Oleh Ibnu Zahid Abdo el-Moeid
Shalat wajib 5 waktu disyariatkan saat peristiwa Isra' dan Mi'raj. Adapun Isra' dan Mi'raj terjadi pada hari Senin Legi tanggal 27 Rajab –3 H (hijriah)/19 Maret 619 M (masehi). Sebagian riwayat mengatakan 16 bulan sebelum hijrah, sebagian lagi mengatakan 5 tahun sebelum hijrah. Sedangkan shalat gerhana baru disyariatkan 6 tahun 2 bulan setelah Isra' dan Mi’raj. Shalat gerhana disyariatkan pertama kali pada tahun ke-5 hijrah, yakni ketika terjadi gerhana bulan total pada malam Rabu 14 Jumadal Akhirah 4 H, bertepatan dengan 20 November 625 M.
Sejak disyariatkannya shalat gerhana, 14 Jumadal Akhirah 4 H/20 November 625 M sampai Rasulullah SAW wafat pada hari Senin Legi, 14 Rabi’ul Awal 11 H/8 Juni 632 M terjadi 3 kali gerhana matahari dan 5 kali gerhana bulan. Menurut riwayat, Rasulullah SAW wafat tanggal 12 Rabi’ul Awal. Lebih detalinya gerhana yang terjadi dalam kurun waktu tersebut berdasarkan perhitungan hisab tadqiqi, lihat tabel di bawah.
Sejak disyariatkannya shalat gerhana sampai beliau wafat, Rasulullah SAW melakukan shalat gerhana hanya dua kali. Yang pertama saat gerhana bulan, 14 Jumadal Akhirah 4 H yang bertepatan dengan 20 November 625 M; dan yang kedua saat gerhana matahari, 29 Syawal 10 H yang bertepatan dengan 27 Januari 632 M. Namun di dalam kitab Syarah Shahihul Bukhari Liibnil Bathal disebutkan bahwa Rasulullah SAW shalat gerhana beberapa kali.
Kenapa Rasulullah hanya shalat satu kali gerhana bulan dan satu kali gerhana matahari, padahal setelah disyariatkannya shalat gerhana, menurut hisab masih terjadi 4 kali gerhana bulan dan 3 kali gerhan matahari? Memang betul secara hisab terjadi beberapa kali gerhana bulan dan matahari namun waktu terjadinya gerhana bulan maupun matahari terlalu dekat dengan terbit dan terbenamnya bulan atau matahari, sehingga waktunya sempit.
Berikut sedikit uraian kronologi gerhana yang ada di tabel atas.
1. Enam bulan setelah gerhana bulan yang pertama kali disyari'atkan tepatnya 15 Dzulhijjah 4 H/17 Mei 2626 M terjadi gerhana bulan parsial namun waktunya menjelang shubuh dan beberapa saat setelah shubuh bulan tenggelam dalam keadaan gerhana.
2. Sebelas bulan berikutnya tepatnya 29 Dzulqo'dah 5 H/21 April 627 M terjadi gerhana matahari, namun persentasi piringan matahari yang tertutup hanya 5 persen, kemungkinan besar tidak bisa dilihat dengan mata telanjang.
3. Sebelas bulan kemudian tepatnya 14 Dzulqo'dah 6 H/25 Maret 628 M terjadi gerhana bulan dengan persentasi gerhana 31 persen namun terjadi saat-saat maghrib. Awal gerhana terjadi sebelum bulan terbit, sehingga saat terbit, bulan sudah dalam keadaan gerhana, lalu beberpa menit sebelum waktu isya', gerhana sudah berakhir.
4. Enam bulan berikutnya tepatnya 29 Jumadal Ula 7 H/3 Oktober 628 M terjadi gerhana matahari, namun persentasi piringan matahari yang tertutup hanya 12 persen. kemungkinan besar tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Awal gerhana terjadi sebelum matahari terbit dilihat dari Madinah, sehingga saat terbit, matahari sudah dalam keadaan gerhana, lalu beberpa menit setelah matahari terbit, gerhana sudah berakhir.
5. Lima bulan berikutnya tepatnya 14 Dzulqo'dah 7 H/15 Maret 629 M terjadi gerhana bulan total di tengah malam. Bulan Maret adalah mulai berakhirnya musim dingin. Aktifitas malam masyarakat Arab masih rendah karena beberapa hari sebelumnyah suhu udara masih dingin. Disamping itu sisa-sisa mendung kemungkinan masih banyak sehingga bulan yang sedang gerhana luput dari perhatian masyarakat Madinah saat itu, selebihnya wallohu A'lam.
6. Dua belas bulan berikutnya, tepatnya 15 Dzulqo'dah 8H/4 Maret 630 M terjadi gerhana sebagian dengan persentasi puncak gerhan sekitar 68 persen, namun terjadi saat-saat maghrib. Awal gerhana terjadi sebelum bulan terbit, sehingga saat terbit, bulan sudah dalam keadaan gerhana, lalu beberapa menit (23 menit) setelah matahari terbenam (waktu maghrib) gerhana sudah berakhir.
7. Duapuluh tiga bulan berikutnya tepatnya 29 Syawal 10 H/27 Januari 632 M terjadi gerhana matahari dengan persentasi puncak gerhana 82 persen. Bertepatan dengan peristiwa gerhana tersebut, tepatnya malam hari sebelum gerhana, Sayyid Ibrohim putra Rasulullah SAW dari ibu Maria Al-QIbtiyah wafat. Pada saat gerhana matahari inilah pertama kali sekaligus terakhir kalinya Rasulullah SAW melaksanakan shalat gerhana matahari.
Kontroversi Gerhana Matahari Zaman Nabi
Ketika terjadi gerhana, kita pasti teringat akan wafatnya sayyid Ibrohim, putra Rasulullah SAW dari Maria Al-Qibtiyah binti Syam’un (Istri Jariyah rosul hadiah dari penguasa Mesir, Juraij bin Mina Al-Mukaukis) yang wafat saat terjadi gerhana matahari, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits :
عن عبد الرحمن بن حسان بن ثابت عن أمه سيرين قالت : حضرت موت إبراهيم ابن النبى صلى الله عليه وسلم فكسفت الشمس يومئذ فقال الناس : هذا لموت إبراهيم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم :« إن الشمس لا تنكسف لموت أحد ولا لحياته ». ومات يوم الثلاثاء لعشر خلون من ربيع الأول سنة عشر
Dari Abdurrohman bin Hasan bin Tsabit dari ibunya Sirin katanya:“Saya telah menghadiri kematian Ibrahim putra Rosululooh SAW. Dan pada hari tersebut terjadi gerhana matahari. Lantas orang pada kasak-kusuk bahwa gerhana tersebut terjadi karena wafatnya Ibrohim, kemudian Rasulullah SAW bersabda “ Sesungguhnya matahari dan bulan itu dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Alloh, tidaklah keduanya gerhana karena mati atau hidupnya seseorang. Beliau wafat pada hari Selasa, 10 hari dari bulan Rabi’ul Awal tahun 10 H.
Menurut riwayat yang kuat menyebutkan bahwa gerhana matahari yang bertepatan dengan wafatnya sayyid Ibrohim terjadi pada tanggal 10 Rabi’ul Awwal 10 H sementara menurut riwayat lain menyebutkan bulan Romadlon dan bulan Dzulhijjah, bahkan ada yang menyebutkan terjadi pada saat penjanjian hudaibiyah.
Hal ini sangat anomali dengan kaedah hisab yang mana gerhana matahari mestinya terjadi pada pada akhir bulan qomariyah (penileman) yakni saat ijtimak/konjungsi, sedangkan gerhana bulan terjadi pada saat purnama/badr.
Dari penelusuran hisab, sejak tahun 8 (tahun lahirnya sayyid Ibrohim) sampai 10 hijriyah hanya terjadi satu kali gerhana matahari, yaitu gerhana cincin yang terjadi pada hari Senin Pon, 29 Syawal 10 H, bertepatan dengan 27 Januari 632 M, terjadi pada pagi hari jam 07:15 dan berakhir pada jam 09:53. waktu Madinah. Dengan demikian maka kemungkinan besar wafatnya sayyid Ibrohim adalah malam Senin, 29 Syawwal 10 H.
Lalu bagaimana dengan riwayat yang menyebutkan terjadi pada tanggal 10 Rabi’ul Awwal 10 H? Riwayat tersebut tidaklah salah karena saat itu masyarakat Arab belum mempunyai kalender baku yang menjadi patokan syar’i secara umum. Saat itu sistem kalender masih sering berubah, kabilah Arab seringkali menambah atau mengurangi bilangan bulan dalam setahun untuk kepentingan perang, kadang dalam setahun ada 13 bulan. Kalender qomariyah mulai tertib setelah nabi menyampaikan ayat ke 36 surat At-Taubah pada waktu khutbah hari Tasyrik di Mina.
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ (التوبة 36)
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus” (At-Taubah 36)
إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ يُضَلُّ بِهِ الَّذِينَ كَفَرُوا يُحِلُّونَهُ عَامًا وَيُحَرِّمُونَهُ عَامًا لِيُوَاطِئُوا عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فَيُحِلُّوا مَا حَرَّمَ اللَّهُ زُيِّنَ لَهُمْ سُوءُ أَعْمَالِهِمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ (التوبة 37)
“Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran. Disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir” (At-Taubah 37)
Sebelum ayat tersebut turun, kalender bulan qomariyah diselaraskan dengan kalender syamsiyah sehingga dalam 3 tahun terdapat tahun yang jumlah bulannya 13 bulan. Sebelum dan sa’at berkembangnya Islam di jazirah Arab, baik kalender Qomariyah (Lunar Calendar) maupun Syamsiyah (Solar Calendar) sudah dikenal akan tetapi belum ada patokan tahunnya serta kaidah-kaidah yang baku yang menjadi ketetapan kalender sehingga baik awal tahun maupun awal bulan serta jumlah bulan dalam setahun tidak beraturan.
Baru pada masa kholifah Umar bin Khottob beliau mengumpulkan segenap sahabat serta elit-elit pemerintahan pada hari Rabu 20 Jumadil Akhir tahun 17 dari hijrah yang bertepatan dengan 8 Juli 638 M, untuk membahas perlunya sebuah kalender yang baku. Akhirnya disepakati sebuah kalender yang berbasis bulan, Lunar System. Diputuskan bahwa awal tahun hijri dimulai pada sa’at nabi berangkat hijrah ke Madinah yaitu tahun 622 M sedangkan awal bulannya dimulai dari Muharrom, karena pada sa’at itu berakhirnya aktivitas ibadah haji dan menuju kehidupan yang baru. 1 Muharrom 1 H bertepatan dengan 16 Juli 622 M tepat pada hari Jumat Legi.
Hukum Shalat Gerhana
Menurut Jumhurul Ulama’, shalat gerhana, baik gerhana matahari maupun bulan hukumnya sunnah muakkadah, sunnah yang sangat ditekankan, seperti Shalat Hari Raya. Menurut pendapat Malikiyah dan Hanafiyah untuk gerhana bulan sunnah mandubah berbeda dengan shalat gerhana matahari yang menurut mereka sunnah muakkadah. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa hukum shalat gerhana adalah fardlu kifayah seperti shalat jenazah.
Firman Allah di dalam Al-Qur'an :
وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ (فصلت 37)
Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah engka sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah Yang menciptakannya, Jika Ialah yang kamu hendak.(QS. Fushshilat : 37)
Maksud dari perintah Allah SWT untuk bersujud kepada Yang Menciptakan matahari dan bulan adalah perintah untuk mengerjakan shalat gerhana matahari dan gerhana bulan. Di dalam hadits disebutkan:
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِيَ
Artinya : Sesungguhnya matahari dan bulan adalah sebuah tanda dari tanda-tanda Allah SWT. Keduanya tidak menjadi gerhana disebabkan kematian seseorang atau kelahirannya. Bila kalian mendapati gerhana, maka lakukanlah shalat dan berdoalah hingga gerhana pulih kembali. (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Shalat gerhana disunnahkan dilakukan secara berjama'ah, lebih utama lagi dilaksanakan di masjid. Disunnahkan mandi sebelum berangkat shalat gerhana. Tidak disunnahkan adzan dan iqomah ketika akan melaksanakan shalat gerhana, tetapi cukup dengan seruan "Asshalatu Jami'ah".
Imam shalat gerhana disunnahkan dengan suara keras saat membaca Al-Fatihah dan Surat untuk gerhana bulan dan dengan suara lirih untuk gerhana matahari. Menurut madzhab Hambali, Khottobi dan Ibnu Mundzir disunnahkan keras juga pada shalat gerhana matahari.
Tata cara shalat gerhana sebagai berikut:
1. Dikerjakan dengan 2 (dua) rakaat seperti shalat sunnah biasa, tanpa rukuk dua kali. Bahkan tidak syah jika dilakukan dengan 2 kali berdiri dan 2 kali rukuk menurut pendapat imam Abu Hanifah.
2. Dikerjakan dengan 2 rakaat, di dalam setiap rakaat 2 kali berdiri membaca Al-Fatihan dan surat dan 2 kali ruku' tanpa memanjangkan bacaan surat setelah Al-Fatihah saat berdiri, serta tanpa memanjangkan bacaan tasbih di dalam ruku' dan sujudnya.
3. Dikerjakan dengan 2 rakaat, di dalam setiap rakaat 2 kali berdiri dan 2 kali ruku'. Pada setiap rakaa't setelah membaca Al-Fatihah membaca surat yang panjang, lalu ruku' dan membaca tasbih yang panjang, lalu berdiri membaca Al-Fatihah lagi, lalu membaca surat yang panjang namun tidak sepanjang surat sebelumnya, lalu rukuk kembali dan membaca tasbih yang panjang, lalu I'tidal, lalu sujud dua kali dengan memanjangkan tasbih, sujud yang pertama lebih lama daripada sujud yang kedua. Kemudian berdiri untuk roka'at yang kedua dengan tata cara seperti rakaat pertama. Bacaan surat dan tasbih pada roka'at yang kedua lebih pendek dari pada roka'at yang pertama.
Dari ketiga cara di atas yang paling utama adalah nomor tiga.
Setelah selesai shalat disunnahkan khutbah dua kali jika dilakukan secara berjama'ah, jika shalat sendirian tidak disunnahkan khutbah. Namun menurut imam Ahmad, Abu Hanifah, dan Abu Yusuf tidak disunnahkan khutbah walaupun berjama'ah. Di dalam khutbahnya disunnahkan menyeruhkan taubat dari maksiat, memperbanyak shodaqoh, berbuat kebaikan, memperbanyak dzikir, do'a dan istighfar.
Jika gerhana berbarengan dengan shalat janazah maka didahulukan shalat janazah. jika berbarengan dengan shalat fardu dan shalat Id maka didahulukan shalat gerhana jika waktu shalat fardlu masih luas tetapi jika takut waktunya shalat fardlu habis maka didahulukan shalat fardlunya daripada shalat gerhana. Apabila berbarengan dengan shalat Jumat jika waktunya masih luas maka didahulukan shalat gerhana lalu khutbah Jumat sekaligus khutbah gerhana. jika gerhana berbarengan dengan shalat taroweh dan witir maka didahulukan shalat gerhana walaupun dikhawatirkan tidak cukup waktu untuk shalat taroweh maupun witir.
Kapan makmum masbuq terhitung mendapatkan raka'at?
Seperti kita ketahui bahwa tata cara shalat gerhana ini berbeda dengan shalat biasa dimana terdapat dua kali rukuk dan dua kali berdiri, kecuali pendapat Hanafi.
Menurut madzhab Maliki : Makmum terhitung dapat rakaat jika makmum bisa mendapati rukuk yang kedua bersama imam dengan thuma'ninah. Walaupun tidak mendapati rukuk yang pertama bersama imam tetap terhitung dapat rakaat karena menurut Maliki rukuk dan berdiri yang pertama adalah sunnah.
Menurut madzhab Syafi'i dan Hambali : Makmum terhitung dapat rakaat jika makmum bisa mendapati rukuk yang pertama bersama imam dengan thuma'ninah, sehingga jika hanya mendapati imam di dalam rukuk yang kedua saja maka tidak terhitung dapat rakaat bersama imam.
Waktu Shalat Gerhana
Menurut ilmu hisab, di dalam gerhana bulan, bayangan yang menutupi bulan itu ada dua. Yang pertama bayangan penumbra dan yang kedua banyak umbra. Bayangan umbra adalah bayangan inti bumi sedangkan bayangan penumbra adalah bayangan bias bumi, sehingga saat bayangan penumbra menyentuh piringan bulan, tidak bisa diidentifikasi secara kasat mata, bulan terlihat seperti biasa, utuh namun agak redup sedikit. Gerhana bulan baru bisa diidentifikasi dengan mata telanjang ketika bayangan umbra menyentuh piringan bulan.
Dengan demikian secara umum yang disebut gerhana bulan yaitu sejak bayangan umbra (bayangan inti) bumi menyentuh piringan bulan sampai seluruh bayangan umbra lepas dari piringan bulan. Adapun gerhana matahari yaitu sejak bayangan umbra bulan menyentuh piringan matahari sampai seluruh bayangan umbra lepas dari piringan matahari.
Menurut fiqih, masuknya waktu shalat gerhana, baik gerhana bulan maupun matahari adalah sejak tertutupnya piringan bulan atau matahari. Batas akhir waktu shalat gerhana matahari adalah pulihnya kembali gerhana secara penuh atau terbenamnya matahari walaupun terbenam masih dalam keadaan gerhana. sedangkan batas akhir gerhana bulan adalah pulihnya kembali gerhana secara penuh atau terbitnya matahari walaupun bulan masih dalam keadaan gerhana.
Menurut imam Syafi'I dan imam Malik, shalat gerhana boleh dilakukan pada saat-saat makruhat karena termasuk shalat yang ada sebabnya. Menurut imam Hanafi dan Imam Achmad tidak boleh, namun cukup dengan membaca tasbih sebagai gantinya.
Bagaimana kalau menurut hisab terjadi gerhana tetapi tertutup mendung?
Mengqiyaskan seperti halnya hilal, dari Ibnu Daqiq Al-Iidi dan Ibnu Hajar di dalam kitab Tuhfahnya, Syeikh Bakhit Al-Muthi'i menjelaskan bahwa jika menurut hisab yang qoth'i (kuat kepastinnya) hilal sudah ada dan memungkinkan untuk bisa dilihat setelah maghrib, namun ternyata tidak bisa dilihat karena terhalang mendung maka hal ini bisa menggunakan perhitungan hisab untuk penentuan awal bulan. Jika penentuan awal bulan saja yang notabene menentukan sesuatu yang wajib cukup dengan hisab yang qoth'i maka apalagi untuk menentukan sesuatu yang sunnah, gerhana misalnya. Kita semua tahu bahwa hisab hilal, gerhana bulan maupun gerhana matahari adalah perhitungan yang sama-sama pasti dan meyakinkan.
Namun Ibnu Hajar di dalam kitab Tuhfah terkait shalat gerhana mengatakan bahwa: Jika bulan atau matahari terhalang oleh mendung sebelum gerhana terlihat tetapi menurut ahli hisab terjadi gerhana maka tidak ada konskuensinya, artinya tidak sunnah shalat gerhana, karena hukum asalnya tidak terjadinya gerhana. Namun jika bulan atau matahari terlihat gerhana lalu kemudian mendung dan bimbang gerhana sudah selesai atau belum walaupun menurut ahli hisab gerhana sudah selesai maka tetep sunnah shalat gerhana karena hukum asalnya terlihatnya gerhana. Beliau menegaskan tidak ada tempat bagi ahli hisab dalam hal ini, yakni tidak boleh berdasarkan hisab semata walaupun hisab yang qoth'i sekalipun.
Apakah sunnah takbiran saat terjadi gerhana?
Di masjid-masjid Jawa Barat, saat terjadi gerhana diramaikan dengan takbiran seperti halnya takbiran hari raya. Mulai awal gerhana sampai berakhirnya gerhana.
Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا (البخاري)
Artinya : Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Terjadinya gerhana matahari atau bulan tidaklah terkait kematian atau kehidupan seseorang. Karenanya jika kalian melihat gerhana itu, berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalatlah dan bersedekahlah (HR. Bukhari)
Sependek yang saya tahu para ulama dalam koridor madzhab empat tidak memaknai "Fakabbiru" di dalam hadits tersebut dengan takbiran seperti hari raya tetapi bermakna mengagungkan Allah dalam arti kekuasaan Allah yang sangat luar biasa di mana benda-benda langit yang besar (matahari dan bulan) tunduk dan patuh atas perintah Allah SWT. atau dengan kata lain katakanlah "Allohu Akbar".
Wallahu A'lam
Harapan
Walaupun hukum shalat gerhana, baik Khusuful Qomar maupun Kusufusy Syams adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) sebagaimana shalat Hari Raya, akan tetapi sangat sedikit dari umat Islam yang peduli dengan syariat tersebut. Yakni acuh tak acuh dengan hal tersebut, seakan-akan shalat gerhana adalah shalat yang tidak ada tuntunan dan perintahnya.
Untuk itu demi melanggengkan syariat Islam yang berupa shalat gerhana yang mulai langka di negeri ini serta demi syiarnya Islam, maka apabila kita melihat/mengetahui fenomena gerhana marilah kita bersama memperbanyak takbir, tahmid, istighfar, dan shadaqah serta melaksanakan shalat gerhana. Shalat gerhana bisa dilaksanakan selama gerhana matahari berlangsung, walaupun tidak total.
Referensi:Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Prof. DR. Wahbah Al-Zuhaily
Roudloh Al-Tholibin, Muhyiddin Yahya bin Syarof Abu Zakariyah Al-Nawawy
Irsyad Al-Murid, KH. Achmad Ghozali Muhammad Fathulloh
Al-Sunan Al-Kubro Li Al-Baihaqi, Ahmad Bin Husein Bin Ali Al-Baihaqi
Al-Durru Al-Aniq, KH. Achmad Ghozali Muhammad Fathulloh
Al-Tafsir Al-Munir, Prof. DR. Wahbah Al-Zuhaily
Tuhfah Al-Muhtaj, Ibnu Hajar Al-Haitamy
Syarah Shohihu Al-Bukhori Li Ibni Al-Bathol, Abul Hasan Ali Bin Bathol Al-Qurtubi
Kompasiana : http://www.kompasiana.com/moeidzahid/sekelumit-sejarah-dan-fiqih-gerhana_56cd312e81afbd010c1ed5f4
* Penulis adalah anggota Lembaga Falakiyah PWNU Jawa Timur; Dewan Pakar Lajnah Falakiyah PCNU Kabupaten Gresik
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
250 Santri Ikuti OSN Zona Jateng-DIY di Temanggung Jelang 100 Tahun Pesantren Al-Falah Ploso
6
Cerita Rayhan, Anak 6 Tahun Juara 1 MHN Aqidatul Awam OSN Zona Jateng-DIY
Terkini
Lihat Semua