Opini

Pengajaran Bahasa dan Sastra di Pesantren

Ahad, 17 Juni 2012 | 00:37 WIB

Di pesantren, bahasa Arab merupakan salah satu materi pokok pembelajaran. Hal ini dilatarbelakangi paling tidak oleh tiga hal. Pertama, teks-teks kunci yang dipelajari di pesantren, dalam semua fan ilmunya, rerata masih menggunakan literatur berbahasa Arab.

<>
Kedua, sumber paling dasar dan otentik ajaran pesantren, yakni Al-Qur’an, Hadist, dan Atsar (opini) Sahabat, juga menggunakan bahasa Arab. Ketiga, dalam Surah Yusuf Ayat ke-2 ditegaskan oleh Allah Swt, bahwa kitab suci umat Islam memang diturunkan dalam bahasa Arab. Penegasan ini secara sosiologis melahirkan dimensi teologis di mana mempelajari bahasa Arab bukan seperti mempelajari bahasa asing lainnya, namun ada dimensi “transendental”, dengan kata lain bagian dari ibadah.

Yang menarik, dan banyak disadari berbagai kalangan, materi pembelajaran bahasa Arab menggunakan teks yang disusun dalam bentuk --sekaligus juga metode-- sastrawi, yakni puisi atau nazdoman (syi’ir). 

Hal ini adalah sesuatu yang tidak ditemukan di komunitas maupun institusi pendidikan keislaman lain di Indonesia. Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah, Maqshud, Jauharul Maknun, hanyalah sebagian kecil contoh teks standar yang dipakai pesantren dalam mempelajari gramatika bahasa Arab. 

Keberhasilan menghafal bait-bait syair dalam kitab-kitab tersebut merupakan prestasi tersendiri di mata santri. Bagi komunitas lain, menghafalkan hal tersebut barangkali akan menguras energi tersendiri. 

Hal tersebut menunjukkan bahwa tradisi sastra di pesantren sangat kuat, paling tidak dalam salah satu genre sastra, yakni puisi. Setahu saya, tidak ada satupun bahasa di dunia ini dirumuskan dan diajarkan dalam bentuk puisi secara utuh. Banyak pemikir dunia menggunakan puisi atau genre sastra lainnya seperti novel sebagai arena mengekspresikan gagasan mereka, namun tidak dalam konteks pembelajaran bahasa.

Jika dilihat lebih jauh, bukan hanya gramatika bahasa Arab, namun disiplin ilmu lainnya seperti akidah, syariah, tarikh, sampai tasawwuf, tidak jarang menggunakan genre puisi. Pada sisi lain, harus diakui, karya sastra seperti cerpen (qishoh qoshiroh), novel (riwayat), sangat jarang ditemukan di pesantren. Yang paling mendekati adalah semacam hikayat (cerita pendek yang mengandung hikmah). 

Sementara karya-karya tassawuf besar yang ditulis dengan keindahan sastrawi tingkat tinggi seperti karya-karya Imam Qusyairi, Rumi, Imam Bushiri, lebih dikategorikan sastra sufi, sesuatu yang disebut Danarto sebagai genre tersendiri. 

Barangkali dari khazanah di atas kemudian muncul istilah “sastra pesantren”. Sebuah istilah yang masih dalam perdebatan baik dalam kalangan pesantren maupun luar. Bagi yang setuju dengan istilah sastra pesantren, dapat dipetakan dalam beberapa hujah.

Pertama, pesantren memang kaya dengan tradisi sastra seperti diuraikan di atas. Hal ini lebih menunjuk pada konsumsi sastra oleh kalangan pesantren. Konsumsi sastrawi ini, yang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari, ketika dieksternalisasikan (diterjemahkan, dipentaskan, dinikmati publik) tersisa impresi sastrawi yang sublim dan mendalam. Kedua, banyak sastrawan lahir dari latar belakang sosio-religio-kultural pesantren. Karya sastra mereka sedikit banyak dipengaruhi oleh dunia pesantren sebagaimana terekspresikan dalam struktur psikologi dalam karya maupun settingnya. 

Ketiga, sastra pesantren membedakan dengan dirinya dari sumber dan kandungan nilai yang hendak disampaikan kepada publik. Keempat, banyak karya sastra lahir dari dunia pesantren. 

Sementara bagi yang tidak setuju membangun alasan sebagai berikut ini. Pertama, apa yang dimaksud dengan tradisi sastra di pesantren tidaklah berbeda dengan genre sastra konvensional. Artinya, sastra pesantren belumlah sampai pada pembentukan satu genre tersendiri, sehingga dapat mengidentifikasi diri sebagai sastra pesantren. Bahkan, produk sastra yang disebut sebagai sastra pesantren seperti Alfiyyah merupakan karya ulama luar, bukan dari pesantren sendiri.

Kedua, para sastrawan yang berlatar belakang pesantren adalah mereka yang mengalami proses dan pematangan sastrawi di luar habitus pesantren. Pesantren sebatas latar sosial, sementara proses kreatif itu lebih banyak dibentuk dalam interaksinya dengan elemen-elemen luar pesantren, atau institusi lain.

Ketiga, setiap karya sastra selalu memuat pesan, baik nilai, gagasan, ideologi, maupun kepentingan tertentu. Pendek kata, nilai yang tersirat bukanlah semata-mata khas pesantren. Keempat, banyaknya karya sastra dari pesantren hanyalah atributif, sebagaimana bisa juga dilekatkan pada sastra universitas, dan lainnya.

Tulisan sederhana ini tidak ingin masuk dalam debat tersebut. Bagi penulis, dalam derajat tertentu, tidak dibutuhkan identifikasi khusus sastra pesantren. Justru yang terpenting adalah menyadari bahwa susastra pesantren telah mempengaruhi sejarah panjang sastra Nusantara. Pengaruh tersbeut bukan hanya di ranah istilah (kasidah, burdah, hikayat) namun juga kandungannya. 

Tulisan pendek ini hanya akan memberikan beberapa catatan. Pertama, pada periode tertentu, terutama, abad 18-19, telah muncul berbagai ajaran pesantren yang ditulis dalam bentuk puisi, baik itu berbahasa Arab maupun lokal. 

Para penulis tersebut boleh dikatakan sepenuhnya murni produk proses pendidikan pesantren. Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari mengarang kitab al-Nurul Mubin, KH Abdul Hadi Zahid Langitan menerjemahkan kitab Qashidah al-Munfarijah dengan model kitab makna gandul, Mbah Kiai Dimyathi Tremas mengarang syair al-Asmaul Husna, seorang ulama asal Banjarmasin bernama Ahmad Jamhuri juga menulis syair Kanz al-Asna. Di Cirebon, Kiai Nur Khalish Hannan dari Ponpes Al-Hikmah, menulis nadzam 99 al-Asmaul husna. Itu sekedar contoh, yang tidak disebut lebih beragam dan lebih banyak.

Kedua, saat ini telah muncul karya sastra, baik puisi maupun novel, juga humor, yang lahir dari generasi muda pesantren. Karya-karya yang diterbitkan beberapa penerbit seperti Matapena, Diva, dan lainnya, secara jelas menggambarkan arus tersebut. 

Meskipun, sekali lagi, proses mereka tidak hanya diperoleh di pesantren. Namun karya mereka telah menunjukkan sebentuk transformasi dari produk pada abad 18-19 tersebut. Dua hal yang mencirikan karya ini adalah latar sosial pesantren yang khas, dan nilai dasar yang hendak disampaikan. Silakan tengok karya-karya, misalnya Acep Zamzam Noor, D. Zawawi Imron, Hamdi Salad, Mathori A Elwa untuk puisi. Ahmad Tohari, Gus Mus, untuk novel, dan cerita pendek.

Ketiga, jika melihat struktur kurikulum, fokus utama pengajaran pesantren saat ini bukanlah pada aspek sastrawinya, namun pada aspek kebahasaannya. Hal ini barangkali juga menjadi penjelas kenapa modal sosial dan kultural pesantren belum juga mengarah ke pembentukan genra sastra khas pesantren. Hanya saja timbul pertanyaan, mengapa pesantren di era abad 18-19 berhasil melahirkan ulama-ulama produk murni pesantren dengan karya sastra yang bernilai tinggi, sedangkan saat ini cukup jarang? Sebagai pengecualian langka dapat disebut, seperti KH Sahal Mahfudz, yang menulis beberapa karya puisi seperti al-Tsamarat al-Hajiniyyah yang berisi 166 bait yang menjelaskan dasar-dasar fiqih. 

Keempat, terlepas dari realitas di atas, pesantren merupakan ruang sosial-budaya, di mana modal sosial bersastra begitu kaya dan merasuk hingga sumsum kesadaran terdalam para santri. Di pesantren, tiada hari tanpa berpuisi. Dari pelajaran sampai berdoa pun kaya akan nuansa sastranya. Bermunajat di keheningan malam selalu sambil melafalkan bait-bait indah. Artinya, pesantren pada dasarnya sangat berpeluang menjadikan dirinya sebagai institusi yang produktif dalam menghasilkan kaya sastra.

Dalam konteks ini, politik identitas sastra pesantren tidak lagi relevan. Proses sejarah yang akan menjawab akan ke mana pada akhirnya tradisi sastra di pesantren. Jika pada akhirnya membentuk sebuah genre tersendiri, maka publik dengan sendirinya akan mengakui adanya sastra pesantren. 

Jika tidak, tanpa menggunakan istilah tersebut, publik juga paham dan mengakui kontribusi pesantren dalam sastra dan perannya menjaga identitas sastra nusantara. 

Untuk mewujudkan hal ini memang dibutuhkan sekian prasyarat. Prasyarat paling pokok adalah dua hal. Pertama, atmosfer akademik pesantren harus mampu menumbuhkan sekian kegelisahan ketika bersentuhan dengan realitas sosial. Kegelisahan adalah pertanda bekerjanya respons kreatif manusia terhadap berbagai anomali dan krisis sosial di lingkungannya. Tanpa kegelisahan mustahil lahir pemikiran besar. 

Kedua, pengajaran bahasa Arab harus lebih disetimbangkan dengan pengajaran sastranya, sehingga santri memiliki kemampuan teknis berkarya sastra secara kreatif.

Titik temu akan kegelisahan santri dan kemampuan bersastra berpotensi melahirkan sastrawan-sastrawan besar dari pesantren dengan ide-ide transformatif dari pesantren. Kondisi objektif realitas sosial sangat membutuhkan arus sastra baru di tengah arus budaya pop yang hedonistik dan sekularistik (menjauhkan publik dari nilai-nilai profetik), dan materialisme kebudayaan yang menggerus tugas liberasi dan pencerahan sastra. Sastra pesantren merupakan salah satu kemungkinan yang paling mungkin diharapkan. (M. Mustafied, Pengasuh Pesantren Global Pelajar-Mahasiswa, PP Aswaja Nusantara, Mlangi Yogyakarta