap radikalisme dan terorisme.
Akan tetapi aktualisasi kesadaran antiradikalisme tersebut belum optimal memasuki ruang-ruang kelas menengah. Boleh dibilang dakwah NU di kelas menengah yang masih kalah dengan yang lain, dengan komunitas yang cenderung “kanan”. Hal ini tergambar dalam hasil riset Alvara Research Center yang menempatkan tokoh seperti Mamah Dedeh (25,3 persen), Aa Gymnastiar (23,4 persen), dan Habib Rizieq Shihab (13,9 persen) sebagai tiga ulama terpopuler.
Gambaran itu menunjukkan, ulama kharismatik dan kiai senior di pesantren-pesantren yang tidak pernah tampil di media massa maupun media sosial akan terus ditinggalkan oleh kelas menengah.Padahal ulama-ulama seperti itulah yang dengan kedalaman ilmu dan otoritas keagamaannya diharapkan dapat menebarkan dakwah ajaran Islam yang ramah dan toleran di kelas menengah.
Untuk itu, revitalisasi dakwah NU yang menyasar kelas menengah menjadi langkah yang tak terelakkan. Membumikan nilai-nilai Aswaja NU di kalangan profesional menjadi agenda mendesak untuk diprioritaskan. Para Kyai,Dai dan sarjana NU harus terpanggil untuk mengisi ruang media sosial dengan materi-materi Aswaja Nahdliyyah, khususnya materi tentang hukum amaliyah sehari-hari beserta dalilnya (tahlil, manakib, barzanji, maulid Nabi, istighotsah), bahkan tentang tata cara tayammum, wudlu’, menghilangkan najis, dan lain-lain. Sebab saat ini di kelas menengah ke atas, sangat membutuhkan layanan praktis tentang dasar hukum dan tata cara ibadah dan hal-hal terkait muamalah yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pemanfaatan media sosial sebagai sarana dakwah bagi NU juga harus lebih ditingkatkan dan dikuatkan. Hal ini karenakan, kelas menengah merupakan pasar yang memiliki karakter yang berbeda. Komunitas kelas menengah merupakan pasar dakwah yang memiliki keterbatasan waktu karena disibukkan dengan pekerjaan sehingga mereka cenderung memilih dakwah di media sosial sebagai sumber keagamaan. Di sinilah, tokoh-tokoh NU kalah populer dengan para dai-dai yang dikategorikan berhalauan kanan.
Bisa dilihat pada YouTube, Ustadz Khalid Basalamah dan Ustadz Abdul Somad adalah contoh pemuka agama yang paling populer. Media Alquran Sunnah, nama kanal YouTube yang sering menggunggah video-video Abdul Somad, telah ditonton lebih dari 38,4 juta kali. Sementara kanal Khalid Basamalah telah ditonton lebih dari 40,5 juta kali. Di Facebook, kedua ustadz tersebut juga lumayan populer. Laman Khalid Basalamah hingga kini telah di-like 265.000 pengguna. Sementara laman Abdul Somad mendapat like dari 688.000 pengguna.
Sedangkan tokoh NU lumayan populer di platform Twitter hanya satu yakni tokoh agama yang telah lama hadir adalah K.H. Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus. Ia menjadi salah satu yang terdepan. Hingga kini, ia telah memiliki 1,56 juta pengikut di akun resmi Twitternya, @gusmusgusmu
Temuan lain yang mencengangkan, pemaparan Wakil Sekretaris PWNU Jawa Timur Ahmad Rubaidi dalam disertasinya yang bertajuk “Pergeseran Kelas Menengah NU; Studi tentang Pergeseram Ideologi dari Moderat kepada Islamisme dan Postislamisme Pascareformasi di Jawa Timur”.Dalam kajiannya disebutkan, banyak hal menarik dari NU usai transisi dari era Orde Baru (Orba) menuju reformasi. Selain membawa dampak negatif juga positif secara bersamaan.
Salah satu fenomena menarik untuk dikaji lebih mendalam adalah terjadinya pergeseran lapisan kelas menengah NU dari yang awalnya memegang teguh prinsip-prinsip ideologi ke-Islam-an yang bercorak moderat bergeser ke arah corak pemahaman Islam yang bergaris keras, atau identik dengan Islamisme.Banyak yang mengatakan bahwa fenomena ini sebagai kebangkitan konservatisme nahdliyin.
Tentu hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi NU dalam upayanya melawan radikalisme. Meskipun lingkup penelitiannya masih sebatas Jawa Timur danbelum bisa dikatakan mewakili NU di seluruh Indonesia. Namun sebagaimana diketahui bersama, Jawa Timur merupakan basis NU, di tempat inilah NU dilahirkan dan berkembang. Maka tidaklah salah jika berasumsi jika di basis NU saja kelas menengahnya bergeser ke kanan maka di tempat lain hampir bisa dipastikan hal itu juga terjadi.
Ditengarai fenomena konservatisne di internal NU ini banyak disebabkan karena kalangan elitnya lebih tampil sebagai elit politik daripada sebagai elit masyarakat yang dapat menjadi penggerak moral dan nilai-nilai bangsa.Visi NU yang progresif menyuarakan demokratisasi dan pluralisme seperti di era 1980-1990an menjadi agak berkurang karena para tokohnya lebih terbuka untuk berinteraksi dalam politik praktis, sehingga mereka pragmatis dan tidak cukup idealis untuk memperjuangkan nilai-nilai yang diusung NU.
Penulis adalah Ketua Lakpesdam PCNU Sampang